Tulisan ini muncul karena kondisi pengelolaan hutan di provinsi Aceh (2013-2019) cenderung stagnan dan hanya berkutat pada program pemerintah yang bersifat keproyekan, tidak ada perubahan signifikan dalam pola pengelolaan kawasan hutan. Ketidak pedulian (mungkin juga ketidak mampuan dari sisi keahlian) pejabat-pejabat kehutanan baik itu tingkat provinsi (Dinas LHK) maupun pada tingkat tapak (KPH) dalam mengelola kawasan hutan, menimbulkan kekuatiran terhadap peningkatan tekanan ekonomi masyarakat terutama di sekitar kawasan hutan akan menimbulkan kerusakan lebih besar.
Ditengah kehidupan ekonomi yang tidak semakin membaik di provinsi Aceh dengan predikat 1 sebagai provinsi termiskin di pulau Sumatera, tekanan terhadap kawasan hutan mudah sekali kita jumpai seperti illegal logging, hasil hutan kayu dengan leluasa wara wiri dari luar kota masuk ke kota Banda Aceh yang lumrah menggunakan angkutan roda 3 (becak) sampai puluhan unit dengan muatan 3-5 M3 kayu olahan perharinya. Â Kondisi ini cenderung "dibiarkan" oleh pihak kehutanan tanpa alasan yang jelas apakah karena ketidak mampuan dalam bekerja (padahal kehutanan memiliki Polhut, Pamhut, PPNS) atau ada justifikasi lain yang kita tidak pernah tau. Â Situasi ini telah lama berlangsung dan seakan tidak ada jalan keluar, tidak ada usaha untuk mengatasinya oleh pemerintah.
Seharusnya pemerintah Aceh (melalui Dinas Kehutanan dan KPH-KPH) melakukan terobosan-terobosan untuk melahirkan sumber-sumber ekonomi baru dan terbarukan yang sangat mungkin dimiliki oleh sektor kehutanan dengan 3,5 juta Ha luas sebagai sumber daya, agar kekayaan hutan Aceh tidak semakin tergerus dan bencana akan menyambungnya dengan pasti.
Sempat terpikir seandainya ada alokasi dana otsus yang triliunan rupiah itu untuk pembangunan ekonomi di sektor kehutanan, tidak perlu banyak cukup 3 triliun saja atau jangan 3 triliun cukuplah 1 triliun maka saya yakin ekonomi Aceh 3 tahun ke depan menjadi lebih cerah dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya (terutama yang tinggal di sekitar kawasan hutan).
Namun hal penting dari berbagai harapan dan keinginan itu adalah sense of resurrection dari internal pengampu kehutanan (pemerintah) agar memunculkan banyak inovasi-inovasi untuk keluar dari kungkungan isian proyek dan menata secara sistematik pengelolaan kehutanan menuju KPH mandiri. Â Capaian program haruslah yang mudah diwujudkan agar kinerja menjadi lebih terukur dan tidak berkutat pada hal-hal yang rutin itu itu saja.
Aceh dengan 7 KPH mesti menjadi garda terdepan menjawab permasalahan kemiskinan bangsa Aceh, kita tidak boleh lagi bertumpu pada sumber daya alam yang exploitatif seperti migas dan tambang mineral logam lainnya karena terbukti puluhan tahun tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat melainkan hanya mensejahterakan pejabat.Â
Ahhhh....saya rindu sosok sang Begawan yang selama ini banyak memberi wejangan-wejangan untuk selalu berpikir positif, bahwa hutan Aceh itu adalah masa depan dan harapan generasi mendatang yang bila tidak dikelola dengan baik maka Aceh akan berada dalam keadaan rugi.
Sambil menikmati alunan nyanyian Koes Plus yang mereka rilis pada tahun 1973 dari dalam laptop, duduk bersandar pada kursi dan memejamkan mata terdengar ....
......Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada topan tiada badai kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.....
Quo vadis hutan Aceh.???
Banda Aceh, 31 Oktober 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H