Di berbagai belahan wilayah Indonesia, sudah tidak terbilang banyaknya para perantau yang mengadu nasib di suatu daerah. Sebut saja suku Bugis-Makassar yang mencari nafkah kemudian menetap turun-temurun di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Di Tanah Flobamora ini, demikian sebutan NTT, diaspora Bugis-Makassar yang berdomisili dan beranak-pinak juga masif mengenalkan kuliner penganan, salah satu di antaranya adalah Nasi Unti.
Bila menjabarkan kuliner, khususnya makanan Nusantara memang seperti tidak ada habisnya. Tidak salah sebab kuliner sendiri sudah menjadi salah satu kebudayaan di Tanah Air yang berkembang seiring penyebaran penduduk antarpulau.
Selanjutnya, berkembangnya diaspora berbagai etnik di suatu daerah turut membawa kearifan lokal yang sebelumnya berasal dari wilayah yang didiami. Hal itu dapat dilihat dari beragamnya kuliner nasional yang juga tersebar di berbagai provinsi Indonesia.
Di NTT, khususnya di Kota Kupang, diaspora Bugis-Makassar yang berdomisili secara turun-temurun di Kota Sasando, demikian julukan wilayah Kupang, juga jamak mengenalkan kuliner penganan, salah satu di antaranya adalah Nasi Unti.
Secara harfiah merunut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Nasi Unti bisa diartikan kelapa parut dicampur dengan gula putih atau merah yang dimasak dan diberi daun pandan atau panili yang dibuat sebagai isi penganan seperti Mendut, Kue Bugis, dan Dadar Gulung.
Verba "unti" dalam bahasa Makassar dan "utti" dalam bahasa Bugis, lebih tepat diartikan sebagai "pisang". Pisang, sebab penganan ini sejatinya menggunakan daun pisang sebagai pembungkusnya.
Lantas dalam perkembangannya, penganan yang sering disebut "Kue Bugis" oleh masyarakat Jawa dan kebalikannya masyarakat Bugis-Makassar disebut "Kanre Jawa" atau makanan orang Jawa karena biasanya disantap orang Jawa sebagai sarapan pagi.
"Bahan-bahan untuk pembuatan Nasi Unti sangat sederhana, karena hanya menggunakan beras ketan putih dan serundeng kelapa parut yang dilumuri gula aren atau gula merah," terang Supervisor Royal Bakery and Cafe Femmy Uriana saat ditemui belum lama di Royal Bakery, Jalan Bundaran PU 10, Kelurahan Tuak Daun Merah (TDM), Kecamatan Oebobo, Kota Kupang.
Ia menambahkan, Nasi Unti memang merupakan versi temurun dari penganan Songkolo atau Sokko di Sulawesi Selatan.
"Nasi Unti dengan Songkolo atau Sokko memang mirip, cuma yang membedakannya terletak pada isinya. Kalau Nasi Unti yang kita kenal di NTT ini hanya berisi serundeng kelapa parut yang dicampur gula aren, maka Songkolo atau Sokko itu memakai sedikit lauk seperti ikan teri atau ikan asin, atau ada juga yang menggunakan suwiran daging sapi beserta sambal. Tetapi, pada dasarnya semuanya tetap menggunakan serundeng kelapa," papar Anita.
Ia mengatakan, Nasi Unti di Royal Bakery and Cafe dibanderol terjangkau Rp 4 ribuan. Pelanggan utama pihaknya, sebut Femmy berasal dari berbagai kalangan, namun memang lebih didominasi diaspora Bugis-Makassar yang "ngidam" makan Songkolo.
Menurut Femmy, keberadaan penganan yang sudah dikenal umum di berbagai wilayah Nusantara, terutama didiami diaspora Bugis-Makassar, sangat digemari lantaran pembuatannya yang tidak ribet.
Ia sendiri tidak mengetahui persis riwayat Nasi Unti yang mulai populer di Kota Kupang, tetapi menurutnya semuanya tidak terlepas dari keterkaitan keberadaan para perantau yang berdomisili di NTT.
"Apalagi bahan-bahannya mudah diperoleh di berbagai daerah. Selain itu, Nasi Unti juga termasuk awet dan tidak cepat basi," paparnya.
Sementara itu, Manager Royal Bakery and Cafe Anita Anny saat ditemui di lokasi dan kesempatan yang sama, menambahkan Nasi Unti yang lebih populer disebut Songkolo di Makassar tidak hanya menggunakan bahan dasar beras ketan putih tetapi bisa juga ketan hitam tergantung selera penikmat kuliner.
"Bahan pembuatan Songkolo itu dari beras ketan, bisa ketan putih atau ketan hitam. Kemudian ketan dimasak sampai lunak selanjutnya ditaburi serundeng kelapa parut goreng, serta disajikan dengan lauk ikan teri kering maupun telur asin. Tidak lupa, Nasi Unti versi Songkolo wajib diberi sambal tumis," beber wanita yang berasal dari Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan ini.
Menurut Anita, Songkolo di Makassar sangat populer sehingga dapat disantap kapan saja.
"Ya, tidak hanya sebagai asupan makan pagi. Bahkan, orang-orang di sana kerap menyantapnya pada dini hari," imbuhnya
Oleh sebab itu, sebut Anita, di Makassar ada yang namanya "Songkolo Bagadang". Ini diambil dari kata "begadang".
"Artinya, Songkolo yang dijual hingga subuh atau dini hari bagi orang yang tengah begadang. Biasanya, Songkolo Bagadang dijual 24 jam para pemilik warung di sana. Nah, makanan ini banyak dikonsumsi orang yang bertugas malam seperti security dan sebagainya. Apalagi, ada event seperti pildun (piala dunia) seperti ini," tutup Anita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H