Kebanyakan dari kita lebih suka mengabaikan fakta paling jelas dalam kehidupan ini, padahal merenungkan akhir yang pasti dapat menjernihkan sudut pandang kita akan segala hal.
Show Your Work, by Austin Kleon
Hari ini aku coba membaca buku Show Your Work karya si Austin Kleon, pengarang yang tidak terlalu kukenal namun bukunya sangat menarik untuk direnungi. Sejauh ini aku baru membaca dua bab awal, dan bab kedua ini menurutku sangat kuat isinya sehingga aku menjadi tidak tahan untuk langsung menulis sesuatu. Bab kedua ini judulnya “Baca Obituarium”, atau dalam bahasa sehari – harinya bisa juga diartikan, “Baca Kenangan Kematianmu”. Aneh sekali pikirku, bagaimana bisa seseorang yang masih hidup membaca obituarium nya sendiri. Karena umumnya obituarium itu dituliskan oleh sahabat atau orang – orang terdekat si mayit, dan tentu saja diterbitkannya beberapa hari atau jam setelah si mayit masuk liang lahat. Penasaran, aku akhirnya membaca lebih jauh.
Pada bab ini ternyata Austin menceritakan kisah – kisah orang yang awalnya masuk kategori menyia – nyiakan waktu dan hidup, hingga akhirny berubah 180o karena kejadian yang hampir membawa mereka menuju ke kematiannya. Bagiku pribadi, satu kisah yang paling menarik adalah kisahnya si George Saunders, seorang penulis essai, novel, buku anak – anak, dan juga cerita – cerita singkat tentang Amerika. Menarik, karena tanggapan si Austin mengenai kejadian yang membuat si George hampir mati, persis seperti mana yang pernah kualami dulu. Begini ceritanya si George, “Selama tiga-empat hari setelah kejadian itu, dunia terasa indah. Karena aku selamat. Lalu kupikir, andai saja kira bisa berjalan – jalan seperti itu sepanjang waktu, menyadari bahwa segalanya akan berakhir”. Lalu kemudian, begini komentarnya si Austin terhadap kisah George. “Sayangnya aku pengecut. Meskipun inign merasakan euforia yang menyertainya, aku sebenarnya tidak mau nyaris mati. Aku ingin aman dan menjauhi maut sedapat mungkin. Aku tak mau menghinanya, menantangnya, atau mengundangnya lebih dekat. Namun aku tetap ingat, kematian pasti datang.
Kisah tentang tiga-empat hari setelah kejadian hampir matinya si George dan komentarnya si Austin, seperti yang kukatakan diatas tadi, sangat mirip dengan kisahku dulu. Aku juga sempat mengalami kejadian hampir mati, kemudian merasa senang karena ternyata belum waktunya dan aku hanya menderita kedua tangan dan kaki yang terkilir dahsyat. Kemudian setelah tiga – empat hari, aku mengalami fase euforia karena Tuhan belum mengkehedaki aku untuk mati pada saat itu dengan terus – menerus menceritakan kejadian tersebut secara bangga kepada hampir semua kawan – kawanku. Sekarang setelah membaca bab “Baca Obituarium” ini, aku jadi tersadar. Apa yang selalu aku ceritakan itu secara tak langsung obituariumku, yakni pengalaman nyaris mati. Dan seperti kata si Austin, setiap aku memikirkan atau menceritakan kejadiannyaris mati tersebut, diam – diam aku selalu memikirkan bahwa betapa dekatnya aku dengan maut pada saat itu.
Kalau kamu penasaran, begini ceritanya. Sore waktu kejadian hujan deras sekali, dan aku waktu itu sedang terburu – buru dengan motor pinjaman dari tetangga. Saat itu masih kelas 1 SMA, dan seperti umumnya anak yang baru masuk SMA, yang ada dipikiranku hanya ada tiga hal: ngebut, ngebut, dan ngebut. Saat berangkat dari rumahh, hujan belum terlalu deras, baru setelah hampir 30 meter, hujan mendadak deras sekali seperti aku sedang berada dibawah pancuran air yang sangat besar, hanya saja pancuran ini lebih dahsyat karena ditambah dengan faktor angin. Dengan semangat seorang pemuda tanggung, semakin deras hujan itu semakin dahsyat kuputar kenop gas motor. Hingga kemudian saat 20 meter sebelum dua polisi tidur beruntun yang terpisah jarak 3 meter, jalanku terhalang oleh mobil minivan. Karena momentumku sudah sempurna, langung saja kusalip minivan tersebut. Minivan terlewati, perasaan super mendadak muncul didadaku, aku merasa hebat sekali pada waktu itu jika berhasil menyalip kendaraan. Sialnya aku teralu gegabah ketika menyalip, aku lupa memperhatikan bahwa ada polis tidur membentang tak jauh dihadapanku. Rem belakang kuinjak, ternyata sudah blong atau hampir tak berfungsi. Panik, aku secara spontan menekan rem depan, dan sepersekian detik kemudian yang kurasakan adalah tubuhku melayang sekaligus terputar dan tiba – tiba aku sudah terbanting di tengah jalan. Ketika kuangkat mukaku yang menempel di aspal, ternyata posisi kepalaku hanya setengah meter saja daripada ban sebuah minibus. Betapa cepat kejadian itu, hingga aku tidak bisa berpikir jernih dan menangis, hingga akhirnya dibantu orang disekitar untuk beridiri.
Begitulah kisahnya, kejadian yang hampir saja menjemputku menuju maut. Bagiku yang pernah mengalami kejadian nyaris mati, tulisan Austin mengenai obituari ini sangatlah berkesan. Karena sebelumnya, aku tidak pernah menganggap sungguh – sungguh makna dari kejadian itu. Setelah kejadian tersebut, bahkan hingga sekarang, aku juga masih sering menyia – nyiakan waktuku. Karena aku tidak begitu sadar, kejadian itu sebenarnya adalah pesan dari Tuhan, bahwasanya aku masih diberinya kesempatan ketiga, setelah kesempatan kedua yaitu lahir dengan selamat dari rahim bundaku, dan kesempatan pertama saat aku berhasil melalui 9 bulan masa kandungan di dalam rahim dengan selamat.
Betul sekali Austin dalam kalimat penutupnya, bahwa obituarium sebenarnya bukan tentang kematian, melainkan tentang kehidupan. Dan menurutku, obituarium bukan hanya untuk para penjelajah yang telah gugur, ia juga diperuntukkan bagi para penjelajah yang masih mengembara dalam hidup dan pernah berhadapan dengan kejadian yang hampir membuatnya gugur pada sebuah waktu. Ia seharusnya menjadi pengingat bagi kita selaku para penjelajah bumi, bahwa dalam hidup yang telampau singkat ini, banyak perbuatan baik yang harus kita ukir untuk meninggalkan hal yang bermanfaat untuk para penjelajah baru dan juga untuk pertanggungjawaban di alam yang lain kelak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H