Masih ingat dengan kasus netizen yang menghina fisik anak Ussy Sulistiawaty 2018 silam? 10 orang netizen dilaporkan oleh Ussy karena hinaan yang dilakukan lewat komentar pedas di postingan Instagram Ussy. Lalu diawal tahun, Brisia Jodie harus menunjukkan wajah seorang gadis remaja di Instagramnya karena telah berkali-kali mengiriminya kata-kata kasar dan tak sopan.
Kebanyakan hate speech yang dilayangkan ke beberapa public figure. Btw, tidak banyak hati yang kuat menerima ucapan-ucapan jahat yang ditujukan kepadanya. Bagi mereka yang kuat, bullyan seperti ini malah dimanfaatkan untuk mendapatkan banyak kesempatan emas seperti yang pernah saya baca di IG Story salah satu "Artis" yang juga kontroversial.
Dalam IG Story tersebut, inti postingannya adalah "Ayo netizen, bully aku! Dengan Ig Story sebelumnya menunjukkan betapa banyaknya pengguna Instagram yang mengunjungi IG Story dan akunnya untuk mengetahui berita terbaru tentangnya.
Tingginya angka pengunjung ke akun Instagramnya sebetulnya sangat mempermudah pemilik akun mendapatkan job termasuk endors dari pemilik-pemilik produk di luar sana.
Kembali tentang netizen yang kesambit sama boomerangnya sendiri.
Akhir dari cerita selalu sama, permohonan maaf kepada pihak yang telah menuntut dan merasa dirugikan dengan ucapan-ucapan mereka yang tak elok.
Lalu jika tak kuasa untuk melakukan perlawanan dengan public figure yang akan lu bully, ngapain lu julid, Bambankkk?
Ujung-ujungnya nangis. Ujung-ujungnya bilang hanya bermaksud bercanda dan tidak berniat untuk menyakiti.
Kebebasan berpendapat di sosial media memang sangat terbuka luas, setiap orang berhak untuk mengomentari suatu hal baik yang bukan urusannya sama sekali.
Lagi booming nih, Gisel sama Wijen. Asli, itu orang berdua kuat amat lahir batin kali, ngga nyambit satupun netizen yang berkomentar di foto-foto Instagram mereka. Mau tahu seperti apa bahasa yang dilontarkan? Gampang, mampir aja ke Instagramnya mereka berdua, lalu nilai sendiri gimana kualitas berkomentar netizen Indonesia. Alasan yang sama jugalah yang membuat seorang Syahrini menutup kolom komentar di setiap postingannya.
Tidak semua, tapi tetap mendominasi julidnya.
Karena sudah ada banyak kasus netizen kena getahnya, kalau dari saya sendiri, berikut adalah beberapa hal yang biasanya saya lakukan agar tidak sampai berkomentar buruk di sosial media:
- Bukan urusan lu!
Iya dong, kenal engga cuma tau muka doang tapi berlaku layaknya paling mengenal? Kerjaan lu kurang sampai harus mengurusi hidup orang lain?
- Jadi penikmat berita saja
Jika sebuah berita yang muncul tidak ada kaitannya sama sekali dengan dirimu sendiri dan orang-orang terdekat, sebaiknya jadilah sebagai penikmat berita.
Akun Lambe Turah itu sejujurnya sangat nikmat untuk dikunjungi. Seperti ada yang kurang kalau sehari-hari belum stalking Lambe Turah. Beritanya update sekali. Ya sudah, kalau memang butuh berita untuk update hal-hal yang lagi ramai diperbicangkan di masyarakat, jadilah penikmat berita tanpa harus menyampaikan hal-hal yang sama sekali diluar dari kemampuanmu.
Mampu sih nyinyirnya, tapi ngga punya bukti dan sampai menyakiti, entar diciduk sama yang lu julidin, lu nangis. Tahan jari yaa, tahan. Kalau mau julid, ngomel sendiri aja di depan hp sampai puas.
- Emang lu juga sempurna?
Sebagaimana netizen yang menghina fisik anak Ussy, sesempurna apa sih mereka? Coba deh, tanyain diri lu lagi, sesempurna apa lu sampai berani nunjuk seseorang buruk? Budayakan melihat diri sebelum menilai orang lain.
- Bagaimana jika kata-kata itu ditujukan padamu?
Bagaimana jika kata-kata yang menyakitkan itu kembali pada diri sendiri dan ditujukan oleh orang yang tidak dikenal kepada diri kita?
Apa yang kira-kira akan dilakukan?
Memaafkan? Ya mungkin. Tidak peduli? Jika bisa, ya bagus. Aurel contohnya. Kurang bully apa lagi dia sama netizen dengan tuduhan dandannya mirip tante-tante diumur yang masih belia. Nah sekarang? Banyak juga kan perempuan-perempuan yang terinspirasi dengan cara berdandannya yang dipelajari lewat Youtubenya?Â
Sayangnya, bagi sebagian orang, bully mungkin tidak bisa diterima dan bisa jadi menimbulkan rasa marah. Mungkin diri kita pun akan marah jika bahasa yang kita lontarkan dengan sangat enteng kepada orang lain itu ditujukan pada kita.
Akan sangat baik, jika sebelum berbicara, bahasa tersebut diucapkan pada diri sendiri. Jika diri sendiri saja tak nyaman mendengarnya, kemungkinan orang yang akan menerima ucapan tersebutpun akan merasakan hal yang sama. Daripada menyakiti hati orang yang tak dikenali dan tanganmu pun tak kuasa untuk tidak meninggalkan jejak di postingan tersebut, maka tinggalkan lah bahasa baik, bahasa santun, bahasa mendoakan. Karena setiap ucapan yang kita keluarkan akan kembali kepada diri sendiri bukan?
- Setelah menghina, lalu apa?
Wah, ini beritanya menggebu-gebu nih. Parah ni orang jahat banget! Masa udah jalan sama cowo lain padahal baru kemarin cere? Wah, pasti selingkuh kan lu?
Udah tuh, diketik panjang-panjang. Klik deh tuh kirim.
Lalu apa?
Puas?
Setelah itu dapet apa?
Ngga ada! Prestasi julid lu doang yang nambah.
Syukur-syukur yang punya akun ngga tersinggung dan memutuskan untuk memaafkan. Kalau kebetulan lu keciduk sama kayak netter di atas mau apa?
Sebetulnya saya sendiri juga sering tergoda untuk berkomentar tentang suatu hal yang lagi rame dibahas atau istilahnya lagi viral. Namun tiap kali akan mengirimkan opini, hal-hal di atas selalu auto muncul di benak sebagai bahan pertimbangan untuk memutuskan komentar tersebut layak atau tidak.
Artikel ini juga lahir sebagai catatan untuk diri sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H