Tapi, fakta sekarang sudah cukup untuk menilai keberhasilan reformasi apakah menguntungkan atau malah akan merusak system, malah akan menghancurkan.
Saatnya memang kita kembali ke sila keempat Pancasila, permusyarawaratan perwakilan. Wakil rakyat (caleg) tetap dipilih rakyat melalui pemilu dengan nomor urut yang sudah ditentukan partai dan yang nomor satu-lah yang bakal menjadi pemenangnya, seterusnya ke nomor urut sepatu.
Suara terbanyak ditiadakan saja karena calonnya tidak akan laku di tengah rakyat jika tidak mempunyai uang banyak untuk sumbang sana sini atau operasional tim sukses.
Lalu, presiden, gubernur, bupati dan walikota dipilih dpr, dprd provinsi dan kabupaten kota. Melalui perwakilan rakyat di dewan ini, calonnya lebih dikenal dan ada fit and proper-test-nya, bukan pada pilsung yang dilakukan KPU saja dengan rakyat terbatas.
Dari kualitas pemilu, tentu lebih berbobot calonnya karena sudah melalui mekanisma fraksi dan partai. Kalau ada yang menuding bahwa suap akan semakin merajalela, kan sudah ada KPK? Tangkap saja. Beda dengan pilsung, tidak ada yang mau menangkap pelaku dan penerima money politik. Belum ada keterangan resmi, apakah ini memang sengaja dibiarkan.
Dari sisi keuangan, saya tidak punya angka berapa uang rakyat yang dipakai habis oleh KPU, Panwas dan keamanan serta para calon kepala daerah itu sendiri. Juga biaya sidang di MK.
Bila Zulkifli Hasan sudah bulat tekadnya dan sudah melihat lebih mendalam lagi baik buruknya, sangat setujulah bila hak rakyat dicabut.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI