Sektor pertanian mempunyai peranan yang vital dalam kegiatan perekonomian di Indonesia. Pada tahun 2017, 13.1 % dari total Produksi Domestik Bruto (PDB) Indonesia disumbang oleh sektor pertanian yang bersanding dengan sektor perhutanan serta perikanan. Posisi ini berada di urutan kedua setelah sektor Industri Pengolahan.Â
Pada waktu krisis ekonomi, sektor ini memiliki resistansi yang kuat terhadap goncangan ekonomi. Berbicara mengenai pertanian tidak hanya tentang padi, sawi ataupun jagung. Perkebunan juga termasuk kedalam sektor pertanian. Sub sektor ini memiliki potensi pengembangan yang cukup besar di Indonesia. Salah satu bagian yang akan dibahas adalah gula, lebih tepatnya tebu.Â
Kompleksitas Masalah
Tebu merupakan bahan baku industri gula. Berdasarkan Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2017, luas area perkebunan tebu di Indonesia mencapai 420.15 ribu Ha. Luas lahan ini jika dibandingkan kurun waktu empat tahun (2013-2017) mengalami penurunan sebesar 10% .Â
Terdapat berbagai alasan mengenai penurunan jumlah lahan yaitu alih fungsi lahan, kualitas tanah yang menurun serta petani yang mulai meninggalkan dunia pertanian karena profit tidak sepadan dengan usaha. Pertengahan tahun 2018, media nasional menyuguhkan informasi seputar import gula besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintah.Â
Dampak import besar-besaran ini, harga gula menjadi turun dan tebu petani lokal tidak mampu diserap maksimal oleh pabrik gula plat merah. Kondisi ini terjadi karena pabrik gula plat merah di Indonesia memiliki harga jual gula cukup tinggi berkisar Rp  9.500 - 10.500. Bandingkan saja dengan pabrik gula swasta yang mampu menjual hanya Rp 5.500 - 7.500. Bagaimana ini bisa terjadi?
Saat ini Indonesia memiliki 61 pabrik gula yang aktif beroperasi. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag), 33 pabrik di antaranya telah berumur 100-184 tahun atau sekitar 54.3%. Dengan usia yang tua tersebut, kapasitas produksi keselurahan gula di Indonesia menjadi rendah. Tahun 2015, nilai kapasitasnya hanya 3.400 - 3.800 TCD (ton cane per day).Â
Jika dikomparasi dengan negara India, kapasitasnya mencapai 3.3 juta TCD. Australia memiliki kapasitas giling 520 TCD dan Thailand memiliki 970 TCD. Data statistik ini menujukkan bahwa sektor industri pengolahan tebu menjadi salah satu penentu dari tantangan akan potensi pengembangan sektor perkebunan gula.Â
Ternyata masalah gula tidak semudah yang dibayangkan. Kompleksiatas masalah hampir berada di semua lini. Solusi yang ditawarkan pun bisa beragam. Penyelesaian melalui gerakan menyadarkan generasi muda akan dunia pertanian guna meningkatkan jumlah petani, peningkatan kemampuan regenerasi tanah secara onfarm, pengetatan aturan alih fungsi lahan. Secara garis besar, solusi yang ada mengarah pada kebijakan pemerintah. Mari kali ini kita coba melihat sebuah solusi dari sudut pandang engineering (Teknik).
Cyber Physical System dan Smart Factory
Industry 4.0 selalu membawa peluang untuk menjawab permasalahan kompleks menjadi mudah. Keberhasilan dari industry 4.0 dapat dilihat seperti perusahaan dengan basis digital maupun manufaktur. Industry 4.0 tidak hanya bercerita tentang internet of things dan big data. Konsep yang ingin dibawa adalah cyber-physical system. Cyber-physical system adalah kemampuan sistem yang terintegrasi untuk membuat komunikasi antara satu perangkat keras dengan perangkat keras yang lain (Machine to Machine Communication).Â
Tujuan dari cyber-physical system ini untuk mengoptimalkan kinerja sebuah sistem. Optimalisasi sistem yang bekerja secara rutin tidak bisa hanya dikerjakan oleh manusia sendiri dalam rentang waktu 24 jam sehari. Kinerja ini akan menjadi lebih mudah dan efisien jika pengambil keputusan adalah mesin itu sendiri dengan supervisi dari manusia.Â
Â
Kembali pada topik bahasan industri gula. Gagasan teknologi ini menjadi salah satu jawaban akan permasalahan produktivitas. Untuk menuju kesini, industri gula harus melakukan pembenahan terlebih dahulu. Sistem pabrik gula di Indonesia terkenal dengan boros energi. Pengaruh dari boros energi adalah biaya produksi sebagian besar akan mengalir untuk membiayai mesin giling. Nilainya bisa mencapai hampir 30 - 40 % dari total biaya keseluruhan. Perbaikan paling memungkinkan menggunakan sistem cogeneration.
Sistem cogeneration telah diterapkan di Pabrik Gula India, Thailand dan Australia. Konsep dari cogeneration dengan cara mengolah energi panas yang berasal dari gas buang pabrik gula. Dari pengolahan itu dihasilkan dua macam energi panas, yaitu panas yang bisa digunakan untuk kebutuhan pembangkit listrik terdekat dan panas yang dialirkan ke industri kembali sehingga penggunaan bahan bakar untuk pemanasan industri bisa dihemat.
Hal inilah yang menyebabkan efisiensi pabrik gula konvensional meningkat. Dengan demikian biaya bahan bakar yang harus dikeluarkan pabrik gula yang menggunakan cogeneration bisa dihemat. Keunggulan dari teknologi cogeneration adalah penggunaan bahan bakarnya efisien, teknologinya bersih dan mampu mengurangi emisi terhadap lingkungan.
Penelitian sejenis dilakukan oleh S. Chantasiriwan, 2016 di Thailand. Hasil penelitian yang didapatkan berupa analisis daya listrik serta proses pabrik gula berlangsung. Salah satu hal yang terkait efisiensi dijelaskan dalam bentuk profit / keuntungan yang dicapai pada karakteristik yang ditetapkan peneliti. Nilai profitnya mencapai 6.1 - 6.6% lebih tinggi dari produksi tanpa sistem cogeneration.
Tantangan
Berbicara tentang realita saat ini, Indonesia masih jauh dari teknologi yang digagas diatas. Perlu waktu 40-50 tahun kedepan untuk mewujudkan sistem diatas. Teknologi yang mengimplementasikan industry 4.0 pada industri gula juga belum ditemui sampai saat ini. Menjadi kesempatan juka Indonesia bisa menjadi negara pertama yang mengimplementasikannya.Â
Tetapi tidak perlu khawatir, Presiden Joko Widodo pada tahun 2013 membuat sebuah rencana (grand design) akan sektor gula. Pengucuran modal sebesar Rp 3.5 Triliun untuk revitalisasi pabrik gula tua sudah dilaksanakan. Selain itu, pembukaan permodalan akan sektor gula sudah dimulai. Tercatat 19 investor berniat untuk mendirikan pabrik gula baru dengan nilai investasi mencapai Rp 44.4 triliun. Kita sebagai bangsa indonesia punya tugas besar untuk memajukan sektro ini.Â
Sebagai mahasiswa/pelajar, kita bisa menyalurkan ide/gagasan kita pada lembaga riset pemerintah. Sebagai rakyat sipil, kita bisa mendahulukan konsumsi gula lokal. Sebagai pengusaha, kita wajib membawa produk lokal ke kancah internasional. Sebagai pengambil kebijakan, kita harus memikirkan kepentingan petani. Sehingga dapat diwujudkannya kondisi kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Salam perjuangan,
Dari Mahasiswa Kampus Perjuangan Surabaya
Daftar Pustaka
Chantasiriwan, S. (2016) 'Optimum imbibition for cogeneration in sugar factories', Applied Thermal Engineering, 103, pp. 1031--1038. doi: 10.1016/j.applthermaleng.2015.08.113.
Patil, D. (2018) 'SUSTAINABLE BIO-ENERGY THROUGH BAGASSE CO-GENERATION TECHNOLOGY: A PESTEL ANALYSIS OF SUGAR HUB OF INDIA ', (December).
Pratiwi, T. D., Wibowo, E. P. and Wibowo, H. (2018) 'Daya Saing Usahatani Tebu terhadap Komoditas Eksisting di Wilayah Kerja Pabrik Gula Wonolangan Kabupaten Probolinggo Tahun 2018', Caraka Tani: Journal of Sustainable Agriculture, 33(1), p. 57. doi: 10.20961/carakatani.v33i1.19562.
Rajaeifar, M. A. et al. (2019) 'A review on beet sugar industry with a focus on implementation of waste-to-energy strategy for power supply', Renewable and Sustainable Energy Reviews. Elsevier Ltd, 103(May 2018), pp. 423--442. doi: 10.1016/j.rser.2018.12.056.
Taner, T. and Sivrioglu, M. (2015) 'Data on energy, exergy analysis and optimisation for a sugar factory', Data in Brief. Elsevier, 5, pp. 408--410. doi: 10.1016/j.dib.2015.09.028.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H