Mohon tunggu...
Efendi Rustam
Efendi Rustam Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Saya memiliki ukuran moral dan persepsi sensualitas yang mungkin berbeda dengan orang lain

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sosialita

15 Mei 2014   07:21 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:30 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melihat gaya hidup artis idola saya di infotainment, sungguh sesuatu yang luar biasa. Satu hal yang membuat saya bersemangat ketika pembawa acaranya selalu menyebut mereka sebagai kelas masyarakat dengan gaya hidup sosialita. Ternyata begitu caranya masuk kelas sosialita, hal yang selalu saya impikan. Susah payah, meski belum sampai pada tahap setengah mati namun saya terus mencoba untuk bertransformasi menjadi mahkluk sosialita. Usaha yang terberat, saya harus bisa keluar dari tiga ciri yang selama ini disematkan oleh teman-teman saya. Tiga hal yang selalu membuat saya senyum-senyum sendiri bahkan melompat gila saat melakukannya. Dan karena hal tersebut itulah akhirnya teman saya yang ndeso berhasil merumuskan sebuah asumsi kenapa seseorang pantas dilabeli kata "ckckckckck" bila orang tersebut sama seperti saya yang kegirangan saat dipotret, naik mobil dan gratisan. So what...? Saya adalah masyarakat kelas sosialita, meski hanya kelas teri.

Pertama, saya suka difoto, bahkan karena kebiasaan saya yang sering memotret diri sendiri sekarang lahir trend foto selfie di dunia fotografi. Foto adalah hal penting bagi saya. Karena dengan foto yang terus up date, saya ingin teman-teman saya tahu perkembangan saya. Lihat saja folder foto profil di facebook atau display BBM saya. Betapa bangganya saya bisa memamerkan makanan di restoran mewah meski hanya traktiran. Memilih-milih tas Hermes di mall terbesar walau sebenarnya saya hanya numpang pose di depan etalasenya. Atau ketika di ajang pamerang saya nekad mengendap-endap untuk menghindari teguran satpam hanya untuk bisa nangkring di bamper Mercy guna berfoto diri. Teman-teman saya seharusnya bangga dengan segala kemewahan foto saya. Foto adalah gambaran kelas hidup dan seharusnya kalian berdecak kagum pada saya. Saya butuh identitas meski itu hanya kepura-puraan. Dan karena ndableg-nya saya yang ingin terus dipuji, saya tidak peduli (mungkin lebih tepatnya tidak tahu) ketika teman-teman saya menertawai foto display BBM saya yang sedang bergaya bak fotografer profesional dengan membidikkan sebuah kamera DSLR. Harapan saya menjadi nyata ketika sesaat kemudian ada pesan masuk, "Kamera pinjaman ya...?". Saya masih terdiam sampai beberapa detik kemudian masuk sebuah balasan, "Ya tahulah, habis makainya kaya orang pegang wajan gitu...". Gubraaak..., kok dia bisa tahu...!!

Kedua, saya sangat suka naik mobil pribadi tapi bukan mobil saya. Lho...?? Ya, saya memang belum mampu beli mobil makanya saya akan girang sekali bila ada teman yang mengajak saya untuk naik mobilnya apalagi meminjamkannya kepada saya. Tiba-tiba harga diri saya melambung dratis dan menjadikan saya lupa daratan. Cara jalan saya tiba-tiba berubah di depan tukang parkir ataupun di depan kumpulan para gadis. Saya harus sombong karena tidak tiap hari saya bisa merasakan hembusan sejuk AC dari sedan sport ini. Sangat nyaman, jadi tidak heran bila para koruptor mempunyai berpuluh-puluh mobil mewah di garasinya. Entah berapa gadis cantik sudah menggoyang mobil yang saya bawa. Tulisan matre di jidat mereka semakin mempermudah jalan saya untuk menikmati hidup bagaikan mie instan.

Ketiga, gratisan. Wow, air liur saya sering menetes sendiri setiap kali mendengar kata gratis. Demi mendapatkan sesuatu yang gratis ini saya rela melakukan apa saja karena dengan gratisan maka saya bisa menggunakan uang saya untuk membeli barang-barang lain yang bisa dipamerkan pada teman-teman saya. Tidak peduli waktu lama menunggu giliran, berpanas ria dalam desakan ataupun harus menginjak-injak tanaman hias dalam taman hanya demi mendapatkan ice cream gratis. Saya bahkan menjadi berani dan tega menyikut seorang ibu tua saat berebut amplop merah dari bos pemilik restoran. Bahkan saya sudah membuat catatan tempat yang mengadakan buka bersama gratis waktu bulan puasa. Kan gratis untuk siapa saja, kenapa kalian menyalahkan saya...?

Saya adalah manusia masa kini yang terlahir di jaman modern. Pikiran saya terpelajar dan maju, jadi tidak salah bila saya menjadikan luar negeri sebagai kiblat budaya dan perilaku saya meski saya sendiri juga masih bingung belahan luar negeri sebelah mana yang saya adopsi kelakuannya, bagi saya tidak urgent untuk dijawab, mau campur aduk yang penting luar negeri. Saya suka dengan kebersihan namun hidup saya yang dinamis dan serba cepat membuat saya tidak sempat membuang tissu bekas saya mengelap keringat pada bak sampah. Tuntutan waktu tidak memungkinkan saya harus antri, kalau bisa dibuat mudah kenapa harus sulit. Lihatlah orang-orang disekitar saya, orang-orang top walaupun baru tingkat kelurahan tapi dengan mudah akan memberikan pertolongan untuk membuat jalan pintas untuk saya lewati.

Jadi, tidak ada lagi alasan untuk memanggil saya udik ataupun norak lagi karena sudah jelas kalau kelas dan gaya hidup saya adalah sosialita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun