Berikut mengenai transaksi yang dilarang dalam perbankan syariah, sebelum ke pembahasan penting untuk memahami prinsip-prinsip dasar yang melandasi sistem keuangan syariah. Sistem ini didasarkan pada hukum Islam (syariah), yang mencakup aturan-aturan yang dirancang untuk memastikan bahwa setiap kegiatan ekonomi adil, transparan, dan tidak merugikan pihak lain. Tujuan utama perbankan syariah adalah untuk mencapai kesejahteraan sosial dan ekonomi serta menjaga keadilan dalam transaksi.
Berikut adalah pembahasan lebih mendalam mengenai transaksi yang dilarang dalam perbankan syariah:
1. Riba (Bunga)
Riba dalam konteks syariah tidak hanya sekadar bunga, tetapi merujuk pada semua bentuk keuntungan yang dihasilkan dari transaksi tanpa adanya usaha produktif yang nyata. Dalam perbankan konvensional, bunga pada pinjaman adalah praktik yang lazim, dimana bank memberikan pinjaman kepada nasabah dengan syarat nasabah harus mengembalikan pokok pinjaman ditambah sejumlah bunga yang disepakati. Namun, dalam perbankan syariah, praktik ini dianggap melanggar keadilan karena:
- Eksploitasi: Pemberi pinjaman mendapatkan keuntungan (bunga) tanpa melakukan kerja nyata atau mengambil risiko. Nasabah, di sisi lain, harus membayar lebih meskipun bisnisnya mungkin tidak berjalan sesuai harapan.
- Ketidakseimbangan: Jika suatu proyek gagal atau bisnis tidak berhasil, nasabah tetap harus membayar bunga, yang dapat memperburuk situasi ekonomi mereka.
Alternatif dalam perbankan syariah: Perbankan syariah menggunakan prinsip profit and loss sharing (pembagian keuntungan dan kerugian). Dalam model ini, bank dan nasabah berbagi risiko dan keuntungan secara proporsional berdasarkan kontribusi mereka. Beberapa instrumen yang digunakan adalah:
- Mudharabah: Kemitraan antara bank (pemodal) dan pengusaha (pengelola), di mana keuntungan dibagi sesuai kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh bank, kecuali ada kelalaian dari pengelola.
- Musyarakah: Kemitraan di mana bank dan nasabah sama-sama menginvestasikan modal dan keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan. Kerugian dibagi berdasarkan kontribusi modal.
2. Gharar (Ketidakpastian atau Ambiguitas)
Gharar dalam transaksi berarti ketidakpastian atau ketidakjelasan mengenai salah satu atau beberapa elemen kontrak. Gharar dapat menimbulkan ketidakadilan dan perselisihan di kemudian hari karena para pihak mungkin tidak memahami sepenuhnya hak dan kewajiban mereka. Dalam transaksi, gharar dapat muncul ketika:
- Barang yang dijual tidak jelas dalam jumlah, spesifikasi, atau kualitasnya.
- Waktu pengiriman atau pembayaran tidak jelas atau bersifat spekulatif.
- Barang yang dijual belum dimiliki oleh penjual atau belum ada.
Contoh Gharar:
- Menjual ikan di laut yang belum tertangkap.
- Menjual rumah yang belum dibangun (tanpa menggunakan kontrak istisna', yaitu kontrak pembuatan barang berdasarkan pesanan).
Alternatif dalam perbankan syariah: Dalam perbankan syariah, semua kontrak harus jelas, transparan, dan spesifik mengenai objek transaksi, harga, waktu pengiriman, dan cara pembayaran. Sebagai contoh, untuk pembelian properti yang belum jadi, perbankan syariah menggunakan kontrak istisna', di mana pembayaran dilakukan berdasarkan tahap penyelesaian proyek dan semua ketentuan telah disepakati sejak awal.
3. Maysir (Perjudian dan Spekulasi Berlebihan)
Maysir adalah segala bentuk transaksi yang bersifat spekulatif, di mana keuntungan atau kerugian bergantung pada keberuntungan atau kejadian yang tidak dapat diprediksi. Maysir tidak hanya mencakup perjudian dalam arti tradisional, tetapi juga mencakup transaksi yang berisiko tinggi atau spekulatif, seperti perdagangan derivatif atau kontrak berjangka dalam pasar keuangan yang bersifat spekulatif.
Dampak Maysir:
- Maysir menimbulkan ketidakadilan karena ada pihak yang diuntungkan secara berlebihan sementara pihak lain menanggung kerugian besar.
- Perjudian mengandalkan nasib, bukan usaha yang produktif, dan karenanya bertentangan dengan prinsip syariah yang mengedepankan usaha yang sah dan transparan.
Alternatif dalam perbankan syariah: Perbankan syariah fokus pada transaksi yang berbasis aset riil atau barang nyata. Setiap investasi harus didasarkan pada kegiatan ekonomi yang produktif dan melibatkan pengelolaan risiko yang jelas dan terukur. Hal ini menghindarkan nasabah dari spekulasi yang berlebihan.
4. Transaksi yang Melibatkan Barang Haram
Islam memiliki pedoman yang jelas tentang barang dan jasa yang boleh diproduksi, dijual, dan dikonsumsi. Barang haram adalah barang atau jasa yang dilarang dalam syariah, seperti:
- Alkohol dan minuman keras.
- Daging babi dan produk-produk yang terkait.
- Perjudian, pornografi, serta bisnis yang melanggar moral dan etika.
Penerapan dalam perbankan syariah: Perbankan syariah dilarang memberikan pembiayaan, investasi, atau layanan keuangan kepada bisnis yang beroperasi dalam bidang yang haram. Bank juga harus melakukan screening (penyaringan syariah) untuk memastikan bahwa dana yang mereka kelola hanya digunakan untuk kegiatan yang halal.
5. Ihtikar (Monopoli dan Penimbunan)
Ihtikar atau monopoli terjadi ketika seseorang atau kelompok menimbun barang atau menciptakan kelangkaan dengan tujuan untuk menaikkan harga secara tidak wajar. Praktik ini bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam karena dapat merugikan masyarakat luas dan memicu ketidakseimbangan pasar.
Alternatif dalam perbankan syariah: Perbankan syariah menerapkan prinsip transparansi dan keadilan dalam setiap transaksi. Hal ini berarti bank tidak boleh mendukung atau memfasilitasi tindakan monopoli atau penimbunan barang dengan tujuan spekulatif.
6. Ba’i al-Ma’dum (Menjual Barang yang Tidak Dimiliki)
Ba’i al-Ma’dum berarti menjual barang yang belum dimiliki atau belum ada. Ini mirip dengan konsep gharar, di mana ada ketidakpastian mengenai keberadaan atau kepemilikan barang yang dijual. Dalam perbankan syariah, seseorang tidak boleh menjual barang yang belum berada dalam kendalinya.
Contoh:
- Dalam pasar modal konvensional, praktik short selling, di mana investor menjual saham yang belum dimilikinya dengan harapan membeli kembali saham tersebut dengan harga lebih murah di masa depan, dianggap haram dalam syariah.
Alternatif dalam perbankan syariah: Setiap transaksi harus melibatkan barang yang sudah ada dan bisa diakses oleh penjual. Dalam konteks penjualan properti yang belum dibangun, kontrak istisna' dapat digunakan untuk memastikan bahwa semua pihak setuju pada tahap penyelesaian proyek yang telah ditetapkan.
7. Jual Beli Utang dengan Diskon (Ba’i al-Dayn)
Ba’i al-Dayn adalah jual beli utang dengan diskon, di mana utang dijual kepada pihak ketiga dengan harga di bawah nilai nominalnya. Praktik ini dilarang dalam perbankan syariah karena dianggap sebagai riba terselubung.
Penjelasan:
- Dalam praktik konvensional, penjualan piutang atau utang dengan diskon umum dilakukan sebagai bagian dari sekuritisasi atau pengelolaan kredit. Namun, dalam perbankan syariah, utang harus dibayar sesuai dengan nilai nominalnya, tanpa tambahan atau diskon.
Alternatif dalam perbankan syariah: Dalam perbankan syariah, utang tidak boleh diperdagangkan. Jika ada piutang, utang tersebut harus dilunasi sesuai nilai nominal yang disepakati dalam kontrak awal.
Kesimpulan Akhir
Perbankan syariah menekankan keadilan, transparansi, dan partisipasi yang seimbang dalam risiko dan hasil. Oleh karena itu, transaksi yang dilarang dalam perbankan syariah adalah yang melibatkan ketidakadilan, ketidakpastian, eksploitasi, atau spekulasi berlebihan. Sistem keuangan syariah mengedepankan keberlanjutan dan kesejahteraan bersama, memastikan bahwa transaksi keuangan dilakukan dengan cara yang etis dan bertanggung jawab.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI