Dia justru mengatakan agar aku jangan mengganggu Airin karena Airin memang sangat repot dengan waktunya. Tanpa banyak bicara aku segera meninggalkan kantor Airin.
Kata-kata lelaki itu terasa merupakan cambuk sekaligus upaya menarik minatku untuk bicara empat mata dengan Airin. Yah... aku harus bias menyadari, memang tidak sepantasnya membicarakan tentang Airin. Soal masa lalu biarlah tetap menjadikan sebuah kenangan yang tidak harus berulang kembali.
Akupun berusaha untuk menghilangkan pikiran-pikiran yang berkecamuk ini soal Airin secara total. Meski agak sussah juga namun aku tetap berusaha melupakannya, aku berusaha untuk mengadakan perjalanan di daerah pegunungan.
Udara segar di Kaliurang cukup memberikan kenikmatan tersendiri. Tak jarang hari yang berganti aku habiskan waktu disana. Suatu hari, aku dikagetkan oleh tiga motor yang diparkirkan di rumah, deru motorku yang mulai masuk halaman rumah membuat beberapa diantara mereka berusaha menengok, aku memang tidak begitu mendengar apa yang mereka bicarakan, samar-samar ku dengar, suara Efi dan Putri.
Aku tidak segera masuk ruang tamu. Dari depan kamar belajar ibu berjalan perlahan kearahku, ia mengatakan kalau sudah seminggu aku tidak masuk kuliah. Aku hanya diam saja, sudah pasti teman-temenku yang sudah laporan sama ibu. Sekalipun ibu ngomel, aku biarkan saja. Malu bila kedengaran temen-temen.
Kamipun saling bersalaman dan saling member kabar. Walau aku sedang dalam keadaan tidak baik, tetap aku jawab kabar baik, supaya teman-teman tidak curiga tentang keadaanku.Â
Rupanya Putri ingin mengetahui sejelas-jelasnya apa yang aku lakukan kenapa tidak masuk Kuiah selama seminggu. Aku sendiri hanya bilang lagi ada acara mendadak. Itupun tidak menjadikan jawab menghiyakan Putri, namun akupun tidak lagi menanggapi maunya Putri. Kami segera lebur dengan pembicaraan-pembicaraan seputar perkuliahan.
Putri rupanya masih penasaran denganku, Nampak sekali sewaktu bertemu di Kampus ia berusaha untuk mencari tahu lebh jauh kenapa tidak masuk Kuliah. Aku berusaha untuk mengalihkan pembicaraan ke lain persoalan, meski begitu putrid hanya nampak berkerut dan terasa tidak mau menerima jawab yang aku berikan kepadanya.
Dikampus aku lebih banyak berdiam diri, rasanya susah ngomong seperti biasanya. Keadaan seperti itu tidaklah berlangsung lama sebab akhirnya aku bias menghilangkan pikiran-pikiran tentang Airin. Soal perkuliahan sudah mulai stabil lagi.
Memang ada benarnya jika dunia ini banyak peristiwa-peristiwa yang terkadang sulit ditembus oleh mata hati. Bagaimana tidak, sewaktu kehidupan mulai berjalan pada kewajaran tiba-tiba dating sepucuk surat untukku.Â
Dalam sampul surat berwarna merah jingga itu ditulis juga alamat dan nama pengirim. Isi syurat itu cukup siangkat "Aku memperhatikanmu terdorong rasa kasihan, diaamping kepadamu namun juga semacam mandate dari seseorang temanmu untuk memperhatikanmu. Jika kamu memang berniat untuk berbicara soal ini datanglah dua hari lagi, pagi jam Sembilan sebagaimana sudah aku tulis alamatnya dalam surat ini. Dariku Airin."