Mohon tunggu...
Efendi Rustam
Efendi Rustam Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Saya memiliki ukuran moral dan persepsi sensualitas yang mungkin berbeda dengan orang lain

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pendidikan Politik Dari Orang-Orang (Tak) Terdidik

28 Maret 2014   20:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:21 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap kali mendekati pemilu atau masa-masa kampanye, hati kami selalu bergejolak dengan berbagai perasaan manakala melihat poster-poster para calon anggota legislatif baik pusat maupun daerah. Gejolak hati yang telah ber-siklus setiap lima tahun sekali. Wajah-wajah ganteng dan cantik. Santun, ini terlihat dari posenya yang semua menyunggingkan senyuman ramah. Cerdas dan pintar, ini terbukti dari berbagai gelar akademik yang mereka tuliskan di namanya. Hampir semuanya rata-rata berpendidikan magister bahkan tidak sedikit pula yang doktoral. Saking banyaknya macam-macam gelar akademik tersebut, kami sampai tidak tahu itu dari disiplin ilmu apa. Dan kami masyarakat bodoh yang tinggal di pedesaan bahkan tidak tahu kepanjangan dari gelar-gelar akademik tersebut. Yang kami tahu hanyalah para calon anggota legislatif ini pasti orang-orang pandai semua.

Ragam gejolak hati kami yang pertama adalah rasa bangga. Wakil-wakil kami nantinya, siapapun yang terpilih adalah orang-orang berpendidikan yang mempunyai segudang ilmu dan berwawasan luas. Tambahan gelar haji atau hajah semakin memupuk kebangaan kami jika mereka semua berakhlak mulia. Kedua, kami diliputi rasa haru yang teramat sangat. Betapa tidak, dengan membaca berbagai macam gelar tadi tanpa disadari hati kami menangis ketika membayangkan bagaimana nanti negara yang sangat kami cintai ini berjalan. Tata kelola negara sudah dapat dipastikan akan berjalan rapi, segala bentuk perundang-undangan yang membela kepentingan rakyat, penganggaran dan manajemen keuangan yang bersih, sidang-sidang yang tertib dengan berbagai argumen yang kesemuanya membela kepentingan rakyat. Betapa majunya kelak negara kita ini ditangan mereka wakil-wakil rakyat yang pintar dan cerdas tersebut. Perasaan ketiga  adalah kesedihan yang hanya kami simpan dalam batin. Sedih karena kami tidak bisa seperti mereka bisa bersekolah setinggi mungkin dan berguna bagi masyarakat banyak, bagi seluruh rakyat di negara ini. Jelas kami iri pada mereka karena kapasitas kami masih sebatas untuk diri pribadi kalaupun melebar itupun baru tingkat RT yang hanya sebatas ikut gotong royong membersihkan selokan air yang mampet.

Kesadaran bahwa kami hanyalah rakyat kecil yang tidak berpendidikan dan buta tentang politik dan cara mengelola negara menjadikan kami sangat berharap sekali pada mereka. Namun bukan berarti kami lantas diam begitu saja dan menyerahkan semua kepada mereka, kami rakyat kecil yang bodoh ini pun ingin belajar apa itu politik, bagaimana berpilitik, apa saja produk-produk politik meski kami tidak akan pernah bisa menjadi pelaku politik praktis seperti mereka. Kami menginginkan sebuah transfer ilmu politik dari mereka kepada kami rakyat yang bodoh ini tentang demokrasi yang benar sebab kami tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan suara yang diberikan setiap lima tahun sekali. Karena kami bagian dari berjuta-juta rakyat negara ini juga ingin menentukan dan mempunyai andil dalam membawa pergerakan bangsa ke arah yang lebih baik dan maju.

Kami sudah bosan jikalau selama ini hanya dianggap seperti sabit, dicari, diasah dan disayang bila untuk memotong padi tapi seterusnya dibengkalaikan dan dibiarkan berkarat begitu saja bila masa panen telah usai. kami sudah sangat muak setiap kali melihat berita di koran dan televisi tentang para wakil rakyat yang disidangkan karena kasus korupsi. Kami juga sudah sangat letih melihat berbagai celotehan riuh dalam ruang sidang, seperti anak-anak kecil yang bermain ketika lelah lalu tertidur kemudian bangun untuk jalan-jalan minta jajan. Kami sudah tidak bisa tertawa menyaksikan lawakan yang basi dan tidak lucu lagi.

Tapi apa daya, harapan dan keyakinan kami untuk mendapatkan pendidikan politik yang baik, dewasa dan berbesar hati masih sebatas angan. Mereka para calon anggota legislatif yang berilmu tinggi tidak jua kunjung membuka kelas untuk kami si rakyat bodoh ini. Melihat di layar kaca, koran, media sosial yang ada hanya baku hantam pernyataan untuk menjatuhkan lawan. Tidak ada lagi orasi mengapa kami harus memilih anda. Politik transaksional juga marak diberitakan. Pelanggaran-pelanggaran aturan kampanye juga jelas di depan mata. Tidak mempunyai program-program yang jelas saat berorasi menjadikan kampanye hanya ajang ndangdutan saja. Contoh kecil saja, sudah tahu dari dulu bila kampanye membawa anak-anak dilarang masih saja dilakukan dan dengan bangganya ketua partai bersilat lidah memberikan pembelaan. Provokasi lewat tulisan-tulisan tanpa ada sumber jelas yang berisi hasutan kebencian juga menjadi cara yang dihalalkan. Dogma yang penting meraup suara terbanyak dan calon yang diusung menang menjadi parameter untuk melegalkan berbagai cara kotor lainnya. Lalu apa salah bila akhirnya kami berpikir negatif kalau selama ini bapak-bapak dan ibu-ibu yang pintar tersebut mungkin menginginkan kami selamanya bodoh sehingga bisa terus dimanfaatkan ataupun ditipu dengan janji-janji manis untuk mencapai tujuannya.

Sungguh ironis sekali bila selama ini kami dilarang untuk golput dan disuruh menggunakan hak pilihnya secara rasional agar bisa menentukan nasib negara tapi di satu sisi calon-calon yang akan kami pilih justru menciptakan kondisi kebalikannya. Kami dituntut untuk berpikir cerdas akan tetapi hampir tidak ada yang berusaha mencerdaskan kami ataupun memberikan pembelajaran yang nyata bagaimana untuk bisa cerdas dalam berpolitik. Lantas siapa yang salah, kami atau mereka para calon anggota legislatif tersebut....? Seperti ungkapan seorang ahli bahwa ketika seseorang diajak, dibentuk, dipaksa, dirangsang mengikuti sebuah pola maka baik menolak atau menerima sesungguhnya ia mengalami proses "pembelajaran".

Kami tidak buta, bisa melihat tingkah laku yang baik maupun buruk. Segala yang berlebihan akan jelas terlihat kasat mata. Yang kami perlukan adalah orang berilmu yang benar-benar mempunyai kemauan untuk menjadi penyambung lidah seluruh rakyat bukan wakil partai atau golongan tertentu. Terima uangnya, tidak usah memilih...?? Golput...?? Tidak pernah terpikirkan oleh kami si rakyat bodoh ini untuk mengorbankan satu pesta demokrasi dengan tingkat kepemilihan yang sangat rendah hanya untuk sekedar-kedaran memberi pelajaran bagi para calon anggota legislatif yang nakal meski ada sebagian dari kami yang menganggap itu bisa menjadi salah satu cara untuk memutus mata rantai politik uang, menjadikan bangkrut calon yang bermain dengan uang, karena seharusnya justru merekalah yang proaktif memberi pelajaran politik yang benar kepada kami. Kami bukan tipe orang usil yang suka me-ngerjain orang lain, kami tidak punya bakat artis yang seperti itu.

Semua pasti ada kesalahan dan kami berusaha menjadikannya sebagai alasan untuk terus belajar. Apakah hanya disetiap ajang pemilu saja kami menginginkan pembelajaran, tentu tidak. Kami ingin sebuah sikap dan tindakan jelas yang berkesinambungan dari para wakil-wakil kami yang terpilih nantinya untuk terus mencerdaskan serta mendewasakan kami dalam berpolitik. Kami melihat berbagai kegiatan para wakil-wakil rakyat di media, berilah kami pelajaran demokrasi dan politik yang sesungguhnya sehingga kami punya dasar pengetahuan politik yang kuat agar bisa berpartisipasi dalam proses pembangunan dan politik untuk menyongsong setiap pemilu yang datang hingga akhirnya akan tercipta negara yang maju dan selalu peduli dengan keberadaan kami rakyat bodohnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun