Sedikit terlambat memang mengingat akhir tahun sudah berlalu dan kita sudah masuk ke tahun yang baru. Namun, barangkali tulisan ini bisa jadi referensi buat traveller dan pemburu kuliner yang telah memasukkan Sumatera Utara dalam list yang akan dikunjungi tahun ini.
Sekitar kurang lebih 2 jam lewat tol dari Bandar Udara International Kuala Namu, Deli Serdang, Medan. Adalah kota kedua terbesar di Sumatera Utara, yakni Pematang Siantar yang lebih kerap disebut dengan Siantar.
Iconnya unik, becak motor. Sebuah kendaraan yang mengeluarkan suara keras menderu saat melaju. Berbeda dengan becak di kota lain yang digowes langsung oleh manusia, penumpang akan lebih cepat tiba di lokasi tujuan karena becak dioperasikan dengan tenaga motor.
Kalau suatu waktu kamu tiba di sini, boleh langsung ke Lapangan Merdeka, pusat kota Siantar untuk mendokumentasikan diri di bawah icon becak motor khas Siantar ini.
Penduduk kota Siantar umumnya adalah suku Batak Toba, Batak Simalungun, Jawa, sebagian kecil Tionghoa, dan Batak Karo dengan mayoritas penduduknya beragama Kristen (Sumber: Wikipedia). Tidak heran jika memasuki akhir tahun, macetnya Ibukota seperti berpindah ke lokasi ini demi bisa menikmati malam Natal dan riuhnya pergantian tahun baru sekaligus saling bermaaf-maafan dalam acara Mandok Hata yang rutin di adakan tiap malam pergantian tahun.
Dan biasanya, dalam moment yang seperti ini, selain Dekke Naniura, ada beberapa makanan yang diburu para perantau yang pulang. Baik itu karena sedang musimnya, juga untuk melepas rindunya. Apa saja?
- Roti Ganda
Ukurannya beragam dengan harga mulai dari Rp 35.000. Biasanya disajikan di malam tahun baru usai acara Mandok Hata keluarga. Bagi sebagian keluarga, makanan ini bahkan menjadi keharusan. Apalagi kalau keluarga besar sudah berkumpul, tak cukup hanya satu kotak Ganda saja. Dan biasanya, saat tamu datang dikeesokan harinya, makanan ini pula yang paling banyak dicari orang atau disajikan oleh tuan rumah meski tanpa diminta oleh tamu.
Cake Ganda ini selalu ada sebenarnya, tapi penjualannya meningkat tajam di akhir tahun.Â
- Kembang Loyang
Bagaimana tidak, Kembang Loyang ini tergolong makanan tipis. Dan untuk membuatnya, harus satu per satu sementara cetakan biasanya terbatas. Proses membuatnya sederhana, bermodal tepung terigu, gula pasir, air dan pewarna saja (Opsional).
Cetakan kemudian dicelupkan ke dalam adonan hanya sampai ujung cetakan saja (Tidak sampai menutupi seluruh bagian atas cetakan). Cetakan yang telah berselimutkan adonan kemudian dimasukkan ke dalam minyak goreng panas lalu sedikit digoyang hingga adonan terlepas dari cetakan.
Adonan yang telah terlepas dari cetakan kemudian dibiarkan hingga berwarna kecoklatan dan mengeluarkan aroma sedap sementara cetakan dibiarkan terendam di dalam minyak goreng panas sebelum akhirnya dicelupkan kembali ke dalam adonan.
Makanan ini biasanya sudah banyak diproses sebelum memasuki Natal, namun lebih ramai diproduksi beberapa hari sebelum memasuki tahun baru. Dan pada umumnya, setiap rumah memilikinya.
Ketika saling bersapa dengan kerabat, guyonan yang kerap dilemparkan adalah "Adong do kombang layang di jabu?"Â Yang bermakna "Ada Kembang Loyang tidak di rumah?" yang menunjukkan bahwa meski tampak sederhana, panganan ini wajib ada.
Oh ya, rekan-rekan Traveller, makanan ini tidak perlu dibeli ya. Bertandang saja ke salah satu rumah sembari tahun baruan, kalau kamu beruntung pasti akan disajikan. Hehehe. Kalau ngga berani, ya sudah, boleh dibeli saja meski sedikit susah mendapatkannya. Rasanya manis dan renyah, jadi kalau menurut saya, beli sedikit untuk mencoba tentu tidak akan membuat rugi.
Makanan ini hanya bisa ditemukan di akhir tahun hingga awal tahun, jadi begitu Kembang Loyang sudah habis, kamu yang lagi kepingin makan makanan ini akan kesulitan untuk mendatpatkannya kecuali jika mengolah sendiri.
- Lomang/Lemang
Dalam hal proses pengolahan, makanan ini tidak jauh berbeda dengan Kembang Loyang. Ribet dan memakan waktu yang lama.
Hingga usia sekarang, Saya ingat baru satu kali saja keluarga kami ikut membuat makanan ini. Dan gagal. Hehehe. Setelah itu, Bapak kapok dan sampai sekarang tidak lagi pernah diolah dan tidak berniat untuk mencobanya kembali.
Berbeda dengan Kembang Loyang, meski makanan ini kerap diproduksi keluarga, biasanya juga sering dijajakan di Pajak Horas kok.
- BPK
WARNING! KULINER NON HALAL!
Sebelumnya, ini bukan bertujuan SARA ya rekan-rekan. Â Sungguh murni sebagai pengenalan kuliner saja. Mohon maaf jika kurang berkenan J
BPK alias Babi Panggang Karo. Bagi umat Islam, haram tentunya. Kalau bagi Kami, makanan ini adalah sebuah keharusan untuk menutup tahun.
Ada tradisi Marbidda yang berarti memotong hewan yang pada umumnya adalah Babi, berukuran sedang hingga besar yang kemudian dibagikan kepada seluruh masyarakat setempat yang ingin membelinya.
Bagi para perantau yang tak ingin repot, ada banyak BPK di daerah Simpang Dua dan Simpang Empat yang dapat disambangi untuk melepas rindu akan kelezatan makanan ini.
Walaupun mungkin di lokasi perantauan selalu ada satu dua tempat yang menjajakan makanan yang sama, rasanya makan di tanah Batak ini akan tetap lebih maknyus. Bukan bermaksud BPK di wilayah lain tidak enak ya, hanya saja, mengonsumsi makanan tersebut di Siantar ini bisa sembari bercengkerama dengan keluarga, mengenang jalanan-jalanan yang meninggalkan kenangan, juga bernostalgia tentang cerita saat-saat sekolah.
- Mie Pangsit Siantar
Oleh sebab itu, bagi teman-teman yang penasaran ditahan yaa. Cukup baca review makanan ini saja dari mereka yang sudah mengonsumsinya. Hehehe.
Bagi saya, makanan ini enak tentu saja. Khasnya ya daging Babi merah yang menghiasi bagian atas Mie sebelum disajikan ke konsumen. Baik itu mie goreng maupun kuah. Porsinya mantab, sepiring penuh. Hhehehe.
Biasanya perantau yang telah lama di ibukota kembali ke Bonapasogit dan mengonsumsi makanan ini sering kalap dan ngga sanggup ngabisin karena sudah terbiasa dengan porsi kecil ala Jakarta dan kota-kota besar lainnya.
- Durian Medan
Hmmm.... Bahkan dari radius sekian ratus meter, wisatawan akan disuguhkan dengan aroma sedap khas durian yang bikin kita kecarian dan pingin cepat-cepat menikmati.
Harganya berbeda tergantung ukuran. Kemarin sih, Rp 5.000an juga ada. Tapi ya itu, rasanya juga seadanya. Heheh.
Ada yang Rp 30.000 satu, ada yang Rp 50.000 dapet 3 buah, ada yang Rp 50.000 dapet 2. Terserah, pengunjung bisa bebas memilih bahkan menawar. Tapi nawarnya jangan ngeri-ngeri ya, nanti malah ditertawakan oleh penjual kan malu.
Jika ingin mencobanya dan tak ingin zonk, coba yang Rp 30.000 per buah saja sudah puas kok. Di sini ada istilah rasa durian yang paet lada. Semacam rasa manis, pekat dan kental yang menyatu di dalam daging durian. Terus ya makan dah itu sendirian si duria paet lada.
Kamu bisa duduk pas di depan rentetan buah durian itu, menikmati sedikit komunikasi di sana sembari memandang langsung kesibukan kota Siantar dari pinggiran jalan tersebut. Melihat ramahnya Inang-inang pejuang yang menaklukkan kerasnya hidup dengan berjualan tanpa memperdulikan penampilan.
Nah, itu dia beberapa kuliner Siantar yang bisa diburu di akhir tahun. Jadi, kapan kamu mau sambangi Siantar? :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H