Kecurigaan masyarakat terhadap keterlibatan preman dan pemanfaatan preman oleh pemerintah memang sangat beralasan. Bahkan seorang pakar Tilly (1985) pernah mengatakan bahwa “berulang kali, para spesialis kekerasan non-pemerintah secara efektif bersekutu dengan pemerintah, menjadi bagian dari pemerintahan, mengambil alih pemerintahan yang ada, atau menjadi pemerintahannya sendiri”.
Kemudian, Wilson memberikan gambaran soal preman di Indonesia. Menurutnya Wilson, preman di Indonesia digambarkan sebagai “para spesialis kekerasan” non-pemerintah yang digambarkan Tilly sudah menjadi sosok yang nyata dan hadir di sepanjang sejarah.
Umumnya mereka hadir dalam aneka variasi dan perwujudan lokal, seperti Ormas-ormas vigilante[1], milisi, gang-gang, pemeras, centeng, kecil, preman politik, keamanan swasta, dan tentara bayaran.
Dari pernyataan ini memang sangatlah mengerikan jika pemerintah benar-benar menggunakan preman sebagai sebagai bagian dari tugas menjaga ketertiban masyarakat dalam mentaati protokol kesehatan.
Nah, dengan memahami tentang ‘preman’ sebagai sebuah konotasi negatif dari status sosial yang hadir di masyarakat, dan dengan adanya wacana menggunakan tenaga preman oleh polisi tentunya patut kita tolak sebelum menimbulkan dampak yang lebih luas.
Namun kita akan mendukung jika pemerintah melibatkan Satpol PP dalam membantu polisi yang jumlahnya terbatas untuk menjaga tertib pelaksanaan protokol kesehatan di masyarakat .(FY/15/9/2020)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H