Mohon tunggu...
Efa Butar butar
Efa Butar butar Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Content Writer | https://www.anabutarbutar.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tentang Anak Tertua yang Pergi Mengembara

10 Januari 2021   23:48 Diperbarui: 11 Januari 2021   00:08 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber foto: mediamaya.net

Di balik suaranya yang melenting, cerewetnya yang tak kunjung habis, ada banyak kisah yang bisa kubagikan pada orang-orang tentang Oppung boru (Nenek) yang kini telah berpulang. Termasuk sebuah cerita mirip cerita rakyat yang bolak-balik diceritakan, namun terus saja masih menarik untuk didengar.

Cerita yang hingga saat ini sulit untuk dilupakan. Yang namanya cerita rakyat, umumnya sih sarat nilai termasuk juga didalamnya sikap dan perilaku tokoh. Banyak pelajarannya deh. Dan salah satu cerita Oppung adalah ini, tentang anak tertua yang pergi mengembara,

Alkisah, ada sebuah keluarga yang hidup serba kekurangan. Meski demikian, mereka terus percaya, bahwa suatu saat kehidupan mereka akan berubah. Kepercayaan ini juga dibarengi dengan kerja keras yang setimpal.

Meski bekerja keras, ternyata hidup belum juga berpihak pada mereka. Hingga suatu hari, anak tertua dari keluarga tersebut memutuskan untuk pergi mengembara. Kemana saja, yang penting hidupnya dan keluarganya membaik. Bermodal uang Rp100, - kala itu -- sang anak pergi meninggalkan keluarga.

Usai berkelana beberapa hari di jalanan, anak yang tak punya tujuan itu berhenti di sebuah tempat. Banyak orang yang lalu lalang di sana. Ramai pula yang melakukan transaksi. Mirip pasar, tapi dengan ukuran yang lebih kecil.

Di sana, terdapat sebuah rumah kecil menyerupai gubuk. Beberapa orang Bapak tampak saling bercanda sembari duduk di dipan dan bangku kayu. Sementara di depannya, di atas meja kayu, terdapat gelas berisi minuman yang asapnya masih mengepul. Aroma makanan menguar dari gubuk itu.

Si anak menimbang-nimbang. Lapar mulai terasa, namun uang yang dimilikinya kini tak lagi genap Rp 100. Bagaimana nanti dia akan bertahan kalau sisa uangnya langsung dihabiskan?

"Minum saja, minum. Yang penting perut berisi dan uangku masih bersisa." Begitu pikirnya.

Anak itu berjalan ke arah gubuk tersebut. Memesan minuman panas untuk mengisi perutnya yang sudah keroncongan.

Berbeda dengan para Bapak yang lain, anak itu meneguk minumannya sedikiitttt demi sedikit. Kadang-kadang, air yang berada di dalam gelas itu hanya melekat di bibirnya tanpa diminumnya.

Hal itu dilakukan agar sang anak punya waktu yang cukup untuk memulihkan kembali tenaganya, sembari berpikir apa yang akan dilakukannya kemudian. Diapun kebingungan kemana langkahnya setelah ini.

Tanpa disadari, sang pemilik gubuk terus saja memerhatikannya.

"Gubuk ini akan kami tutup. Apakah minumanmu sudah habis, anak muda?"

"Belum Pak, akan aku habiskan." Anak tertua itu terbata. Lekas-lekas meneguk sisa minumannya dan mulai kebingungan karena orang-orang tak lagi seramai tadi. Lebih bingung lagi karena kini dia tak tau kemana akan pergi.

"Jika kau belum punya tujuan, ikutlah denganku. Aku butuh orang untuk bekerja di kebunku. Itupun jika kau mau."

"Kalau harus kembali berkebun, aku lebih baik kembali ke kampung halamanku. Tapi barangkali orang ini bisa membantuku selanjutnya."

"Mulia sekali Pak. Aku memang belum memiliki tujuan, terimakasih sudah mau membantuku" Jawabnya sambil menganggukkan kepala.

Tak menunggu lama dan tanpa diminta, anak tertua itu ikut membersihkan gelas berisi sisa minuman pembeli. Membersihkannya di tempat yang ditunjukkan oleh pemilik gubuk. Pemilik gubuk hanya tersenyum, dan merekapun pergi.

Tak disangka, pemilik gubuk tak hanya memiliki gubuk semata. Rumahnya besar dan mewah. Setiap hari, sang anak tertua tersebut membersihkan rumah itu tanpa diminta. Melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sebelumnya telah dilihatnya dilakukan oleh pemilik rumah.

Tak ada waktu yang dilewati tanpa bekerja. Apa saja. Di rumah bisa, di kebun fasih, kejujurannya pun terus dijaga. Pemilik gubuk benar-benar tak pernah dibuatnya kecewa.

Sampai suatu waktu, anak tertua melihat tuannya memasukkan banyak sekali pakaian ke dalam karung. Ada juga makanan-makanan. Perasaannya mulai curiga dan tak karuan.

"Apa ini? Apakah aku akan diusir dari rumah ini?"

"Anak muda, bergegaslah. Siapkan dirimu. Kita akan pergi ke suatu tempat." Sang pemilik rumah menyampaikan isi hatinya pada anak tersebut.

"Bapak, tidak usah. Biar aku di rumah saja mengerjakan pekerjaan yang bisa kulakukan." Dalihnya. Anak tersebut takut, bahwa itu adalah cara lembut dari pemilik rumah untuk mengusir dirinya.

"Tidak apa-apa, ikut saja. Siapkan dirimu. Kenakan pakaian yang pantas. Kita berangkat sebentar lagi."

Meski tak dibayar banyak, berada di rumah ini, dengan pemilik yang sangat baik, baginya adalah sebuah keberuntungan yang tak putus disyukuri. Uang yang selama ini dikumpulkannya, nanti bisa diberikannya pada orang tua dan adik-adiknya.

Namun kini, sang anak tampaknya akan dikeluarkan dari rumah itu dengan cara yang sangat lembut. Tapi baginya tetap saja menyakitkan.

Seluruh karung berisi pakaian layak dan makanan enak kini telah dimasukkan ke atas Delman.

"Sekarang, katakanlah di mana rumahmu..."

Bagai petir di siang hari, ketakutannya kini menjadi nyata. Sayang, dia tidak berhak untuk menolak.

"Jika aku diijinkan bertanya, Bapak, adakah kesalahan yang kulakukan hingga aku diperlakukan demikian?" Sang anak bertanya perlahan. Takut pertanyaannya malah memperburuk suasana.

"Naik sajalah."

Setibanya di rumah, keduanya masih terdiam. Anak itu menurunkan karung-karung yang telah mereka bawa.

Sementara itu, orang-orang kampung yang melihatnya mulai takjub. Berlarianlah mereka ke kebun memanggil orangtuanya.

"Heii... Pulanglah! Anakmu kini sudah sukses. Kau harus melihatnya!" Begitu seruan orang-orang yang datang memanggil orang tuanya.

Orang tuanya yang setengah percaya setengah tidak, akhirnya meninggalkan pekerjaannya di kebun dan berniat untuk kembali ke rumah.

Benar saja, mereka melihat anak mereka tampak lebih rapi dan berwibawa dari sebelumnya.

Usai berkenalan dan berbincang, sang pemilik rumah mewahpun berkata "Aku harus minta ijin padamu untuk membawa pulang anak ini. Dia bekerja dengan begitu giatnya. Tak ada sungkan, tak ada ragu. Aku senang melihatnya bekerja. Akan lebih senang lagi jika aku memperkerjakannya usai meminta ijinmu sebagai orang tuanya. Itupun jika berkenan."

Dan tentu saja, kedua orang tua dan adik-adik anak tersebut memberikannya ijin.

Pesan Oppung lewat cerita

Berkali-kali mendengar kisah ini, berkali-kali juga ikut terhanyut saat melihat cara Oppung menyampaikan cerita tersebut. Begitu ciamik sampai semua cerita yang keluar dari bibirnya terasa menarik. Belum lagi, ceritanya sarat pesan moral membuat cerita ini terus terngiang-ngiang.

Oppung selalu bilang, apapun pekerjaan itu, kerjakan dengan sepenuh hati, kerjakan semampu yang kau bisa, selesaikan dengan kemampuan terbaik yang kau punya. Ngga sekarang, namun kelak, kau akan melihat sendiri bedanya bekerja pakai hati dengan bekerja yang penting jadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun