Mohon tunggu...
Efatha F Borromeu Duarte
Efatha F Borromeu Duarte Mohon Tunggu... Dosen - Ilmu Politik Unud, Malleum Iustitiae Institute

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Menghargai Suara Akademisi: Mercusuar dalam Kegelapan Pemilu 2024

4 Februari 2024   20:17 Diperbarui: 4 Februari 2024   21:03 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Halo Sobat Kompasiana!

Di tengah arus tsunami populisme yang semakin menggulung Indonesia, seringkali kita abai terhadap salah satu pilar demokrasi kita yang paling fundamental: kaum akademisi. Biasa tenggelam dalam keheningan perpustakaan dan laboratorium, mereka sejatinya memainkan peran krusial dalam menjaga keseimbangan dan integritas demokrasi kita. Di era dimana fakta dan data kerap terkubur di bawah gemuruh retorika politik, keberanian dan ketajaman intelektual kaum akademisi adalah mercusuar yang menuntun kapal demokrasi kita melewati badai.

Pilar Demokrasi dan Peran Kaum Akademisi

Mengutip pemikiran Chantal Mouffe dalam "The Democratic Paradox," kita diingatkan bahwa demokrasi bukanlah tentang harmoni tanpa konflik, melainkan tentang penghormatan dan pengelolaan perbedaan (Mouffe, 2000). Di Indonesia, dimana informasi berlimpah dan narasi politik kerap menciptakan polarisasi, kaum akademisi hadir sebagai oase pikiran yang kritis dan analitis. Mereka bukan hanya pembicara di seminar dan konferensi, tapi juga garda terdepan dalam memastikan diskusi publik berakar pada penelitian yang solid dan argumentasi empiris yang logis. Menariknya, Mouffe menekankan pada distingsi antara 'agonisme'--- dimana pertarungan perbedaan diperbolehkan dan dihargai--- dan 'antagonisme' yang sebaliknya. Dalam kancah politik Indonesia, perbedaan pendapat kerap muncul dan hal yang biasa, adopsi pendekatan agonistik harusnya bisa mengubah konflik menjadi kekuatan produktif, bukan menjadi polarisasi yang merusak (Mouffe, 2000).

Agonisme vs Antagonisme: Perbedaan Pendapat dalam Demokrasi 

Namun, kondisinya hari ini di era fanatisme politik, setiap postingan pendapat dari kaum akademisi kerap dipandang skeptis. Apakah mereka kehilangan objektivitas? Terlalu terlibat politik? Menurut Habermas dalam "The Structural Transformation of the Public Sphere," ini seharusnya dianggap sebagai bentuk keterlibatan yang sehat. Dalam demokrasi sejati, kita harus merayakan keragaman pendapat dan diskusi yang terbuka, bukan menekannya (Habermas, 1989). Konsep 'pluralisme radikal' Mouffe menggarisbawahi bahwa pentingnya keragaman pendapat dan identitas dalam masyarakat demokratis. Kaum akademisi, dengan keterlibatan mereka dalam berbagai disiplin ilmu dan cara berpikir, secara alami mendorong pluralisme ini (Mouffe, 2000). Mereka membantu masyarakat menghargai dan merayakan keberagaman, fondasi dari demokrasi yang sehat.


Konflik, Pluralitas, dan Keterlibatan Kritis dalam Demokrasi Indonesia 

Kritik ilmiah kepada pemerintah, seperti yang terlihat dalam gerakan menjaga demokrasi oleh para guru besar beberapa kampus terkemuka di Indonesia, bukanlah tindakan subversif, melainkan manifestasi dari kebebasan akademis yang harus dihargai dan dilindungi. Ini adalah bagian dari dialog yang lebih luas, di mana konflik dan perbedaan pendapat bukan hal yang dihindari, melainkan ciri khas masyarakat demokratis yang dinamis (Young, 2000). Tetapi, pada status quonya fenomena ini membawa tantangan baru. Jejak digital akademisi---baik dukungan politik atau kritik---sering dipandang dengan skeptisisme, dianggap sebagai bukti prasangka atau hilangnya objektivitas. Dalam pemikiran Mouffe, ini seharusnya dilihat sebagai bukti keterlibatan dan keragaman pendapat (Mouffe, 2000). Dalam masyarakat yang sehat, keragaman pendapat harus dihargai, bukan dicemooh atau ditekan.

Pada kenyataanya kita harus mengakui konflik sebagai bagian intrinsik dari politik, kaum akademisi, dengan keterlibatan mereka yang kritis, memungkinkan pertarungan ide yang sehat dan produktif, memastikan bahwa suara-suara minoritas dan alternatif tidak hanya didengar tapi juga dihargai (Sen, 2009). Di Indonesia, dimana dinamika elektoral dan politik sering kompleks, peran kaum akademisi menjadi semakin penting. Mereka bukan hanya membantu memerangi dekadensi demokrasi akibat populisme, tapi juga dalam memelihara pluralitas yang sehat dan kritis dalam diskursus publik (Dryzek, 2000).

Sebaiknya!

Pada dasarnya semua catatan ini mendukung kebebasan akademis dan menghargai kontribusi intelektual adalah sebuah kunci untuk memastikan bahwa demokrasi di Indonesia tidak hanya bertahan, tapi juga berkembang. Dalam perjalanan demokrasi yang terus bergerak dan berubah, kaum akademisi bukanlah sekadar penonton di pinggir panggung sejarah; mereka adalah pemeran kunci yang mengarungi samudra intelektual, menantang arus, dan mengarahkan kapal demokrasi menuju horison yang lebih adil dan beradab. Para Akademisi harus menjadi mercusuar yang menerangi gelapnya malam populisme, dengan sinar pengetahuan yang tidak hanya mencerahkan, tetapi juga menghangatkan. Akademisi adalah jembatan antara dunia ide dan realitas, antara aspirasi dan kebijakan, antara masa kini dan masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun