Dilan kembali hadir ke tengah-tengah masyarakat Indonesia masih dengan pesonanya yang slengekan namun khas ala dirinya sendiri.
Meski hingga kini Dilan asli masih terus menjadi misteri, Iqbal yang mengambil alih semua perannya menurutku cukup berhasil mewakili isi novel yang digoreskan Pidi Baiq. Dan munculnya mereka di tengah-tengah masyarakat mau tak mau menarik kembali seluruh penonton yang sudah melalui masa remajanya ke masa-masa di mana peristiwa yang kurang lebih sama pernah terjadi tapi dengan versinya masing-masing.
Berbicara tentang masa SMA itu tidak pernah ada habisnya ya. Banyak orang mengamini bahwa masa-masa SMA adalah masa yang paling indah, meski mungkin bagi beberapa, masa-masa tersebut adalah masa suram karena kerap mendapatkan perlakuan tak layak dari teman sesama siswa atau mungkin dari gurunya sendiri. Baik itu bully-an, atau karena paksaan sebuah mata pelajaran yang tak disukai hingga harus melepas organisasi yang menurutnya jauh lebih menarik.
Kenangan Masa SMA
Sedikit cerita tentang masa SMA-ku dulu yang sampai sekarang tidak akan pernah bisa lupa. Untuk mata pelajaran Matematika, sesulit apapun, aku selalu berhasil menguasai 1 atau 2 topik pelajaran untuk kubawa pulang dan dijadikan modal untuk pertemuan berikutnya. Kasarnya sih, ya ngga goblok-goblok amatlah.
Sampai akhirnya kelasku dipertemukan dengan guru Matematika yang sangat tak bersahabat. Pak Donald namanya. Baru kali itu aku merasakan sangat-sangat ingin berontak dan melawan guru. Sialnya lagi, Beliau jadi wali kelas kami. Jadilah sejak itu Matematika jadi pelajaran yang kukutuk di dalam hatiku. Semudah apapun teman-temanku menerima pelajaran itu, aku memutuskan untuk dikeluarkan atau ditahan di depan kelas. Pernah satu waktu, penggaris kayu sepanjang 100 Cm mendarat di betisku hingga patah. Aku tak peduli dan aku sungguh tak pernah menyukai Beliau.
Beruntung sekali anak-anak sekarang yang tak boleh tersentuh oleh guru. Sedikit-sedikit mengadu. Sedikit-sedikit melaporkan. Dulu? Boro-boro! Kalau salah ya salah saja. Kalau kena omelan guru, biasanya orang tua tidak mau menerima alasan kita. Justeru sebaliknya, orang tua akan ikut mendesak untuk meminta maaf.
Kembali tentang Pak Donald (Aku selalu memanggilnya si Bebek. Hehehe). Meski benci, beberapa teman satu kelas yang peduli padanya mengingat hari ulang tahunnya dan aku tetap berkontribusi. Sampai hari itu tiba, kami -- lebih tepatnya mereka -- berniat untuk membelikan kue ulang tahun dan kado sederhana untuk Beliau -- Kalau ngga salah, kelas memutuskan untuk membelikannya sebuah jam tangan. -- Ya, sedikit kenanganlah dari siswa-siswinya.
Begitu Beliau masuk, lagu selamat ulang tahun kami lantunkan tulus. Beberapa anak lelaki menabuh meja untuk memeriahkan suasana. Kamu tahu apa respon Beliau?
"Buang itu! Buang! Selamat ulang tahun selamat ulang tahun! Ngga ada ulang tahun ulang tahun! Mana PR kalian!"
Maksudnya tart yang kami siapin itu dibuang saja. Jangankan meniup lilin ang telah kami nyalakan, Beliau sama sekali ngga sentuh dan ngga mau menerima hadiah yang telah kami siapkan. Hahahaha. Dan seisi kelas hanya diam, saling menatap, bingung dan kaget dengan respon dari Sang Wali kelas. Hahahaha. Disuruh buang lho, aku ngga jajan 2 hari buat ngumpulin sanguan itu! Hahahha.
Berhubung karena rasa hormatku saat itu pada Beliau telah pudar, semua yang terjadi saat itu seperti sandiwara Overa Van Java yang digawangi Sule dkk. Lelucon yang bikin perut melilit. Ketika orang lain bengong dan bingung, aku dan teman satu bangku justeru menertawakan hal ini sebelum pelajaran dimulai yang artinya aku harus kembali bersiap jadi santapannya kembali. Percayalah, bahkan membuat tulisan inipun, aku masih terkekeh mengingat masa-masa itu.
Hukuman yang kuterima setiap mata pelajarannya seperti sebuah teror yang tak kunjung selesai. Sulit untuk ditaklukkan karena bagaimanapun jika aku memutuskan untuk melawan, Beliau bisa dengan mudah mengobrak abrik nilai yang mata pelajaran lain yang telah kuperjuangkan dan kapan saja aku bisa berstatus "tinggal kelas".
Sampai akhirnya sebuah prestasiku di organisasi Tae Kwon Do membuatnya berhenti terus menerus menjadikanku tahanan di kelas. Dan aku sungguh tak peduli apapun alasannya. Bisa saja hal tersebut bagian dari penghargaan, bisa saja Beliau sudah diambang kemuakan sebagaimana aku menghadapinya, bisa saja karena dia memberiku kesempatan untuk berkembang dengan cara yang lain, bisa saja karena takut dihadang sama sekumpulan anak remaja tanggung yang kadang tak sungkan untuk melakukan apapun demi membela temannya. Semua bisa saja terjadi.
Bagaimana tentang romantisme di masa remaja?
Lupakan itu! Aku jauh lebih tertarik dengan kenangan buruk dari wali kelasku sendiri dan upayaku untuk berdiri di depannya yang terus menerus berupaya menjatuhkanku dan harga diriku di hadapan teman-teman dulu. Kalau diingat-ingat, ternyata dulu aku bisa dikatakan gigih untuk membuktikan diri tak menyukai Beliau dan menyukai bidang-bidang lainnya termasuk organisasiku.
Aku merasa lucu dengan semua perlawanan yang kusiapkan namun tak pernah bisa kuselesaikan. Dulu kata orangtuaku, tidak apa-apa benci, tapi harus tetap hormat. Dan aku menerapkannya dengan baik meski sesekali kubuat juga Beliau marah dengan menyembunyikan alat tulis di papan tulis saat jam pelajarannya. Â
Kisah Klasik; Perspektif berbeda dulu dan sekarang
Jika dulu Pidi Baiq tak pernah berkisah tentang Dilan dan Milea melalui 3 seri novelnya, Dilan dan Milea asli tidak akan pernah menyangka bahwa seluruh romantisme remajanya disukai penduduk Indonesia. Mungkin saja kisah itu dulu hanya sebatas kenangan pahit untuk dilalui, namun tak cukup manis untuk dikenang?
Film ini seperti membangunkan semua orang yang telah melewati masa remajanya, bahwa kisah yang dulu dianggap begitu menyakitkan mungkin manis bagi orang lain. Atau mungkin begitu menginspirasi bagi orang lain. Atau justeru indah untuk dikenang hari ini? Seperti lagu yang dibawakan oleh Sheila on 7, Bersenang-senanglah, karena hari ini akan kita rindukan dan jadi kisah klasik di masa depan. Begitupun dengan kenangan masing-masing orang.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H