Judul di atas bukan murni dari pikiran saya, tapi saya memilihnya karena memang dirasakan tepat untuk menggambarkan intisari dari tulisan saya ini, yakni secuil doa dan harapan atas usia 50 tahun Harian Kompas. Judul di atas, yakni “Mewarnai 50 Tahun Berikutnya” banyak berseliweran di twitter bertepatan dengan ulang tahun Kompas ke-50 tahun yang jatuh pada 28 Juni 2015.
50 tahun bukanlah usia yang relatif muda. Ibarat manusia, Kompas dalam usia 50 tahun sudah menghabiskan banyak asam garam kehidupan. Dari bayi kecil yang hanya memiliki pegawai 20 orang saja, Kompas kini menjelma menjadi konglomerasi media dengan 21 ribu karyawan dengan omzet mencapai Rp 15 triliun pertahunnya.
Tentu saja tidak mudah mengelola industri media massa, di tengah idealisme dan naluri bisnis yang cenderung mengedepankan modal dan keuntungan adalah segalanya. Tidak mudah juga mengelola sebuah media, di tengah masyarakat yang mayoritas masih buta huruf dan berpendidikan rendah. Oplah adalah oksigen sekaligus darah yang menentukan hidup matinya bisnis koran.
Itulah perjalanan 50 tahun Kompas. Berdiri pada 28 Juni 1965, Kompas lahir di tengah situasi politik yang bergejolak. Saat itu Politik adalah Panglima, sehingga tidak jarang media digunakan sebagai corong politik. Di tengah struktur sosial politik seperti itu, pendiri Kompas, yakni Jacob Oetama dan PK Ojong memilih jalan tengah, yakni tidak ingin menjadi corong politik dari suatu partai politik. Kritik kepada pemerintah, terutama sepanjang Orde Baru, pada akhirnya juga disampaikan secara halus dan cenderung bernuansa konstruktif (memberikan ide-ide perbaikan dan membangun).
Gaya Kompas di atas tidak terlepas dari sosok Jacoeb Oetama, yang cenderung menganut konservatif. Dahlan Iskan, dalam tulisannya, menyebut Jacob Oetama masuk kelompok wartawan penakut, bukan sosok wartawan pejuang yang gagah berani menantang maut, seperti Mochtar Lubis (Indonesia Raya), Rosihan Anwar (Pedoman), Tasrif (Abadi), Aristides Katoppo (Sinar Harapan), Nono Anwar Makarim (Kami), Goenawan Mohamad (Tempo), dan lain sebagainya. Dahlan juga menyebut model kritikan Jacob Oetama adalah model kritik manis, bukan kritik pedas milik Mochtar Lubis ataupun kritik jenaka model Goenawan Mohamad.
Perjalanan 50 tahun Kompas sebetulnya adalah perjalanan kehidupan Jacob Oetama. Meski tidak berpolitik, Kompas dan Jacob Oetama menempatkan porsi pemberitaan mengenai demokrasi, politik, korupsi, sosial budaya, pendidikan, sebagai hal yang utama. Ini bisa dimaklumi, mengingat Jacob Oetama lahir dan dewasa di tengah kondisi bangsanya yang tengah membangun sistem pemerintahan dan politik yang mapan, demokrasi, bebas korupsi.
Pada titik ini, Jacob Oetama berupaya mengubah dan membangun bangsanya, tentu saja melalui Kompas, sesuai negara-negara maju, baik pada tatanan negara maupun masyarakatnya. Pada tataran negara, Jacob Oetama melalui Kompas berupaya mengubah wajah Indonesia dari negara otoriter menjadi demokratis, dari korupsi menjadi bebas korupsi. Pada tataran masyarakatnya, Jacob Oetama melalui Kompas ingin mengubah wajah masyarakat Indonesia dari masyarakat feodal menjadi modern dan pluralis.
Selama 50 tahun kehadirannya, Kompas semakin dewasa. Kompas juga berhasil mendewasakan Indonesia yang usianya jauh lebih tua, yakni 70 tahun pada Agustus nanti. Kompas secara perlahan namun pasti mampu membawa perubahan bagi bangsa Indonesia, mulai dari sistem perpolitikan yang demokratis dan modern hingga mulai berjalannya pemberantasan korupsi.
Dalam usianya ke-50 tahun, Kompas seperti judul di atas berhasil mewarnai Indonesia dengan rasa kemajemukan, pluralisme, penegakan hukum, dan mulai terbangunnya semangat anti-korupi.
Mewarnai 50 Tahun Berikut