Pemerintah berbohong, demikian pernyataan yang meluncur dari para tokoh lintas agama menyikapi sepak terjang pemerintah (10/1). Selain dari tokoh agama terdapat juga gerakan 100 tokoh dari politisi dan aktivis LSM yang menggelar pertemuan dengan membahas tema serupa: kebohongan pemerintah. Para tokoh lintas agama dan gerakan 100 tokoh menilai terdapat kesenjangan antara apa yang pemerintah sampaikan dengan kenyataan di lapangan. Bahkan gerakan yang kedua, menyebutkan tahun 2011 ini sebagai tahun kebenaran: menolak kebohongan. Tidak hanya itu, gerakan tersebut juga membangun Posko Anti Kebohongan, sebagai wadah pengaduan publik atas kebohongan-kebohongan pemerintah.
Tentu saja pemerintah yang dimaksud oleh para tokoh anti kebohongan itu adalah wajah eksekutif yang digawangi Presiden beserta jajarannya. Pernyataan tersebut sempat membuat Istana risau. Sebabnya kata bohong dimaknai sebagai sebuah sikap yang dinilai dapat menjatuhkan wibawa, bahkan mengancam rezim pemerintahan sekarang. Sementara dari pihak pemerintah merespon dengan argumen bahwa capaian pemerintah hanya belum berhasil saja, bukan kebohongan atau menutup-nutupi kegagalan.
Berbohong tidaknya atau berhasil gagalnya kinerja pemerintah paling tidak beranjak dari pembahasan mengenai peran negara terhadap rakyat. Masalah-masalah seperti kemiskinan, penegakkan hukum, dan yang lainnya tidak lain menyangkut peran atau pengelolaan negara terhadap rakyat.
Selama ini dalam menjalankan roda pemerintahan, pemerintah cenderung berpedoman pada paham Kapitalisme-liberal. Kapitalisme liberal sendiri merupakan sebuah sistem yang menuntut negara untuk tidak banyak mencampuri bahkan lepas tangan dalam mengatur kehidupan masyarakat dalam banyak hal.
Dalam bidang politik ekonomi, liberalisme ini begitu kentara. Kebijakan liberal ini ditandai dengan kecilnya peran pemerintah dan keikutsertaan (intervensi) pihak swasta dalam mengelola barang publik. Kebijakan inilah yang disebut dengan privatisasi. UU SDA, UU Penanaman Modal, UU Minerba, UU Ketenagalistrikan merupakan kebijkaan yang membuka kesempatan swasta untuk turut mengelola kebutuhan publik. Barang publik sendiri adalah suatu jenis barang yang menjadi hajat hidup orang banyak seperti air, energi dan sebagainya.
Pada sektor pertambangan misalnya, sedikit demi sedikit pemerintah mengurangi perannya dalam memanfaatkan kekayaan barang tambang dan mineral yang melimpah untuk kepentingan negara dan rakyat. Bahkan kebijakan pemerintah dalam sektor ini cenderung menguntungkan pihak swasta (asing). Di Jayapura, PT. Freeport yang beroperasi sejak tahun 1967 hingga sekarang memilki mayoritas kepemilikan hak tambang atas tambang terbesar dunia tersebut. Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesian Resource Studies, mengatakan selama 40 tahun operasi perusahaan tambang PT Freeport Indonesia, penerimaan negara dari perusahaan ini dipandang belum optimal. Bahkan berdasarkan laporan keuangan Freeport pada 2008, total pendapatan Freeport adalah US$ 3,703 miliar dengan keuntungan US$ 1,415 miliar. Adapun penerimaan negara dari Freeport melalui pajak maupun royalti hanya US$ 725 juta (tempointeraktif.com,4/3/2010).
Besarnya investasi swasta, baik asing dan domestik berujung pada dikuranginya subsidi untuk rakyat oleh pemerintah. Bahkan sampai-sampai mencabutnya. Rakyatpun akhirnya dibebani dengan kenaikan biaya guna memenuhi kebutuhannya seperti air bersih dan listrik. Pembatasan BBM yang sebentar lagi pun sebenarnya merupakan bahasa manis untuk menutupi pengurangan subsidi BBM. Memang begitulah karakteristik sistem Kapitalisme liberal, kebebasan untuk memiliki kekayaan hanya bebas dilakukan oleh pihak yang memiliki modal kuat.
Di sisi lain kenaikan biaya atas kebutuhan tersebut tidak diiringi dengan kemapanan rakyat yang bagus. Terhitung masih ada 31 juta rakyat yang berada dibawah garis kemiskinan versi pemerintah (BPS, Januari 2011). Sementara jumlah rakyat miskin, secara keseluruhan Bank Dunia menyebutkan angka 100 juta jiwa. Terang saja, keadaan sekarang begitu berat sekali. Tidak sedikit kemudian yang mengalami ketertekanan hidup dan memanifestasikannya dengan langkah kriminal bahkan bunuh diri. Hal ini merupakan prestasi yang memprihatinkan, bahkan terbilang gagal.
Namun sekalipun sistem pemerintahan yang berlaku presedensial, dalam konteks Indonesia, penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutf, legislatif dan yudikatif serta pejabat lain yang memiliki fungsi penyelenggaraan negara. Sehingga jika dikatakan pemerintah (eksekutif) berbohong maka dia bukan satu-satunya, selainnya juga ada pihak legislatif dan yudikatif. Sebab betapapun kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat dan negara tersebut lahir, proses sebelumnya mestilah melewati kesepakatan bersama penyelenggara negara. Pertanyaannya ketika kebijakan "merampas" rakyat tersebut disepakati oleh ketiga belah pihak, bukankah ketiganya memiliki kontribusi atas semua itu?
Rakyat tentu sudah lelah dengan parodi yang terpentas di negara ini. Begitu sering rakyat yang menjadi pesakitan atas lakon penyelenggara negara. Megaskandal BLBI, Century sampai Gayus menjadi episode sandra-menyandra kepentingan politik para elit sehingga hanya menumbalkan pemain-pemain kecil saja.
Kemirisan yang ada tersebut: perilaku penyelenggara negara dan kebijakan-kebijakan kontraproduktifnya selayaknya tidak dibiarkan berlanjut. Tahun ini mesti dijadikan sebagai tahun kebenaran. Kebijakan-kebijakan yang lahir harus dilandasi dengan landasan kebenaran, bukan Liberalisme. Sebabnya, liberalisme hanya menilai kemajuan dan kesejahteraan dengan angka-angka statistik. Apalagi liberalisme terbukti hanya merampas negara dan rakyat sementara di sisi lain elit penguasa, pengusaha atau koorporasi internasional begitu diuntungkan.