Tahun 2015 adalah kali pertama aku mengajukan kredit untuk sebuah laptop yang saat itu kurasa sangat perlu, namun untuk membayar secara cash belum mampu.
Tahun tersebut merupakan tahun pertama aku bekerja. Sebetulnya bila dihitung-hitung, tiga bulan gaji sudah cukup untuk bayar tunai laptop yang kuinginkan. Tapi hal tersebut urung kulakukan karena masih banyak kebutuhan lain yang perlu dituntaskan.Â
Oleh sebab itu, setelah menimbang untung rugi melakukan pembayaran dengan cara berkala, aku memutuskan pembayaran dengan metode tersebut.
Aku berangkat ke mall terdekat dari tempat domisili ku, lalu berdiskusi dengan sales tentang spesifikasi beberapa laptop. Setelah yakin dengan pilihan, aku menuju petugas pembayaran khusus kredit untuk menanyakan persyaratan dan bunga yang diberlakukan.
Setelah mengantongi sejumlah syarat, dokumen yang diperlukan serta mengetahui bunga yang dibebankan, aku kembali lagi ke mall yang sama seminggu kemudian. Membawa slip gaji, KTP dan KK baik asli dan fotokopi sebagaimana yang disampaikan.Â
Dari pihak lembaga pembiayaan rupanya membutuhkan waktu khusus untuk melakukan sederet survei demi menentukan apakah pengajuan konsumen layak atau tidak untuk diterima. Proses ini sendiri membutuhkan waktu seminggu. Dan aku harus kembali menunggu untuk itu.Â
Seminggu kemudian, aku mendapatkan email yang berisi informasi bahwa pengajuan aku ditolak.Â
Yah, kan. Udah nunggu lama-lama, eh ditolak. Hehhe.Â
Apakah ini salah?
Ya tentu tidak. Setiap lembaga pembiayaan memiliki kriteria sendiri untuk memutuskan ditolak atau diterimanya pengajuan konsumen.
Berdasarkan pengalaman 7 tahun silam, ada beberapa kesimpulan yang bisa kutarik terkait pengajuan kredit di tahun tersebut:
- Butuh waktu khusus untuk ke mall
- Butuh waktu khusus untuk mempelajari spesifikasi laptop yang kita butuhkan
- Antrian di petugas kredit
- Sejumlah dokumen yang harus dibawa
- Proses pengajuan yang cukup lama