Mohon tunggu...
Effendy Wongso
Effendy Wongso Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"Twilight of The Warriors: Walled In", Kisruh Triad Jelang Inggris Serahkan Hongkong ke Tiongkok

21 Juni 2024   02:24 Diperbarui: 21 Juni 2024   15:30 2766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu adegan laga dalam film Twilight of The Warriors. (Foto: Cineverse.id)

Dalam laga berlatar belakang “vintage” ala tempat cukur Hongkong-English tersebut, Cyclone yang rapi dan klimis dengan rambut ubannya itu berhasil menaklukkan Chan Lok Kwan.

Menilik kepiawaian Soi Cheang dalam meramu film aksi ini, dapat dikata apa yang dilakukannya mirip sutradara kawakan film-film peraih “Oscar” Ang Lee (Crouching Tiger Hidden Dragon dan Brokeback Mountain). Di sisi ini, Soi Cheang sangat lihai memanifestasikan pertarungan-pertarungan secara halus dan berseni, tidak sekadar perkelahian dan adu pukul klise yang sarkastis.

Selanjutnya, pria kelahiran Makau yang sebelumnya telah menyutradarai banyak film seperti Motorway (2012), Limbo (2021), dan Mad Fate (2023) ini, menggiring penonton ke scene berikutnya yang lebih humanistis.

Di sini, terlihat kemurah-hatian Cyclone digambarkan dalam penerimaan sosok Chan Lok Kwan setelah melihat ketulusan dan kepolosannya dalam membantu warga Kowloon, termasuk menggotong jenazah seorang wanita pekerja seks komersial (PSK) yang dibunuh pelanggannya.

Gagal Gambarkan Momentum Bersejarah

Kendati kisah dalam Twilight of The Warriors: Walled In hanyalah fiksi lantaran diangkat dari komik Tiongkok karya Andy Seto yang sebelumnya juga membuat komik serupa seperti Crouching Tiger Hidden Dragon, Cyber Weapon Z, Shaolin Soccer, dan The King of Fighters, namun ia menghadirkan kisah itu secara realistis hampir sempurna.

Namun, seperti kata pepatah "Tak Ada Gading yang Tak Retak", ternyata Soi Cheang juga demikian adanya. Ia luput menggambarkan lebih mendetail terkait momentum bersejarah wacana penyerahan Hongkong kepada Tiongkok oleh Inggris di periode 1983.

Minimnya kreasi dan pengembangan cerita, agaknya dapat menggambarkan sang sutradara hanya berfokus terhadap kisah dalam komik. Padahal, sebetulnya Soi Chaeng dapat lebih “menyala” karena kisah penyerahan Hongkong kepada Tiongkok dari Negeri The Three Lions itu adalah salah satu momen penting dan bersejarah di muka bumi ini.

Meskipun ada secukil kisah monumental itu yang diangkat, namun sayangnya hanya sekadar narasi di awal film. Selain durasi penggambaran secara narasi yang amat pendek, kisah bersejarah itu hanya dibekukan dalam imbuhan cuplikan-cuplikan rekaman kejadian nyata, yang dalam film diadegankan sebagai pemberitaan televisi ditonton para triad.

Kendati demikian, lepas dari semua itu film laga ini memang layak ditonton terutama bagi penikmat film Mandarin yang eksistensinya sudah kalah pamor dibandingkan film-film produksi Korea Selatan yang cukup merajai layar lebar dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun