Dalam iklim kerja yang penuh tantangan, persaingan, dan tekanan atau pressure kerap membuat pekerja stres. Tidak sedikit mereka terpaksa memutuskan untuk keluar tiba-tiba dari pekerjaan saat ini karena tidak nyaman. Hal itu lazim dilihat dalam dunia kerja, khususnya di kota-kota besar.
Hari ini, Kamis 22 September 2022, Kompasiana.com mengangkat topik pilihan dalam dunia kerja (worklife) "Quite Quitting dan Quite Firing, Toksik Baru di Dunia Kerja?"
Jika berbicara jujur, hampir semua orang akan mengalami kendala di tempat kerja. Mereka bisa saja menjadi objek maupun subjek "toksik", sehingga terpaksa melakukan "Quiet Quitting" atau "Quiet Firing". Apapun penyebutannya, yang namanya toksik sudah barang tentu ini bukan hal yang baik.
Sejatinya, dua istilah baru yang sering dibahas banyak orang di media sosial (medsos) coba dibahas Kompasiana.com dalam ragam "opini" penulisnya. Termasuk saya salah satunya tentu saja.
Lalu, apa sih Quiet Quitting dan Quiet Firing itu? Seperti diwartakan Kompas.com belum lama ini, Quiete Quitting adalah tindakan bekerja seperlunya sesuai kompensasi maupun apresiasi yang diperoleh dari perusahaan. Jika ditelaah lebih mendalam, tentu ini kurang baik bagi perusahaan.
Namun, si pelaku Quiete Quitting ini bisa jadi "terpaksa" melakukan semua ini dengan alasan logis dan masuk akal. Pasalnya, tindakan tersebut dianggap suatu mekanisme pertahanan diri pada tuntuntan tinggi perusahaan mereka.
Tak dapat dipungkiri, saat ini memang banyak pekerja muda beranggapan yang terpenting kesehatan mentalnya. Sehingga, mereka tidak perlu bekerja "berlebihan" seperti pekerja pada generasi sebelumnya.
Sementara itu, Quiet Firing adalah sikap perusahaan yang disinyalir menjadi respons terhadap aksi Quiete Quitting. Caranya adalah "bersikap diam" atau "mendiamkan" karyawan yang hanya menunjukkan performa seadanya dengan tidak melibatkan mereka dalam proyek baru atau promosi apapun.
Sekali lagi, pendapat saya hal itu bukanlah kondisi yang bagus bagi keduanya, baik para pekerja maupun perusahaan. Kenapa keduanya saya anggap tidak baik, ya karena itu tadi kedua tindakan itu adalah toksik!
Terkait hal itu, saya mencoba melansir soal kendala dalam dunia kerja dari StraitTimes.com, Senin 19 September 2022.
Wartawan StraitsTimes yang menangani rubrik AskST terkait tenaga kerja, Calvin Yang menawarkan jawaban praktis atas keluhan tenaga kerja di sebuah perusahaan. Jika diejawantahkan, kurang lebih artinya bagaimana para pekerja, khususnya pekerja muda bisa keluar dari permasalahan senada.
Selain itu, Calvin juga berusaha menavigasi keluhan tenaga kerja serta memberi solusi menyoal tantangan di tempat kerja guna kemajuan karier mereka.
Calvin mengatakan, seorang tenaga kerja belum lama ini mengajukan pertanyaan di AskST dengan berkata, "Saya tidak bahagia dan merasa terjebak dalam peran saya saat ini. Apa yang dapat saya lakukan?"
Jawaban Calvin melalui rubrik yang dipegangnya, AskST secara gamblang mengatakan pekerja itu tidak sendirian.
Pasalnya, menurut Calvin, Talent Solution Leader and Consultant Mercer Singapore Rupali Gupta mengungkapkan "kita" semua pasti mengalami pasang surut dalam karier.
"Di momen ini, kita mungkin merasa pekerjaan yang kita lakukan tidak berarti lagi atau visi semula yang kita tuju kini telah berubah," terang Rupali.
Menurut Rupali, ketika pekerja merasa "terjebak" itu boleh jadi berasal dari berbagai perspektif.
"Misalnya, ketika Anda merasa kemajuan karier mandek, atau Anda belum mampu meningkatkan standar kerja meskipun sudah berusaha keras," beber Rupali menyolusi pertanyaan dari seorang pekerja di rubrik AskST.
Ia menambahkan, bisa juga lantaran pekerja itu tidak mendapatkan kesempatan yang tepat untuk menantang diri sendiri.
"Misalnya, ide-ide Anda terus-menerus ditolak bos, atau Anda merasa dibayar rendah untuk profesi Anda saat ini," imbuh Rupali.
Menurutnya, hal itu dapat menurunkan motivasi visioner dalam jangka panjang seorang pekerja.
"Bahkan bisa merusak reputasi jika dibiarkan tidak terselesaikan," jelas Rupali.
Ia mengatakan, jika hal itu mengakut dalam diri seorang pekerja maka boleh jadi secara perlahan dapat membuat "down" semangat. Parahnya, si pekerja itu tidak lagi memiliki visi yang visioner bagi perusahaan maupun prospectus masa depannya sendiri.
"Mereka bahkan takut atau enggan untuk pergi bekerja lagi," papar Rupali.
Sementara itu, seorang psikolog dan konsultan senior di Raven Counseling and Consultancy, Praveen Nair mengatakan, pekerjaan seringkali lebih dari sekadar menghasilkan uang.
"Ini dapat berfungsi sebagai kontribusi seseorang kepada komunitas atau dunia yang lebih besar," ungkapnya.
Artinya, sebut Praveen, hal ini sering berarti dapat memengaruhi perasaan seseorang pada tingkat yang sangat mendalam.
"Solusinya, mulailah mengatasi kekhawatiran ini dengan bertanya kepada diri sendiri, 'Mengapa saya merasa seperti ini?'," katanya.
Praveen menambahkan, sebaiknya para pekerja menyusun daftar pro dan kontra terkait profesinya saat ini di sebuah perusahaan.
"Apa yang Anda suka dan tidak suka dari pekerjaan saat ini? Apa yang membuat Anda bahagia atau membuat diri merasa terjebak?" tegasnya.
Setelah itu, imbuh Praveen, evaluasi kembali kebutuhan, pikirkan, aspirasi, dan kemampuan diri.
"(Sekarang) fokuslah terhadap, 'Anda saat ini bekerja menuju tujuan dan visi yang baru'," katanya.
Praveen membeberkan, memang terkadang berbicara terkait kesulitan yang dihadapi dengan orang-orang di sekitar termasuk keluarga, teman, atau rekan kerja apat membantu.
"Dapatkan masukan mereka tentang apa lagi yang bisa dilakukan," katanya.
Masih terkait permasalahan klasik yang dihadapi pekerja, Direktur Pelaksana PeopleWorldwide Consulting, Dr David Leong mengatakan jika pekerja juga dapat menyampaikan persoalan mereka kepada supervisor atau HRD mereka.
"Pertama, dan secara umum, ketidakbahagiaan di tempat kerja tidak mungkin menghasilkan hasil kerja yang baik," saran David.
Kedua, imbuhnya, demi kemajuan perusahaan, menyampaikan kekhawatiran seperti itu kepada atasan atau HRD adalah hal penting agar manajemen dapat memiliki pengalaman terkait profesionalisme.
"Ini (dapat menumbuhkan) motivasi baru. Biasanya, proyek baru, mutasi, atau pergantian kompartemen maupun desk job baru adalah opsi yang memungkinkan," papar David.
Terkait pergantian "suasana" baru dengan mengusulkan hal-hal tadi, Rupali menimpali dalam sarannya, yaitu intinya jika pekerja masih merasa terjebak, implementasikan planning yang mumpuni agar dapat keluar dari situasi yang tidak kondusif tersebut.
"Tetapi yang terpenting, jangan membanding-bandingkan (kemampuan) diri Anda dengan orang lain," tegas Rupali mengingatkan.
Ia juga mengingatkan, hasil yang diharapkan tidak datang dalam semalam.
"Step by step. Ambil langkah kecil ke arah yang benar. Jadi jika pekerja bersedia untuk bergerak maju dan membuat kemajuan, segalanya akan berubah," kata Rupali.
Di pengujung sarannya melalui rubrik AskST di StraitTimes, ia mengungkapkan pada dasarnya keberhasilan karier seorang pekerja tergantung terhadap dirinya sendiri.
"Bagaimana mereka dapat melepaskan diri dari permasalahan itu, semuanya ada dalam kendali Anda sendiri," tutup Rupali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H