Mohon tunggu...
Effendy Wongso
Effendy Wongso Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Seayu Namanya, Ini Alasan Kue Putu Ayu Disukai Masyarakat

17 November 2022   09:54 Diperbarui: 13 Desember 2022   09:41 1958
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kue Putu Ayu. / Foto: Dokumentasi Femy Uriana

Salah satu kegiatan rutin masyarakat Indonesia di pagi hari sebelum melaksanan kegiatan apapun adalah minum kopi atau teh. Kendati demikian, ngopi atau ngeteh di pagi hari rasanya hambar jika tidak disertai camilan berupa roti atau kue.

Terkait kue, masyarakat di Indonesia biasanya akan menyantap penganan tradisional. 

Selain enak dan cocok di lidah, penganan tradisional juga berharga terjangkau. Sehingga penganan, khususnya kue dengan sendirinya telah menjadi kebutuhan penting yang tidak boleh diabaikan.

Oleh karena itu, saking pentingnya kue sebagai objek konsumsi di Negeri Khatulistiwa ini maka kehadiran penyedia atau penjual kue sudah bukan hal baru, terutama di pasar-pasar tradisional. Bahkan, saat ini penjaja kue tradisional sudah merambah mal-mal elite.

Hal itu juga bisa dilihat dari masifnya penjualan aneka kue, bahkan pusat penjualan makanan di setiap daerah yang menonjolkan sektor pariwisatanya. Ini artinya selalu saja ada pusat wisata kuliner yang menyertai industri pariwisata di setiap wilayah.

Indonesia sebagai negara majemuk baik suku, tradisi, dan budayanya yang kaya dan beragam turut menghasilkan warisan kuliner yang tak kalah menterengnya. Maka tidak heran jika masyarakat tidak asing lagi dengan kue yang bernama Putu Ayu.

Putu Ayu sendiri diklaim merupakan kue khas asli Indonesia dari Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Tengah. Akan tetapi, secara historis juga diklaim beberapa negara asing seperti Tiongkok.

Sesuai namanya, Ayu yang dalam bahasa Jawa berarti "cantik", memang dari sisi visual kue ini terlihat sangat cantik dan menarik.

Tidak hanya tampilannya yang cantik, Putu Ayu ini juga diklaim sangat enak dan lembut ketika disantap. Cita rasanya yang manis dan legit berkontribusi mengangkat kepopuleran penganan yang digemari bukan hanya orang Indonesia, tetapi juga masyarakat di Asia Tenggara.

Adapun tipikal jajanan tradisional ini adalah warnanya yang berundak dua. Hijau di bawah dan putih di atasnya yang terdiri dari parutan kelapa muda. Hal ini membuat tampilan Putu Ayu menjadi sangat menarik dan terlihat menggiurkan untuk dinikmati.

Menurut Supervisor Royal Bakery and Cafe Femy Uriana saat ditemui di Jalan Bundaran PU 10, Kelurahan Tuak Daun Merah (TDM), Kecamatan Oebobo, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) Rabu 16 November 2022, Putu Ayu termasuk dalam kategori kue basah.

"Seperti kita ketahui, dulu hingga sekarang, penganan ini umumnya dijual pedagang kue basah di pasar tradisional. Tetapi seiring perkembangan dunia kuliner Nusantara yang naik pamor, Putu Ayu juga merambah toko kue dan bakery, bahkan mal-mal di kota besar," jelasnya.

Putu Ayu pihaknya, urai Femy, terdapat dua yaitu Putu Ayu (original) dan Putu Ayu Ubi Ungu. Secara mendetail ia menyebut Putu Ayu adalah bagian dari kue "putu" yang berakar dari kuliner Tiongkok dan berkembang di Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Thailand.

Kue Putu Ayu. / Foto: Dokumentasi Femy Uriana
Kue Putu Ayu. / Foto: Dokumentasi Femy Uriana

"Jadi, sejarah 'putu' yang berkembang menjadi banyak varian saat ini mulanya diklaim berasal Tiongkok, dan sudah ada sejak 1200 tahun silam pada zaman Dinasti Ming. 

Ini dapat dibuktikan dari artefak menyoal kue putu yang masih tersimpan di China National Silk Museum di 73-1 Yuhuangshan Rd, Xihu, Hangzhou, Zhejiang, Tiongkok," imbuhnya.

Sementara itu, lanjut Femy, bukti lain terkait akar muasal kue putu dapat dilihat dari penggunaan bambu sebagai wadah silinder pembuatan penganan beraroma gurih ini.

"Kue putu dari bambu hingga saat ini masih digunakan sebagai wadah atau alat kukus pedagang keliling Putu Ayu di Indonesia. Ini persis seperti bambu-bambu kukus yang dipamerkan di China National Silk Museum," katanya.

Femy menjabarkan, saat ini sejumlah penjual Putu Ayu keliling mengganti bambu dengan pipa PVC dengan alasan kepraktisan kendati dari segi kesehatan penggunaan pipa PVC berbahaya bagi kesehatan.

Adapun pelaku kuliner kelas elite seperti toko kue dan bakery, sudah menggunakan alat-alat cetak pengukusan berstandardisasi, terutama terkait higienis kudapan yang dibuat.

Menurut Femy, berdasarkan dari literatur budaya kuliner dunia yang pernah dibacanya dulunya putu secara general di Negeri Panda disebut "Xianroe Xiao Long", harfiahnya berarti "kue dari tepung beras berisi kacang hijau lembut yang dimasak dalam cetakan bambu".

Sementara, asal mula kata "putu" tidak lepas dari suatu naskah sastra lawas, Serat Centhini yang ditulis pada 1814 di masa Kerajaan Mataram. Dalam manuskrip itu termaktub atau muncul nama 'puthu'. Selanjutnya, sesuai ejaan yang disederhanakan, kata puthu menjadi "putu".

Femy menjelaskan, dalam naskah lawas itu disebutkan Ki Bayi Panurta meminta santrinya menyediakan hidangan pagi.

"Nah, hidangan atau penganan pagi itu berupa sajian makanan pendamping serupa serabi dan sejenis 'puthu'," paparnya.

Begitu pula di naskah lainnya, sambung Femy, puthu identik kudapan yang disajikan pada pagi hari. Isian puthu ikut berubah dari kacang hijau menjadi gula Jawa atau gula aren yang tentunya pada saat itu lebih mudah diperoleh.

Serupa dalam naskah lawas terkait penganan putu, saat proses mengukus terdengan suara nyaring mirip "tangisan". 

Sehingga, dalam perkembangannya di luar Pulau Jawa yang didiami diaspora Jawa, terutama di Sulawesi Selatan, kue tradisional ini disebut "Putu Nangis" alih-alih nama aslinya.

Kue Putu Ayu dipajang di salah satu etalase. / Foto: Effendy Wongso
Kue Putu Ayu dipajang di salah satu etalase. / Foto: Effendy Wongso

"Dalam perkembangannya pula, Putu Ayu di Sulawesi Selatan nggak hanya menggunakan tepung beras atau tepung terigu lantaran juga menggunakan beras ketan hitam," terang Femy.

Lebih lanjut ia menjelaskan, putu versi Bugis khususnya di Makassar dan Kabupaten Bone memakai beras ketan hitam tanpa gula.

"Uniknya, putu itu dimakan dengan taburan parutan kelapa dan sambal. Putu Bugis biasanya hanya dijual pagi hari sebagai pengganti sarapan yang praktis," beber Femy.

Dijelaskan, sejatinya Putu Ayu berbeda dibandingkan kue putu yang biasa dijual keliling dengan ciri khas bunyi nyaring.

"Walaupun namanya hampir mirip tetapi bahan dasar pembuatannya berbeda, loh. Kalau kue putu yang lazim dijual pedagang keliling itu biasanya menggunakan bahan dasar tepung beras, sedangkan Putu Ayu menggunakan bahan dasar tepung terigu," urai Femy.

Adapun kemiripan kedua kue itu, sebutnya, adalah sama-sama menggunakan parutan kelapa muda sebagai topping atau hiasannya.

Femy kembali menjelaskan, serupa penganan tradisional lainnya Putu Ayu termasuk kue yang simpel.

"Pembuatannya nggak ribet. Dalam kata lain, jajanan pasar ini memiliki bahan-bahan yang mudah seperti tepung terigu, gula pasir, santan, telur ayam, kelapa muda, dan pewarna makanan. Demikian pula proses memasaknya yang hanya perlu dikukus," bebernya.

Menurut Femy, di negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand, Putu Ayu juga digemari.

"Ya, walaupun nama dan bentuk penganan ini sedikit berbeda, tetapi rasanya tetap sama kok dengan kue putu tradisional kita (Indonesia)," tutupnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun