Baru kemarin siang ini, ada tawaran campaign produk rokok untuk para influencer. Masing masing influencer terpilih akan mendapatkan rokok vape/produk dan fee sebesar Rp 200.000.
Aku tidak akan bicara nominal itu sepadan atau  tidak. Mungkin bagi yang sedang merintis dunia seputar influencer dan emang lagi butuh biaya, bayaran itu tentu sangat membantu, termasuk saya salah satu di dalamnya.Â
Tapi bagi beberapa orang yang sudah merasa dirinya influencer kawakan, yaaa barangkali akan menolak job campaign karena nominal yang ditawarkan tak sepadan.Â
Syarat influencer yang akan dipilih pun cukup sederhana. Cukup memiliki followers minimal 1000, tidak menggunakan hijab, dan setidaknya berumur 18 tahun.Â
Menulis adalah cerminan hati
Dari syarat yang dicantumkan di atas, aku sudah masuk kualifikasi. Dan peluang untuk diterima besar sekali.Â
Tapi itu lho, produknya itu. Rokok. Serta mertalah hati ini galau. Bapakku perokok berat, lelaki yang kukasihi pun dulu adalah perokok. Dan aku sangat tidak suka. Bahkan sampai saat ini, jika rekan-rekan kantor kembali ke ruangan dengan aroma rokok, aku akan menjauh. Menghindari aroma rokok yang bikin pusing. Sampai sekarang.Â
Aku tak menyukai orang-orang yang merokok, dan kadang kepada orang-orang yang sudah kukenal dekat, aku tak segan untuk mengatakannya secara langsung. Agar mereka bisa menahan diri untuk tidak merokok saat berada di antara orang lain yang bukan perokok.Â
Kondisi inilah yang menjadi bahan pertimbangan. Apakah aku harus menipu diriku hanya karena sekian rupiah dan produk yang nantinya tidak akan pernah kugunakan dan yang kubenci itu? Sama saja aku sedang mendukung mereka. Namun di satu sisi, aku juga tengah membangun image diri sebagai seorang influencer di sosial mediaku.Â
Kegundahan ini kubawa dalam forum di WhatsApp group. Hanya bertiga, tapi 2 orang sahabatku itu baik sekali perangai, juga ibadahnya.Â
Ada satu jawaban yang membuatku tenang dan bisa mengambil keputusan yang tepat.Â
"Menulis itu kan cerminan hati, lo yang tau gimana hati lo, Na."Â