"Sapa suruh datang Jakarta,
Sapa suruh datang Jakarta
Sandiri suka, sandiri rasa,
Eh doe sayang"
Lirik lagu milik Kembar Group ini mungkin bisa mewakili gambaran kehidupan Jakarta yang keras. Anehnya, meski begitu, masih saja orang berbondong-bondong datang ke kota Batavia ini. Berburu peruntungan.
Bayangkan saja, untuk menolong mendorong mobil saja, Dom harus blakblakan minta bayaran. Sudah dikasih Rp5.000 pun, ia tak berkenan menerimanya. Angka yang terlalu kecil baginya. Betapa kerasnya hidup di Jakarta.
Tidak bisa disalahkan juga, segala upaya yang membutuhkan tenaga dan otak di kota ini, dihitung dalam Rupiah.
Bersaing dengan populasi padat bukan hal yang mudah, namun, dengan mengetahui kemampuan dirinya, Dom bisa bertahan hidup bahkan berhasil menimbun gulungan kertas merah Rupiah dalam lemari rewot milik kost-kostannya.
"Tapi Tuhan memberi bakat dan kemampuan kepada setiap manusia. Bagaimana setelahnya, adalah urusan manusia itu sendiri."
Sayang, langkah yang dipilihnya bukan jalan lurus yang menenangkan. Sama seperti manusia pada umumnya, perut lebih utama dibanding mimpi yang ingin dicapai.
Entah berkat entah sial, namun mobil butut di depan sebuah minimarket itulah yang mengubah kehidupan Dom.
Pemiliknya adalah Pinkan (Wulan Guritno) dan Radit (Ganindra Bimo). Dua orang bandar narkoba yang membagi-bagikannya dalam porsi kecil untuk dikirimkan kepada pembeli.
Bagian ini juga sangat menarik. Ketika satu per satu kurir narkoba lain mulai tertangkap, Dom malah melejit bak belut licin yang sulit ditemukan.
Memanfaatkan kemampuan actingnya, ia bekerja sebagai kurir narkoba yang tak tersentuh berkat ilusi yang diciptakannya untuk membuat target tak tahu jati dirinya yang sebenarnya.