Sebelum ia dibunuh, Sri Tanjung sempat meninggalkan pesan sebagai bukti kejujuran, kesucian dan kesetiaannya, ia rela dibunuh asalkan jasadnya diceburkan ke dalam sungai keruh itu.
Bila darahnya membuat air sungai berbau busuk, maka betullah dirinya telah berbuat serong, tapi jika air sungai yang keruh dan kumuh itu berbau harum, maka ia tidaklah bersalah.
Patih Sidopekso tak mampu lagi menahan diri, ia menikam kerisnya ke dada sri Tanjung. Lalu darah memercik dari tubuh istrinya itu dan ia mati seketika.
Sesuai pesan istrinya, jasad Sri Tanjungpun diceburkan ke sungai. Anehnya, sungai yang keruh itu berangsur-angsur menjadi sejernih kaca dan menyebarkan aroma harum dan semerbak mewangi.
Patih yang dilanda amarah perlahan mulai linglung, terhuyung dan jatuh. Ia kemudian berteriak "Banyuwangi! Banyuwangi! Banyuwangi!"
Banyu sendiri berarti air dan wangi memiliki arti harum. Air keruh itu mendadak jernih dan harum seketika usai jasad sang istri yang dibunuhnya, diceburkan ke sana. Bukti bahwa sungguhlah istrinya itu tak melakukan hal yang dituduhkan padanya. Â
Sejak itulah, tempat tersebut bernama Banyuwangi.
Legenda ini kembali aku nikmati lewat buku Banyuwangi "Sunrise of Java" milik Asita DK.Â
Cantiknya Banyuwangi, bikin mau berkunjung lagi
Tahun lalu, aku cukup beruntung terpilih dari ratusan orang pendaftar untuk melakukan off road komunitas dari titik keberangkatan di Jakarta, hingga ujung Timur Pulau Jawa, Banyuwangi sana.
Tiap titik perhentian tak putus aku takjub dengan setiap keunikan dan keindahan yang ditawarkan. Tapi puncak kekaguman justeru ada di akhir perjalanan.