Dalam buku ini saya banyak berkisah tentang kegelisahan. Juga pengalaman sehari-hari saya ketika masih menjabat sebagai kepala personalia di perusahaan kita yang dulu. Mungkin kau masih ingat?
Dulu, ketika saya melakukan perekrutan karyawan, sebelum ke pokok interview, yang pasti saya tanyakan adalah: 'Anda tadi kemari naik apa, bayar berapa, dan seberapa jauh jarak tempat tinggalnya bila seandainnya naik bis atau angkot?'
Saya yakin cara ini pasti tidak lazim dalam regularitas perekrutan karyawan. Ya, memang lain. Sebab saya tidak ingin sebuah perusahaan bergerak statis seperti kereta api. Saya ingin 'kesan pertama' calon karyawan tidak frozen, kaku, dan skeptis. Setiap calon karyawan tersebut saya sodori sebotol teh. Selain sebagai 'tuan rumah' yang beretika, saya juga menawarkan 'air' sebagai pereda haus.
Cara saya yang tidak lazim tersebut pernah dikritik oleh sahabat saya yang bekerja di sebuah perusahaan otomotif. Katanya, saya terlalu memanjakan calon karyawan. Lagi pula, saya terlalu boros untuk sebuah acara perekrutan. Padahal, dipanggil interview saja rasanya sudah syukur. Jadi cara itu tidak tepat dan tidak efisien.
Tentu saja saya menolak anggapan itu. Saya lantas ambil kertas dan pulpen. Kemudian saya kalkulasikan biaya si calon karyawan tersebut mulai dari awal melamar sampai ke tahap interview: harga odol untuk gosok gigi, harga sabun untuk mandi, harga bedak dan gincu saat ia berdandan di cermin -- kalau ia cewek, biaya kesusahan menunggu angkot di bawah terik matahari siang, dan lain sebagainya. Nilai pengeluaran mereka memang tidak sebanding dengan harga sebotol teh yang cuma seribuan perak itu.
Jadi jangankan dihitung per price, dihitung dari niat dan kesungguhan mereka untuk datang saja tidak ada apa-apanya bila dibandingkan sebotol teh yang cuma seharga seribuan itu. Bagaimana tidak sebanding, kalau sejak proses melamar pekerjaan si calon karyawan tersebut sudah mengeluarkan banyak biaya. Materai, kertas surat, amplop, biaya pengiriman via pos, surat keterangan berkelakuan baik di polisi dan lurah, tiga lembar pasfoto terbaru, dan lain sebagainya.
Nah, berbekal alasan tadilah sehingga saya terbiasa dengan ritual semacam itu. Biasanya, setelah saya melakukan rutinitas perekrutan, saya justru melihat kekagokan pada wajah calon karyawan. Sebenarnya pertanyaan kecil dan sepele namun mengejutkan itu bermakna ganda. Untuk menakar sejauh mana kesungguhan calon karyawan dalam bekerja dan juga merupakan misi moralitas itu tadi. Lagi pula, itulah bentuk pengorbanan calon karyawan yang pada hari itu pula saya bayar tunai dengan sebotol teh.
Secara psikologis, ada emosi yang saya tularkan sehingga tercipta keterikatan, simpati pada perusahaan meski hanya melalui kesan pertama interview saja. Jadi bukannya pada sejumlah janji manis -- upah tinggi, fasilitas, dan kesejahteraan.
Beberapa petinggi perusahaan memang apatis soal itu. Bahkan menganggap sebuah bentuk pembangkangan. Ketidaksepahaman untuk masalah itu kadang menjadi dilema. Dan biasanya saya lebih memilih mengundurkan diri ketimbang bekerja pada perusahaan yang masih terlampau jauh dalam tatanan humanisme.
***
Sahabatku,