Mohon tunggu...
EFENDI
EFENDI Mohon Tunggu... Freelancer - Putra Aceh Selatan

Praktisi Kehutanan dan Aktivis Alumni STIK Aceh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hutan Aceh Sayang, KPH Malang

5 Desember 2019   15:02 Diperbarui: 5 Desember 2019   15:21 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto pribadi : Danau Lut Tawar-Dermaga Teluk Suyen Nosar, Aceh Tengah

(mukidy syndrome kehutanan Aceh ; Flow of logic)

Tulisan ini sebagai sebuah kritik terhadap pengelolaan hutan di provinsi Aceh yang sedang ambigu dan stagnan, permasalahan muncul karena ketidak pedulian Pemerintah Aceh terhadap kondisi hutan yang open access dan tidak terkontrol, selama ini pengelolaan kawasan hutan oleh KPH malah menurunkan kualitas hutan dan meningkatnya bencana alam. 

Pertanyaan kritis dimulai dari KPH.  KPH ini oleh Pemerintah Aceh dianggap sebagai apa.? Apakah sebagai kewajiban (mandat) atau sekedar memenuhi pedoman dari pusat (KLHK dan Kemendagri).? atau KPH ini oleh Pemerintah Aceh ditempatkan sebagai instrumen untuk pengembangan ke depan sebagai peluang, atau oleh Pemerintah Aceh KPH ini hanya sebagai aksesories saja.?

Provinsi Aceh punya 6 KPH plus 1 KPH Tahura yang beda-beda style managementnya, ini sangat dipengaruhi oleh leadership KPH tersebut, sebagai contoh ada 3 tipology positioning KPH yang sekarang eksis di Aceh yaitu :

  • KPH dengan sosok leadership yang mempresentasikan bahwa KPH bisa jadi peluang untuk dikembangkan menjadi sumber-sumber ekonomi terbarukan.
  • KPH dengan leadership yang diperlakukan sebagai kewajiban (KPH seperti ini harus dilurusin) lalu menjadi beban birokrasi, KPH seperti ini adalah beban karena dia tidak bergerak dan di lapangan muncul beberapa masalah yang serius.
  • KPH dengan leadership gagah-gagahan yang menyebutkan sudah berhasil mendukung Aceh dengan pengembangan kopi hutan padahal kenyataan di lapangan tidak ada, KPH seperti ini layak disebut sebagai KPH aksesories.

3 contoh positioning KPH itu ada di lapangan; jadi sangat jelas option untuk memilih itu ada. Masalahnya adalah yang seharusnya bisa memilih namun dia (Pemerintah Aceh) tidak menggunakan kesempatan untuk memilih itu, nahh dia tidak punya sikap, attitude, semangat untuk mencari opsi terbaik.  Malah kemungkinannya mereka tidak mau berpikir bahwa tidak ada urusannya lah KPH mau jadi bagus atau jelek yang penting kehutanan aceh masih ada.

That's fine dalam artian, hak aceh untuk menggunakan hak pilihnya atau tidak terserah Aceh, resikonya adalah ketika aceh tidak menggunakan haknya untuk memilih maka aceh akan dipilih orang lain, kehutanan aceh akan dipilih oleh external actor yang (bisa) di drive oleh orang di luar kehutanan. Kehutanan Aceh akan dilihat sebagai lahan bagus untuk investasi, apakah itu investasi ekonomi atau investasi politik, tapi dua duanya akan berujung pada investasi political economi, satu hal yang sudah nampak di depan mata adalah kehutanan Aceh sudah dipilih oleh Sumatera Utara, artinya kehutanan Aceh menjadi ruang yang sangat empuk untuk mengembangkan ekonomi Sumatera Utara sebagai penyedia bahan baku untuk tumbuh kembang ekonomi Sumatera Utara.  

Ke depannya Cina akan masuk, kenapa.? Arus financial ekonomi Sumatera Utara banyak ke Cina, dan Cina akan tau bahwa Sumatera Utara ini modalnya dari Aceh, Cina akan mikir kenapa saya tidak langsung ke Aceh.?  Sekarang sudah tidak ada batasan investasi untuk Cina masuk ke aceh (sudah ada AFTA, MEA) bahkan syariat Islam juga tidak membatasi itu, mau bukti.? Investasi Cina sekarang sudah banyak di Arab Saudi, bagi Arab Saudi gak pedulilah mau bekerja sama dengan siapa, mau mac donald, KFC, atau Cina yang penting mereka bawa uangnya ke negeri saya, asalkan semua itu bermanfaat memelihara kehidupan masyarakat Islam di Arab Saudi. 

Kembali ke Aceh, Aceh akan dipilih oleh orang lain, ketika Aceh dipilih oleh orang lain, Aceh sudah tidak bisa lagi menolak karena Aceh sudah memutuskan untuk tidak memilih apa yang harus dipilihnya. kenyataannya Aceh belum berhasil memperoleh dignity nya, suatu keyakinan aceh ini ada, kuat, satu, hebat hanya ada di pidato politik, namun ketika tidak memilih apa yang harus dipilih sebagai pilihan terbaiknya, maka tidak ada bukti bahwa Aceh akan menuju Aceh hebat, dan nantinya ketika Aceh dipilih orang lain oleh external driver maka Aceh menjadi tidak berdaulat.  Sekarang ini kejadiannya adalah kedaulatan ekonomi Aceh itu tidak ada, kedaulatan wilayah Aceh punya namun kedaulatan ekonomi tidak, soal telor ayam saja masih bergantung kepada Sumatera Utara, kalau tidak ada Sumatera Utara maka orang Aceh tidak akan makan omelet.

Mau flow of logic.?

Aceh akan dipilih orang lain, ketika itu terjadi maka Aceh didrive oleh external maka he has loosing the control, power dan masa depan aceh tidak bisa ditentukan oleh Aceh sendiri.  Apa urusannya dengan KPH.?  KPH itu adalah salah satu dari beberapa sektor yang seharusnya Aceh punya full control. nahhh... Aceh harus mampu menciptakan 1 model KPH  yang ideal agar Aceh bisa maju, paling tidak akan ada 1 KPH yang berdaulat, minimal sebagai monument bahwa Aceh pernah punya 1 KPH yang berdaulat sementara KPH KPH yang lain akan tenggelam karena terbenam oleh bebannya sendiri. 

Apakah ketika KPH yang mandiri dan maju itu akan mulus perjalanannya.?  Ketika KPH itu maju dia akan menjadi sasaran tembak bagi orang lain, kembali lagi kekuatan political ekonomi.  Ketika KPH tersebut sudah bisa menjamin bahwa yang bekerja di wilayahku akan dijamin aman, dijamin memperoleh layanan maksimum, dilindungi dari gangguan-gangguan, maka semua orang akan berusaha masuk ke KPH yang seperti ini, dan berusaha masuk (dengan berbagai motivasi) ke KPH ini bukan sebuah masalah besar, satu aja masalahnya yaitu ketika leadership KPH tersebut diganti maka habislah KPH itu.  Pelayanan, keamanan dan kelancaran berusaha walau system itu sudah dibangun dengan baik namun ketika leadership nya diganti maka system itu akan corupted, karena pengawal system yang tertinggi sudah diganti.

Kalau system yang itu kemudian corupted, itu berarti Aceh sudah menetapkan pilihan, yaitu pilihan untuk merusak dirinya sendiri, untuk kepentingan jangka pendek.  Flow of logicnya seperti itu (flow of logic ini tidak boleh dipotong-potong; kalau dipotong maka akan impoten).

Dengan KPH maka ada flow of logic yang harus diikuti, tidak bisa dengan menggunakan short cut, ketika orang datang pada sistem tata kelola kehutanan di Aceh kemudian melakukan short cut tidak melewati flow of logic karena berbagai alasan, kenapa mereka tidak mau melewati flow of logic.? Pertama karena mereka tidak tau dan tidak paham; dan kedua karena mereka hanya mau result nya aja;  Ketika mereka melakukan short cut maka impoten lah kinerja KPH.

"Ketika orang masuk.. dia tidak mau mengikuti itu (flow of logic) karena dia tidak paham dan dia tidak mau belajar maka dia akan mengambil kesimpulan yang salah dan akan mengambil jalan yang salah"

Tantangan dalam pengelolaan KPH adalah : ketika KPH yang sudah berhasil dan mandiri, lalu kemudian leader nya diganti dengan leader yang baru, tidak ada jaminan dia akan meneruskan system (flow of logic) yang telah terbangun dengan baik itu.?  Sehingga Pemerintah Aceh harus memastikan si leader KPH yang baru ini memiliki aquarium. (baca : https://www.kompasiana.com/efendiunoitam/5dbfe9c8097f3668bb58b222/mukidy-syndrome-edisi-flow-of-logic)

Sekarang polanya penempatan leader untuk KPH Aceh masih jalan sendiri-sendiri, seperti halnya sistem kompetensi dan sistem rekrutmen masih belum diintegrasikan oleh pemerintah Aceh. Padahal sudah ada edaran dari KLHK ke daerah-daerah yang diminta untuk memperhatikan kompetensi (syarat kompetensi) ketika akan mengangkat Ka KPH, mungkin karena bentuknya edaran itu oleh gubernur dianggap sunah aja sehingga penempatan kepemimpinan di KPH hanya bussiness as usual belaka.

Bagaimana dengan kebijakan pemerintah tentang non eselon III dan IV.?

Ketika kita address dengan kebijakan baru presiden Jokowi bahwa tidak ada lagi eselon III dan eselon IV, ini sangat bagus sekali karena kepala dinas tidak akan memiliki struktur lagi di bawahnya gak ada bidang gak ada seksi, yang ada adalah kelompok berbasis kompetensi jadi kalau ada program, masalah, isu yang akan ditanggapi maka kepala dinas harus berpikir untuk menanggapi dan menjawab itu perlu kompetensi apa kemudian ditetapkan kompetensinya, lalu dia melihat daftar stafnya siapa yang punya kempetensi tersebut lalu dibuat penugasan,  tidak struktural.  

Struktural sekarang ini memudahkan kepala dinas namun tidak menyelesaikan masalah.  Melihat kondisi sekarang untuk isu illegal logging ditempatkan  pada bidang perlindungan, gak lihat orangnya, gak lihat kompetensinya cuma melihat struktur.  Tapi ketika nanti itu dihapus, untuk isu illegal llogging maka akan dilihat siapa (staf) yang punya kompetensi PPNS, Polhut, ahli utama fungsional pengamanan hutan, by name gak ada jabatan lagi yang ada hanya kempetensi.

Kelompok staf berbasis kompetensi ini untuk setiap kelompok kompetensi akan ada yang disebut administratur, dia yang akan mengadministrasikan, administratur itu juga jabatan kompetensi yaitu kompetensi sebagai administratur bukanlah jabatan struktural.

keindahan dari sistim ini adalah orang yang tidak punya kompetensi dia tidak akan pernah dikasih penugasan , kalau dia tidak dikasih penugasan selama 2 tahun berturut-turut (nganggur) dia akan tersingkir dengan sendirinya, karena hidupnya akan bergantung dari gaji pokok belaka sementara tidak punya tunjangan fungsional, karena dia tidak pernah menjalankan tugas dia tidak dapat tunjangan itu.

keuntungan lainnya adalah orang boleh memiliki lebih dari 1 kompetensi, orang dengan banyak kompetensi akan sangat sibuk, karena dia sangat sibuk dia akan menjadi sangat kaya.

kalau tata pemerintahnya bagus maka lembaga itu ramping aja, dan menyerahkan kepada pihak ketiga (independen, profesional, akredited) untuk memonitor.  Bila pemerintah melibatkan pihak ketiga (stakeholders) maka akan meningkatkan governance (tata kelola) yaitu ada monitoring atau pengawasan publik, kalau sudah begini maka ketika ada seseorang yang menyalahi kompetensinya dalam bekerja maka publik memiliki ruang untuk komplain tidak perlu menghadap, karena dibangun mekanisme compliance dan lembaga sertifikasi kompetensi akan memonitor jumlah complain dari seseorang yang bekerja dan melakukan surveilance untuk membuktikannya, jika terbukti maka sertifikatnya akan di suspend.

Dengan cara itu system kepegawaian di Pemerintah Aceh akan jadi ramping banget, karena hanya akan menyisakan orang-orang yang bisa kerja, untuk kehutanan dapat dimulai dari KPH.

Ancamannya adalah ketika KPH dengan system seperti ini maju, maka KLHK dan DLHK hanya butuh tenaga orang sebesar 20%, ini yang mereka tidak mau, ini masalah lapak tempat mencari nafkah bukan tempat untuk mengabdi kepada negara, sehingga kondisi stagnasi kehutanan Indonesia (secara umum) akan terus dipertahankan oleh semangat segelintir kere. (inilah yang disebut mukidy syndrome kehutanan indonesia, karena mereka gak punya aquarium)

Ayo Pemerintah Aceh, mari bangun hutan Aceh.

"Bangun mimpimu sendiri atau orang lain akan mempekerjakanmu untuk membangun mimpinya".

Farrah Gray

Banda Aceh,  5 Desember 2019

murid sang Begawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun