Mohon tunggu...
Efa Butar butar
Efa Butar butar Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Content Writer | https://www.anabutarbutar.com/

Selanjutnya

Tutup

Beauty Artikel Utama

The Buyerarchy of Needs, Fondasi Penting Belanja Pakaian yang Tak Genting

20 Mei 2024   19:51 Diperbarui: 21 Mei 2024   02:06 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mars" di Bumi dan rahasia umum di dalamnya

Di bagian Tenggara Amerika Selatan, terdapat sebuah negara berdaulat yang bernama Chili. Di sisi Utara negara ini, di dekat kotamadya Alto Hospicio, ada sebuah gurun yang sangat mati karena hanya mendapatkan curah hujan setiap 20-100 tahun sekali. Dan oleh NASA, tempat ini dianggap sebagai analogi sempuna planet Mars di Bumi. Namanya Gurun Atacama.

Kondisi Atacama yang kering ini kemudian dimanfaatkan oleh NASA untuk melakukan pengujian terhadap robot penjelajah secara rutin sejak tahun 1997. Yang terbaru, NASA bahkan telah menggunakan instrumen prototipe untuk mencoba mendeteksi kehidupan di sana.

Tumpukan sampah fashion di Gurun Atacama | Foto: Kumparan
Tumpukan sampah fashion di Gurun Atacama | Foto: Kumparan

Atacama gersang dan berbatu. Panjangnya 600 hingga 700 mil (1.000 hingga 1.100 Km) membentang dari Pasifik hingga Andes melintasi hamparan Ngarai dan puncak batu berwarna merah orange yang tandus.

Namun, di balik kontribusinya membantu NASA untuk mendeteksi kehidupan, dan di balik tampilannya yang sepintas begitu elok, serta menyajikan taburan bintang yang memukau di malam hari, "Mars" di Bumi ini ternyata menyimpan rahasia umum berupa dosa industri pakaian besar-besaran terhadap lingkungan.

Satu truk penuh pakaian bekas, dibuang atau dibakar setiap detiknya

Para designer fashion bergerak cepat menghasilkan model pakaian terkini dengan harga yang relatif murah. Dampaknya, dicatut dari website mckinsey.com pakaian ini hanya dipakai sebanyak 7 kali. Pada akhirnya 3 dari 5 pakaian model teraktual tersebut hanya akan berakhir di tempat pembuangan sampah.

Jenis pakaian ini disebut fast fashion, yaitu model bisnis yang meniru tren catwalk terkini dari desain fashion kelas atas. Tren fashion ini akan diproduksi secara massal dengan kualitas dan biaya lebih rendah serta memasarkannya dengan cepat saat permintaan berada di titik tertinggi. Umumnya, model ini akan berganti dalam waktu singkat.

Di Indonesia sendiri, kita baru saja melewati tren dress shimmer yang kini tak tampak satu pun penggunanya di jalanan. Kita harus berani mengakui, pada akhirnya, pakaian itu tidak akan terpakai lagi karena trennya yang sudah mati.

Antara tahun 2000 dan 2014, produksi pakaian disebut meningkat dua kali lipat, konsumen mulai membeli pakaian 60% lebih banyak namun dengan masa pakai yang lebih cepat.

Tiga per lima dari seluruh pakaian diperkirakan berakhir di tempat pembuangan sampah atau insinerator dalam waktu satu tahun sejak produksinya. Artinya, satu truk penuh pakaian bekas dibuang atau dibakar setiap detiknya.

Pakaian-pakaian fast fashion yang tidak laku terjual dan atau yang tidak lagi digunakan, nantinya akan dikirim ke "tempat pembuangan sampah pakaian", yaitu Gurun Atacama. 

Dari jeans hingga jas, dari mantel bulu hingga kemeja palsu, sepatu, hingga tas, ada di sana. Dan parahnya lagi, sebagian dari produk fashion yang dibuang ini masih memiliki label harga. Jutaan ton pakaian datang setiap tahunnya dari Eropa, Asia dan Amerika lalu berakhir di gurun ini. 

Akibatnya, Gurun Atacama kini tercatat diisi 60% pakaian dengan tinggi yang telah mencapai 65 kaki atau 19,812 M. Fenomena ini bahkan menarik perhatian dunia, PBB menyebutnya sebagai darurat lingkungan dan sosial.

The Buyerarchy of Needs, fondasi penting belanja pakaian yang tidak genting

Piramida Buyerarchy of Needs | Foto: Greeneration.org
Piramida Buyerarchy of Needs | Foto: Greeneration.org

Memang, warga setempat terus melakukan sejumlah gerakan demi mengurangi timbunan jumlah pakaian di Gurun Atacama. Sebagian pakaian disortir dalam 4 kategori mulai dari kualitas premium hingga kualitas terburuk.

Kualitas premium nantinya akan kembali dikirim ke Republik Dominika, Panama, Asia, Afrika bahkan ke Amerika untuk dijual kembali. Kualitas buruklah yang nantinya masuk dalam timbunan pakaian di gurun.

Para pemulung juga melakukan hal serupa dengan fokus pada pakaian terbaik, baik untuk dikenakan sendiri atau untuk dijual kembali sebagai tambahan ekonomi.

Ada juga yang memproduksi panel insulasi bangunan dari limbah tekstil, yang lain bahkan membuat benang dari pakaian bekas atau digunakan sebagai isian bantal.

Namun penanganan-penanganan ini tentu bukan upaya solutif yang menyelesaikan seluruh masalah. Bila harus diangkat dalam sebuah diskusi, yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana menutup keran fast fashion agar tak makin merajalela masuk ke Gurun Atacama.

Tentu salah satu harapannya adalah para pelaku ekonomi, fashion designer hingga brand yang menciptakan tren tersebut turut bergerak pula memberikan edukasi bagaimana memaksimalkan pakaian yang dikonsumsi oleh para pelanggannya agar bisa dikenakan sebaik-baiknya dalam jangka waktu yang lama.

Namun dari sisi ekonomi, rasanya kecil kemungkinan poin ini bisa terealisasi. Bukan usaha namanya jika tak ada gebrakan yang membuat pelanggan berjajar mengular di depan toko untuk mendapatkan produk terbaru brand tersebut.

Sebenarnya masalah sampah produk fashion ini bukan hanya kita temukan di Gurun Atacama. Indonesia sendiri juga mengalami hal serupa. Memang tidak separah di sana, tapi apakah harus menunggu permasalah ini makin parah dulu?

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2021 melalui SIPSN mengungkapkan bahwa Indonesia menghasilkan 2,3 juta ton limbah pakaian atau setara dengan 12% dari limbah rumah tangga dan hanya 0,3 juta ton yang didaur ulang. 

Pakaian-pakaian ini ada yang tersangkut sungai, tergeletak di pinggir jalan, mengambang di lautan, atau nanti jadi timbunan di TPA.

Negara ini sudah dipusingkan dengan timbunan sampah plastik yang tak kunjung usai permasalahannya.

Jika tak ingin sampah tekstil jadi boomerang yang sama yang "menelan" Bumi Pertiwi nantinya, sepertinya, sebagai pelanggan, pengguna dan pengambil keputusan dalam berbelanja pakaian, The Buyerarchy of Needs perlu kita pertimbangkan sebagai fondasi penting sebelum berbelanja pakaian yang mungkin tidaklah begitu genting.

Win win solution dari The Buyerarchy of Needs

The Buyerarchy of Needs adalah sebuah grafik atau piramida bermanfaat yang menyajikan beberapa alternatif berbeda selain membeli pakaian baru yang diciptakan oleh Sarah Lazarovic. 

Grafik ini juga bisa menjadi panduan bagi mereka yang ingin mulai menerapkan sustainable fashion namun tidak tahu harus memulai dari mana.

Grafik terdiri dari 6 tingkatan dan keputusan membeli pakaian adalah pilihan terakhir yang tercantum di sana.

Keputusan membeli berada di paling akhir karena sebenarnya, sebelum tiba ke sana, masih ada beberapa pilihan bagi kita untuk tetap tampil modis, gaya, beda dan "baru".

Penerapan grafik The Buyerarchy of Needs ini bukan hanya berhasil memberikan penampilan baru yang lebih segar tanpa perlu mengeluarkan biaya, keputusan ini juga membuat lemari lebih lega, memanfaatkan seluruh produk fashion yang selama ini belum pernah digunakan, membuat hubungan dengan saudara perempuan jauh lebih manis dan tentu, puncak teratasnya adalah menekan tambahan sampah tekstil setiap hari yang dibuang di Bumi.

Grafik yang dimaksud adalah

Use what you have - Gunakan apa yang kamu miliki

"Ihhh, ngga punya baju"

Ini adalah satu kalimat yang sering terlontar ketika seseorang akan bepergian dan butuh outfit khusus untuk menyesuaikan acara yang akan dikunjungi.

Makna ngga punya baju ini cukup luas. Mungkin yang dimaksud ukurannya sudah tak lagi sama, bosan menggunakan pakaian serupa, semua yang ada di lemarinya sudah masuk dalam frame sosial media, lupa memiliki baju tersebut saking banyak koleksinya, atau memang hanya kalap mata saat melihatnya saja namun tak lagi suka setelah mencobanya di rumah sampai akhirnya tak pernah digunakan. 

Bagi kamu yang ingin mulai menerapkan sustainable fashion, mungkin kamu bisa mulai dengan merapikan kembali koleksi pakaian kamu di lemari.

Pakaian yang kira-kira masih ingin kamu pakai, ingin disumbangkan, masih memiliki price tag, pakaian yang sudah sangat sering digunakan dan yang sudah lama tidak digunakan lalu susun pakaian tersebut dalam kelompok yang berbeda.

Maksimalkan penggunaan pakaian yang masuk dalam kategori masih memiliki price tag dan yang sudah lama tidak digunakan kemudian berkreasilah dengan mix and match sesuai acaramu.

Voila! Tampil cantik, segar dan baru tanpa perlu ngeluarin duit melulu.

Borrow - Pinjam

Perempuan sangat sensitif urusan pakaian, namun bukan siblings namanya jika tidak ada pertengkaran karena urusan pinjam meminjam.

Untuk menghindari keributan, catatan yang perlu kamu perhatikan yang pertama tentu adalah mendapatkan izin, yang berikutnya adalah memberikan izin.

Ya, meski kerap bertikai urusan make up, skincare dan pakaian, sebenarnya bila dibahas dengan baik, saling meminjamkan akan menjadi poin yang saling menguntungkan untukmu dan saudarimu.

Namun, pastikan kalian memiliki ukuran yang sama agar tak ada pihak yang merasa dirugikan, pakaian yang harus dikorbankan atau style yang jadi berantakan. Tidak memiliki saudari tidak masalah, kamu bisa melakukan hal serupa kepada sahabat perempuanmu.

Kamu juga memiliki opsi untuk menyewa pakaian dari luar bila memang kebutuhan outfitmu tidak terpenuhi dari lemari dan lemari saudarimu.

Meski harus mengeluarkan biaya, ini tentu akan jauh lebih baik dibandingkan harus membeli lagi pakaian yang sebetulnya hanya dibutuhkan di acara itu saja.

Swap

Swap atau menukar pakaian dengan teman dan atau orang lain akan membantu kamu mengubah isi lemari tanpa biaya.

Biasanya, ada komunitas-komunitas yang menunjukkan kepeduliannya terhadap lingkungan akan menginisiasi kegiatan seperti ini. Kamu bisa terlibat di dalamnya dengan mengikuti ketentuan yang telah disampaikan oleh panitia.

Lima pakaian yang keluar dari lemarimu akan diganti dengan lima pakaian dari peserta lain. Bila kamu belum menemukan kegiatan swap, kamu juga bisa melakukan ini dengan teman terdekatmu.

Thrift - Membeli baju bekas

Di Jakarta sendiri, Pasar Senen adalah salah satu tempat berburu pakaian bekas yang patut dikunjungi. Banyak pilihan brand terkemuka yang bisa kamu dapatkan dengan harga miring.

Yang perlu kamu lakukan saat thrifting adalah mencari dengan saksama, memperhatikan ukuran sesuai tubuh, lihat brand yang kamu inginkan, teliti bagian-bagian pakaian apakah terdapat noda atau sobekan di tempat tertentu.

Perhatian ini jadi bagian penting karena ketika kamu sudah melakukan pembayaran dan barang sudah dibawa pulang, akan merepotkan bila harus dikembalikan. Akan menambah biaya pula jika harus dipermak ke tukang jahit.

Make - Membuat sendiri

Bila kamu memiliki keahlian dalam mendesign pakaian, dan menjahitnya sesuai ukuranmu sendiri, then do it!

Kamu akan jadi satu satunya orang di muka Bumi yang memiliki design pakaian tersebut. Kamu punya hak penuh atas model yang akan kamu buat, ukuran, sampai aksesoris yang akan ditambahkan.

Buy

Puncak teratas dari piramida Buyerarchy of Needs adalah membeli. Kondisi ketika tidak ada jalan keluar yang kamu dapatkan dari 5 opsi di jajaran piramid sebelumnya.

Meski demikian, sebaiknya konsumsilah pakaian yang bahannya ramah lingkungan seperti katun organik, linen, serat hemp, serat kasmir atau tencel.

Kita mungkin tidak berurusan langsung dengan Gurun Atacama, tapi sebagai individu yang sepenuhnya sadar Indonesia juga bisa mengalami kondisi serupa jika seluruh penduduknya kalap pada pakaian fast fashion dengan harga miring itu, maka kita bisa berkontribusi untuk mengurangi kemungkinan tersebut terjadi.

Dengan begitu, kita berani berharap, tidak akan ada lagi Gurun Atacama kedua di belahan Bumi lainnya. 

Sumber-sumber:
https://www-britannica-com/place/Atacama-Desert
https://edition.cnn.com/travel/article/atacama-desert-chile-mars/index.html
https://www.nationalgeographic.com/environment/article/chile-fashion-pollution
https://www.mckinsey.com/featured-insights/mckinsey-explainers/what-is-fast-fashion
https://goodstats.id/article/sampah-pakaian-makin-banyak-saatnya-sudahi-konsumsi-fast-fashion-Bx10s#:~:text=Lebih%20lanjut%2C%20Kementerian%20Lingkungan%20Hidup,12%25%20dari%20limbah%20rumah%20tangga.
https://pba.umich.edu/the-buyerarchy-of-needs-what-it-is-and-how-to-use-it/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Beauty Selengkapnya
Lihat Beauty Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun