Perjalanan dimulai…
Pukul 23.00 kami satu rombongan paket biru menuju boarding pass sebelumnya kami melakukan pemeriksaan keimigrasian yang harus menunjukkan paspor. Di sana sempat terjadi insiden petugas imigrasi dan beberapa warga asing dari Negara Afrika atau Timur Tengah karena terlihat dari suku negroid melalui pigmen kulitnya. Mereka tidak mengantri dengan benar, maka disuruh untuk mengulang antriannya lagi. Menegangkan juga awalnya, namun petugas itu kemudian bercanda dan bersikap ramah dengan salah satu rombongan kami.
Usai pemeriksaan keimigrasian, kami menuju waiting room, aku lihat banyak yang mengeluarkan airnya untuk diminum dan dihabiskan. Jadi teringat dengan perkataan Pak Mustofa tadi, kalau maskapai Indonesia penerbangan internasionalnya memiliki aturan tidak diperbolehkan membawa cairan di atas 100 ml. Hanya terkadang ada yang lolos tapi ada juga yang kena. Aku membawa 2 gelas air mineral yang masing-masing isinya 220 ml. Aku minum satu gelas dan itu sudah kepenuhan, dan segelasnya lagi aku kasih petugas bandara sesuai usul Bu Dyah yang di belakangku mengantre.
Setelah waiting room sekitar 30 menit, kami menuju boarding pass, kalau tidak salah gate 10. Kuperhatikan satu-persatu teman-teman serombongan dan aku sesuaikan dengan ingatanku saat melihat foto-foto mereka di buku panduan tadi. Sembari menunggu, Bu Pur yang terlihat cantik dan awet muda padahal usianya sudah kepala empat sempat mengajakku ngobrol dan ia keluar dari toilet serta musholla untuk sholat tahajud. Kemudian aku pun mengikuti jejaknya karena beliau saja disempatkan untuk sholat tahajud, masa’ yang masih muda begini tidak pikirku. Tekadang motivasi itu memang diperoleh dari lingkungan sekitar. Usai sholat tahajjud, entah mengapa hidung tak bersahabat alergi dingin pun mendera, karena AC di gate 10 benar-benar dingin. Bersin-bersin dan mengeluarkan beberapa helai tisu membuatku malu. Warga asing berambut pirang dua wanita dan satu pria yang sedang asyik membaca buku di depanku terlihat membicarakan flu ku ini. Terus aku diliriknya, hingga bu Dyah memberikan aku semacam ‘Fresh Care’ memang agak nyeri tapi lumayan meredakan. Bu Pur pun berkata,
“Saya juga alergi dingin, tapi sebulan sebelumnya saya rutin minum madu”.
Hmm… memang aku lupa memperhatikan kondisi fisikku, karena sangat menikmati pekerjaan beberapa hari sebelu berangkat. Bu Pur pun menawarkan aku obat anti alergi dingin. Selang beberapa menit, panggilan untuk para penumpang agar memasuki pesawat Etihad Airways 471. Saat itu pukul 01.45 WIB dini hari tanggal 26 Juni 2014. Bismillah… kuawali langkah kaki kananku saat menaiki pesawat, hidup dan mati aku pasrah kepada Allah SWT.
Kami disapa dengan senyuman yang sumringah oleh beberapa pramugari yang cantik-cantik, uniknya pakaian mereka yang menutupi kepala layaknya jilbab, tapi sayangnya setengah. Mereka bernyanyi mars Etihad dan hal itu menyurutkan ketegangan. Benar saja sebuah hadis mengatakan “Senyum adalah ibadah” karena bisa meredamkan kegalauan dan kegelisahan seseorang.
Aku duduk seat 38C class Economy bersebelahan dengan bu Dyah. Posisinya di bagian kiri pesawat. Baru kali ini aku duduk di sebelah kiri pesawat tidak dekat jendela, biasanya di bagian kanan pesawat dan dekat jendela. Kemudian aku melihat headset dan kini aku tau cara memakainya. Di layar touch screen itu aku mengotak-atiknya, banyak hiburan-hiburan yang disajikan namun Alhamdulillah ada murotal Al-Qur’annya. Selama perjalanan kami disuguhi beberapa makanan, awal berangkat pilihannya masih makanan Indonesia nasi goreng atau mie goreng.
Beberapa kali mengalami guncangan di pesawat karena cuaca buruk jadi teringat dengan beberapa kejadian kecelakaan pesawat yang sering terjadi. Namun, entah ada kekuatan yang meyakinkan dan pasrah 10x lipat dari biasanya. “Jikapun aku meninggal sekarang aku rela karena keberangkatanku untuk beribadah dan aku yakin syahid atau khusnul khotimah”.
Perjalanan sekitar 8 jam dalam pesawat memang sangat melelahkan namun baru kali ini aku mengalami perjalanan sepanjang ini. Ketika perbedaan waktu 5 jam antara Indonesia dan Arab Saudi aku merasa hidupku lebih muda dan waktu berjalan mundur 5 jam. Sebelum pesawat landing, aku sempatkan untuk tayamum untuk sholat Subuh dalam pesawat. Setelah pesawat akan landing, aku merasa bahagia, takjub, terharu, dan rasanya seperti mimpi. Melihat pemandangan yang luar biasa indahnya meski gersang. Karena ini pertama kali aku lihat benar-benar mimpi itu menjadi nyata jika ada kemauan dan usaha. Abu Dhabi adalah Negara asing yang pertama kali aku dapat memijakkan kaki dan langkahku di sana. Tak terasa butiran air mata kembali menetes.
Aku dan rombongan Patuna akan transit selama 6 jam di Bandara Abu Dhabi. Seperti yang sudah disampaikan kalau di sana kita tidak dapat makan atau minum jadi harus bawa sangu sebelumnya, untungnya sudah ada roti yang sudah diberikan aku yakin cukup untuk mengganjal perut dan minuman… tidak ada setetespun di dalam koper kabin atau bagasi.
Sebelum memasuki Bandara Abu Dhabi kami menaiki semacam busway untuk menuju tempat persinggahan transit, meski saat itu masih pagi namun aroma panasnya negeri Arab dan sekitarnya sudah terasa. Syukurnya, kita berada dalam bandara yang full AC. Lagi-lagi mimpi itu muncul dan datang kembali setelah sebelumnya aku melihatnya di televise atau internet kini dihadapan mata. Bandara yang megah dan termasuk satu diantara 7 bandara di dunia dengan fasilitas terbaik. Sayangnya, ngambil fotonya kurang bagus karena sembari jalan mengikuti rombongan yang lain, padahal kan masih menunggu selama 6 jam. Tapi ya harus ngikut aja khawatir nyasar di Negara orang.
Sempat juga berfoto-foto meski tergesa-gesa dan sudah dipanggil-panggil mbk Gemi dan mas Ferry selaku tour guide kami.
Akhirnya, kami berada di tempat menunggu untuk transit menuju Jeddah. Benar juga tempat menunggunya sangat dingin mungkin sekitar 15◦ c. Kami dapat melihat pesawat-pesawat asing datang dan pergi dari kaca super besar tersebut. Sembari menanti, aku sempatkan waktu untuk tilawah dan aku teringat juga dengan pelatihan ESQ 2 tahun lalu. Ada cuplikan video animasi burung elang yang terbang di daerah yang gersang. Entah mengapa setiap aku melihatnya selalu menangis karena mengingat kekuasaan Allah dan kasih sayang-Nya. Benar saja mungkin itu petunjuk-Nya bahwa aku akan ke sini.
Saat sedang asyik membaca, Bu Dyah mengajakku untuk membeli air mineral masih di dalam Bandara Abu Dhabi. Padahal belum ke money changer untuk menukar. Alhamdulillahnya, ada uang yang diberikan saudara karena suaminya pernah umroh sebesar 50 riyal atau setara Rp 150.000 kemudian kami membeli air mineral sekitar 330ml dengan harga 15 riyal, atau Rp 45.000. Benar-benar mahal tapi memang sudah disampaikan kalau di sana mahal, ya sudah ikhlaskan saja dan anggap sedekah karena surga itu mahal, batinku. Setelah membeli air mineral itu aku buka bungkusan roti yang sudah dibelikan di Bandara Soekarno Hatta.
Ketika aku memakan dan menawarkan Bu Dyah dan suaminya Pak Tejo mereka menolak, karena memang punya satu. Tiba-tiba seorang wanita tua, warga asing berpakaian sedikit lusuh di depanku memberikan isyarat padaku untuk meminta roti itu. Aku ambil sepotong dan aku berikan semuanya kepadanya. Kemudian ia memberikan lagi padaku dengan bahasa isyarat aku menyuruhnya untuk ambil semua, disebelahnya ada wanita yang lebih muda lagi dan membawa anak perempuannya usianya sekitar 3 tahunan yang lagi menyedot botol susu dan ia memberikan roti itu padanya. Ia juga menggunakan bahasa isyarat kalau uang mereka tidak cukup untuk membeli makanan. Kemudian aku bertanya dengan bahasa Inggris “Where do you come from? India?” ia pun menjawab “No, we are from Pakistan”. Oh, ternyata Pakistan dan India tak beda jauh dari adat atau segi fashionnya sama halnya Malaysia dan Indonesia. Tak terasa 6 jam berlalu, kami menuju waiting room untuk ke Jeddah.
Bagaimana perjalanan menuju Jeddah dan Madinah? Katanya petugas keimigrasiannya bertugas seenaknya sendiri, suka-suka mereka bekerja, kalau tidak suka dengan customernya mereka bisa saja meninggalkan sampai berjam-jam dan kita jangan marah kalau marah justru tidak akan dilayani… Apakah rombongan kami mengalaminya? Semoga pembaca masih setia menanti kisah berikutnya perjalanan fantastis kami ke tanah suci. Semoga juga menginspirasi dan memotivasi. Saya doakan yang terus membaca bisa ke sana juga.. aamiin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H