Mohon tunggu...
effendi siradjuddin
effendi siradjuddin Mohon Tunggu... -

co-founder forum komunikasi perusahaan migas TAC (Technical Assistant Contract) dan 2006 co-founder dan chairman Aspermigas (Asosiasi Perusahaan Migas Nasional) serta Kaukus Migas Nasional (Federasi Asosiasi-asosiasi Perusahan Jasa dan Barang Nasional serta Asosiasi Profesi). Terakhir tahun 2008 co-founder Lembaga Pengkajian Pembangunan Nasional yaitu Entrepreneurial State 2020 Institute of Research.

Selanjutnya

Tutup

Politik

The End of Trias Politica

6 September 2016   13:25 Diperbarui: 6 September 2016   13:34 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

++Ketidakadilan Pemicu Rakyat Bersikap: Bubarkan DPR dan Sistem Wakil Rakyat++

LATAR BELAKANG. Peradaban selalu menyesuaikan dirinya sendiri agar sesuai tuntutan zaman, seperti misalnya ketidakadilan sistim kerajaan yang ditinggalkan. Lebih dari 200 negara menerapkan sistem republik berbasis pembagian kekuasaan Trias Politika. Sistem perwakilan yang mewakili kedaulatan tertinggi rakyat. Itu tercermin di dalam konstitusi. Pertanyaannya: apakah konsep trias politika Montesquieu 1776 (Distribution Of Power), masih relevan di dunia? Ketidakadilan kembali muncul, akibat pranata negara tidak mampu melindungi warganya, sudah menjadi fenomena global.

Pelaksanaan Pilkada menghasilkan lebih 70 persen kepala daerah yang terlibat korupsi. Pilkada DKI merefleksikan ketidakpercayaan publik terhadap partai politik. Dalam persepsi publik, wakil rakyat senantiasa hanya mengedepankan kepentingan diri, dan gagal mendahulukan kepentingan bangsa. Suasana pra Pilkada DKI sempat menunjukkan dampak bola salju berupa gerakan perlawanan rakyat terhadap dominasi partai politik. Bila ada tokoh yang berhasil menang melalui dukungan publik jalur independen, bukan bertumpu pada dukungan partai, akan memberi dampak nasional, bahkan global. Tetapi yang terjadi kemudian, calon yang tadinya bermaksud mencalonkan diri di luar jalur partai, berbalik menjadi pragmatis dan kembali ke pangkuan partai.

Rendahnya produktivitas pemerintahan-pemerintahan yang ada sejak merdeka, merupakan fenomena tetap. Tahun 1949-1959 diwarnai aneka gejolak politik. Tahun 1955 diselenggarakan pemilihan umum pertama, tapi empat tahun kemudian di tahun 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit membubarkan parlemen. Kurun waktu 1959-1965 ditandai pertikaian ideologi di antara partai politik di bawah konsep Nasakom. Usaia pemilihan umum kedua tahun 1971, Soeharto menyederhanakan sistem kepartaian dengan 3 partai. Tahun 1998 hingga sekarang, terutama pada dua dekade terakhir, partai yang kembali menjadi banyak, bisa dikatakan selalu hanya bertikai merebut kekuasaan demi uang. 

Secara ilustratif dalam sistem pemerintahahn lima tahunan, waktu yang tersedia cenderung diisi dengan lebih banyak kesia-siaan.  Tahun pertama belajar bekerja. Tahun kedua mulai pandai. Tahun ketiga mulai bekerja effektif. Tapi pada tahun keempat mulai sibuk siap-siap pemilu. Tahun kelima, menyelenggarakan pemilu. Praktis, hanya satu tahun yang efektif dalam lima tahun pemerintahan. Partai tunggal layak dipertimbangkan?

Korea Selatan tanpa kekayaan alam yang cukup, merdeka 15 Agustus 1945, Indonesia 17 Agustus 194545. Sama-sama miskin dan bodoh, 90 persen rakyatnya buta huruf, dengan pendapatan di bawah USD 100 per kapita. Namun, Korea pada tahun 2014 mencapai GDP per kapita lebih USD 30 ribu. Memiliki angkatan kerja  yang 75 persen adalah tamatan kolege dan atau universitas, mayoritas lulusan teknik. Masuk dalam barisan lima negara termaju, dan terbaik dalam pendidikan sedunia. Indonesia pada 2014, pendapatan rakyatnya USD 3 ribu per kapita. Komposisi angkatan kerjanya 75 persen adalah lulusan SD/SMP, dengan mayoritas non teknik. Populasi Korea seperempat dari jumlah penduduk Indonesia. Produktivitas Indonesia hanya sekitar 10 persen dari Korea Selatan. 

China? Penduduknya 5 kali lipat dari Indonesia, pemerintahan sangat produktif,  mencapai posisi superpower dunia dari segi purchasing power dan skala GDP per kapita pada 2015 dalam 3 dekade terakhit. Produktivitas masyarakat –pekerja keras, jujur dan punya integritas, cerdas– makin meningkat sebagai hasil sistem pendidikan terbaik. Produktivitas penyelenggara negara merupakan hasil rekrutmen politik yang terbaik, berkemampuan mensejahterakan rakyatnya. Sebaliknya, faktor itu juga yang menjelaskan merosotnya AS dan Eropa.

Indonesia dan dunia juga dicemaskan melalui lima defisit besar berskala global –Panca Darurat– yang membahayakan keamanan nasional dan berpotensi sebagai bom waktu menenggelamkan negara. Kelima situasi faktor itu adalah: Darurat impor minyak/energi dan impor pangan; Darurat air dan lingkungan; Darurat APBN; Darurat moral/etika/korupsi dan Darurat sistem politik –yang sekaligus merupakan penyebab utama darurat lainnya– secara nasional dan global. Darurat berupa mencuatnya kembali ketidakadilan, memunculkan raja bentuk lain, yaitu raja uang  yang mengendalikan negara untuk lebih banyak lagi uang.

APA YANG BISA DILAKUKAN RAKYAT INDONESIA ? Simak Mukadimah UUD 1945, tujuan negara dan nilai-nilai Pancasila yang menjadi dasar bernegara. Sila keempat menyatakan “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Permusyawaratan ‘atau’ perwakilan artinya rakyat berhak/bisa menggunakan kedaulatan tertinggi menyelesaikan masalah apapun. Rakyat boleh menunjuk wakilnya atau tidak untuk mengurus kepentingannya.

Daulat tertinggi rakyat dilaksanakan melalui 2 mekanisme: Mekanisme paska pemilu 2014 dan pemilu 2019. Paska pemilu 2014, setelah melihat kinerja dan hasil kerja keras pemerintahan Jokowi, mayoritas masyarakat yang berakal sehat (koalisi akal sehat) dan para ahli, dapat mengambil inisiatif melakukan dialog nasional. Tujuannya untuk melihat kembali apakah sistem berbangsa dan bernegara yang sangat liberal saat ini menguntungkan dan melindungi kepentingan masyarakat luas, atau malah sebaliknya? Serta, membuka alternatif sistem negara yang terbaik dan membuka kemungkinan merekonstruksi kembali atau mentransformasi sistem negara, via perubahan konstitusi dan perundang-undangan.

Mengusulkan agar rakyat memperjuangkan dan menyepakati untuk melakukan pemilu pada 2019 dengan sistem baru terbaik. Tidak hanya pemilu presiden, tetapi pemilu langsung presiden beserta paket rezim pemerintahan 3in1, yaitu paket apa yang dibutuhkan seluruh warga negara, paket program terpadu dan tertulis beserta paket ketiga yaitu paket anggota pemerintahan terbaik –presiden, wakill presiden, menteri, gubernur, bupati, walikota. Satu rezim pemerintahan 3in1 beserta program-program jangka pendek, menengah dan panjang yang dipersiapkan secara tertulis paling tidak setahun sebelum pemilu dan disosialisasikan paling tidak 3 bulan sebelum pemilu agar dipahami warga negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun