Mohon tunggu...
Efendi
Efendi Mohon Tunggu... Editor - Saya adalah mantan editor di Investor Daily, suka menulis, mengikuti tren dunia bisnis, ekonomi dan perbankan.

Sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia Mengamati ekonomi dan perbankan

Selanjutnya

Tutup

Money

Manfaatkan Produk Keuangan, Beli Rumah Rp 150 Juta Sekarang Jadi Rp 900 Juta

25 Agustus 2020   15:03 Diperbarui: 25 Agustus 2020   15:25 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun 2007 atau 13 tahun lalu, saya memutuskan untuk menikah dan kemudian langsung membeli rumah. Saya bersama istri langsung mencari informasi harga rumah di pinggiran Jakarta, apakah di Depok, di Tangerang, atau di Bekasi, dengan mendatangi pameran properti. Setelah survei ke Tangerang, Bekasi, dan lokasi lainnya, kami sepakat memilih lokasi di Depok. 

Selain sudah familiar dengan kotanya karena saya pernah kuliah di Universitas Indonesia, lingkungan kota Depok juga sangat sesuai dengan selera kami berdua, dekat dari Jakarta tempat saya bekerja dan ada banyak kampus untuk kuliah anak-anak saya kelak nanti jika mereka sudah besar. Selain itu, lokasi rumah yang diincar juga sangat dekat dengan rumah sakit.

Setelah lokasi, pertimbangan lain dari kami berdua tentu saja masalah harga rumah dan kemampuan isi kantung. Ketika itu di Depok, harga rumah bervariasi, dari mulai Rp 150 juta dan sampai Rp 450 juta, bedanya hanya di selisih lokasi saja, 4-5 kilometer antara rumah dengan harga Rp 150 juta dan yang Rp 450 juta. Saya menghitung-hitung, jika saya ambil rumah yang Rp 150 juta, cicilan KPR maksimal bisa 10 tahun, tapi jika saya ambil ambil rumah yang harganya Rp 450 juta, cicilan KPR mungkin bisa sampai 15-20 tahun.  

Hmm..akhirnya saya memutuskan untuk lebih baik ambil rumah yang harganya Rp 150 juta saja, biar bayar cicilannya tidak panjang dan ke depannya saya juga tidak ingin terbebani dua beban sekaligus secara bersamaan, yakni cicilan rumah dan biaya kuliah anak nanti jika tenor KPR-nya sampai panjang misalkan sampai 20 tahun. 

Pertimbangan lain tentu saja down payment (DP) alias uang muka, yang harus disetor 10% dari harga rumah saat itu (kalau sekarang DP dipersyaratkan Bank Indonesia adalah 30% dari harga rumah). Jika harga rumah Rp 150 juta, uang DP yang harus disiapkan adalah sebesar Rp 15 juta, dan jika Rp 450 juta, DP-nya Rp 45 juta. Tentu saja, berat bagi saya yang baru saja nikah, harus mengumpulkan uang Rp 45 juta. Sisa tabungan yang ada hanya Rp 20 juta.

Akhirnya, saya mengajukan kredit ke Bank CIMB Niaga, bank yang sama dengan pembayaran gaji kantor dan kebetulan bekerjasama dengan developer. Alhamdullilah, pengajuan KPR saya kemudian disetujui oleh bank dan tenor kreditnya pun hanya 10 tahun. Dengan gaji ketika itu Rp 4.700.000, saya harus mencicil KPR tiap bulannya sebesar Rp 1,8 juta. 

Berat? tentu saja berat jika ditanya beban cicilan tersebut. Tapi, saya yakin dengan disiplin mengelola keuangan, menahan 'nafsu' belanja, semuanya bisa dilakukan. Apalagi ke depannya, gaji saya akan terus meningkat. Saya merasakan beban berat mencicil paling tidak 3-4 tahun pertama. Namun, seiring kenaikan gaji dan jabatan, beban tersebut sedikit menjadi ringan. Hingga akhirnya, KPR saya lunas pada tahun 2017.

Sekarang, selang 13 tahun, cari harga rumah di Depok dengan harga Rp 150 juta, sudah tidak ada lagi. Jikapun ada, luas tanahnya jauh lebih kecil sekitar 30-45 meter persegi dan lokasi agak jauh dari pusat kota Depok. Harga rumah yang saya tempati saat ini nilainya sudah di atas Rp 900 juta.

Luar biasa memang kenaikan harga tanah. Rumah yang saya beli seharga Rp 150 juta, enam bulan kemudian saya cek brosurnya, eh harganya sudah naik menjadi Rp 200 juta. Hanya dalam tempo enam bulan, naiknya sampai Rp 50 juta. Saya mikir dalam hati, bersyukur sudah mendapatkan rumah dan tidak menunda pembeliannya. Belum tentu juga gaji saya bisa naik Rp 50 juta dalam enam bulan.

Manfaatkan Produk Keuangan

Bagi saya, manfaatkan produk keuangan seperti kredit pemilikan rumah (KPR) untuk memiliki rumah sudah menjadi suatu kebutuhan yang harus dilakukan. Tentu saja, dalam memanfaatkan produk keuangan seperti KPR ini, kita harus disiplin dan bertanggung jawab agar cicilan kita tidak macet hingga akhirnya rumah kita disita oleh bank karena tidak mampu membayar cicilan. Jika ini terjadi, tentu saja, kita akan rugi besar, karena impian kita untuk memiliki rumah menjadi kandas, harga rumah akan naik terus (gaji kita tidak akan mampu mengejarnya), dan lantas nama kita akan masuk daftar debitor hitam alias nama kita masuk dalam Sistem Informasi Debitor, suatu sistem yang dikembangkan oleh Bank Indonesia memuat informasi nama-nama peminjam yang suka ngemplang utang dan bisa diakses oleh seluruh bank.

Jika ini terjadi, kita akan sulit mengakses fasilitas kredit ke bank manapun. Celaka 12 belas namanya.

Dalam pengantar buku yang ditulis oleh Garrett Sutton, the ABCs of Getting Out of Debt, Robert Kiyosaki berkomentar bahwa utang atau kredit adalah alat finansial yang kuat yang memungkinkan dunia menikmati standar hidup lebih tinggi dalam sejarah. Kiyosaki juga menulis bahwa pinjaman yang baik membuat kamu kaya dan kredit macet membuat kamu miskin. Tentu, makna pinjaman yang baik ini bukan mendorong kita untuk lantas sering berutang atau meminjam ke bank. Ada jenis dan peruntukkan pinjaman, apakah untuk konsumtif (aset tidak bertambah) atau produktif (aset bertambah) yang lantas menjadi patokan utamanya.

Garrett Sutton juga memaparkan ada lima tipe jenis peminjam, yakni:

1. Tipe pengharap. Peminjam tipe ini adalah orang-orang yang optimistis dengan utang atau kreditnya hanya untuk membeli barang-barang bagus. Tipe peminjam ini sering kali memiliki pinjaman lebih dari satu dan hanya melihat bahwa cicilan A hanya kecil senilai Rp 500 ribu dan cicilan B hanya Rp 750 ribu tanpa melihat total cicilan keseluruhannya sudah mencapai jutaan rupiah dan sudah mencapai 50% dari penghasilannya. Saking optimistisnya, mereka tidak melihat potensi masa depan bahwa belum tentu penghasilan mereka akan bertambah dan suatu saat bisa saja terkena PHK.

2. Tipe pembuang. Tipe peminjam ini seringkali meminjam kredit hanya untuk membelanjakan uang pinjamannya tersebut sebagai 'pelarian'. Mereka seringkali tergoda tawaran bunga nol persen. Setelah kesenangan sesaat berakhir, mereka jadi stress kembali dengan cicilan yang besar dan bertumpuk.

3. Tipe pengingin. Tipe peminjam ini adalah orang yang tidak sabaran dan langsung menginginkan barang seketika. Tipe peminjam ini didasari penelitian terhadap sekelompok anak-anak yang kelaparan dan ditawarkan marshmallows. Kepada anak-anak ini ditawarkan jika mereka mau bersabar menunggu 15-20 menit, maka mereka akan mendapatkan dua marshmallows. Hasilnya, setengah anak langsung memakan satu marshmallows di hadapannya dan sisanya memilih bersabar menunggu. Setelah mereka dewasa, kelompok pertama kurang percaya diri, tidak memiliki rencana jangka panjang, pernikahannya buruk, berpendapatan rendah, dan tidak puas dengan pekerjaannya. Sedangkan kelompok kedua memiliki kehidupan lebih baik.

4. Tipe whishers, yakni tipe peminjam yang banyak membaca tentang buku-buku perencana keuangan, namun merasa berat untuk menerapkannya.

5. Tipe pemenang, yakni tipe peminjam yang memanfaatkan secara bijak pinjaman/utang untuk aset yang produktif.

Strategi

Lantas, bagaimana kita bisa tampil menjadi pemenang? Berdasarkan pengalaman saya, janganlah mudah tergoda dengan pinjaman yang menawarkan cicilan nol persen, bunga rendah, dan lain sebagainya. Usahakan pinjaman yang diperoleh benar-benar untuk hal-hal yang produktif. Jangan ambil lebih dari satu pinjaman.

Untuk bisa memiliki rumah, pastikan fasilitas KPR yang kita peroleh sesuai dengan kemampuan menyicil. Jika kita mampu menyicil 10 tahun, lakukan 10 tahun. Jika 15 tahun, lakukan 15 tahun. Jangan tergoda perbedaan Rp 200-500 ribu, lantas kita memilih tenor 20 tahun ketimbang 15 tahun. 

Kenapa? karena semakin panjang tenor pinjaman KPR kita, sama saja menimbulkan siklus ketidakpastian yang panjang pula bagi diri kita, meski cicilannya sedikit lebih ringan. Belum lagi berbagai pertimbangan yang telah saya sampaikan di awal tulisan. Terus jika kita hitung Rp 500 ribu dikalikan 12 bulan dikalikan 5 tahun sudah setara dengan tambahan Rp 30 juta dalam cicilan kita. Apakah kita bisa menabung sebesar itu?

Kedua, dengan meminjam lebih lama, sama saja kita membayar bunga lebih besar kepada pihak bank. Seperti diketahui, cicilan KPR pada 1-5 tahun pertama, kita selalu membayar bunga lebih besar ketimbang pokok utang. Pengalaman saya, dengan tenor 10 tahun, bunga yang harus dibayarkan tiap bulannya selalu lebih besar dari cicilan pokoknya sampai 3 tahun pertama, setelah itu pokoknya mulai bertambah semakin besar dan bunganya semakin mengecil. Itu jika bertenor 10 tahun.

Dengan kondisi seperti ini, hindari untuk pindah bank dengan fasilitas take over KPR. Apalagi jika kita sudah menyicil selama 5 tahun berjalan. Jika kita pindah bank dengan mengambil fasilitas take over, cicilan kita sama saja akan start dari nol tahun lagi dengan bunga di awal lebih besar ketimbang pokoknya.

Terakhir, dari pengalaman saya, dengan gaji Rp 4,7 juta dan cicilan Rp 1,8 juta (tahun kedua naik menjadi Rp 2,2 juta sampai lunas), bagaimana saya bisa hidup dengan sisa uang Rp 2,9 juta? Strateginya saya menggunakan kartu kredit. Setiap minggu saya bersama istri belanja di supermarket untuk belanja dan selalu menggunakan kartu kredit untuk membayar. Tentu, saya batasi belanjanya dalam sebulan tidak melewati Rp 1.000.000 pada tahun 2007.

Lalu, sebelum jatuh tempo, ketika sudah gajian, saya melunasi seluruhnya tagihan kartu kredit tersebut. Alhasil, saya mendapat bantuan likuiditas sebesar Rp 1.000.000 dari pihak bank penerbit kartu kredit tapi saya tidak pernah membayar bunga satu senpun. Sisa uang yang ada saya pakai untuk berjaga-jaga untuk biaya berobat dan lain sebagainya.

Strategi ini terus saya gunakan sampai sekarang, meski KPR saya sudah lunas pada tahun 2017 lalu, serta penghasilan saya sudah jauh lebih baik. Pada tahun lalu, saya mengajukan lagi KPR renovasi untuk meningkatkan rumah dengan menggunakan Bank BNI, namun dengan tenor 7 tahun.

Prinsipnya, bijaksana dan disiplin dalam manfaatkan produk keuangan. Jangan sampai pinjaman kita macet. Dengan prinsip ini, saya yakin apa yang diyakini Robert Kiyosaki dan Garrett Sutton memang benar adanya. Sekaligus, dengan menjadi peminjam yang baik, kita turut menjaga stabilitas sistem keuangan dan makroprudensial aman terjaga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun