Dalam laga berlatar belakang “vintage” ala tempat cukur Hongkong-English tersebut, Cyclone yang rapi dan klimis dengan rambut ubannya itu berhasil menaklukkan Chan Lok Kwan.
Menilik kepiawaian Soi Cheang dalam meramu film aksi ini, dapat dikata apa yang dilakukannya mirip sutradara kawakan film-film peraih “Oscar” Ang Lee (Crouching Tiger Hidden Dragon dan Brokeback Mountain). Di sisi ini, Soi Cheang sangat lihai memanifestasikan pertarungan-pertarungan secara halus dan berseni, tidak sekadar perkelahian dan adu pukul klise yang sarkastis.
Selanjutnya, pria kelahiran Makau yang sebelumnya telah menyutradarai banyak film seperti Motorway (2012), Limbo (2021), dan Mad Fate (2023) ini, menggiring penonton ke scene berikutnya yang lebih humanistis.
Di sini, terlihat kemurah-hatian Cyclone digambarkan dalam penerimaan sosok Chan Lok Kwan setelah melihat ketulusan dan kepolosannya dalam membantu warga Kowloon, termasuk menggotong jenazah seorang wanita pekerja seks komersial (PSK) yang dibunuh pelanggannya.
Gagal Gambarkan Momentum Bersejarah
Kendati kisah dalam Twilight of The Warriors: Walled In hanyalah fiksi lantaran diangkat dari komik Tiongkok karya Andy Seto yang sebelumnya juga membuat komik serupa seperti Crouching Tiger Hidden Dragon, Cyber Weapon Z, Shaolin Soccer, dan The King of Fighters, namun ia menghadirkan kisah itu secara realistis hampir sempurna.
Namun, seperti kata pepatah "Tak Ada Gading yang Tak Retak", ternyata Soi Cheang juga demikian adanya. Ia luput menggambarkan lebih mendetail terkait momentum bersejarah wacana penyerahan Hongkong kepada Tiongkok oleh Inggris di periode 1983.
Minimnya kreasi dan pengembangan cerita, agaknya dapat menggambarkan sang sutradara hanya berfokus terhadap kisah dalam komik. Padahal, sebetulnya Soi Chaeng dapat lebih “menyala” karena kisah penyerahan Hongkong kepada Tiongkok dari Negeri The Three Lions itu adalah salah satu momen penting dan bersejarah di muka bumi ini.
Meskipun ada secukil kisah monumental itu yang diangkat, namun sayangnya hanya sekadar narasi di awal film. Selain durasi penggambaran secara narasi yang amat pendek, kisah bersejarah itu hanya dibekukan dalam imbuhan cuplikan-cuplikan rekaman kejadian nyata, yang dalam film diadegankan sebagai pemberitaan televisi ditonton para triad.
Kendati demikian, lepas dari semua itu film laga ini memang layak ditonton terutama bagi penikmat film Mandarin yang eksistensinya sudah kalah pamor dibandingkan film-film produksi Korea Selatan yang cukup merajai layar lebar dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H