Sepertinya bukan hanya aku, beberapa rekan-rekan yang memang fokus di urusan menulis ini kerap merasakan hal yang sama. Vakum menulis, kehilangan ide, sama sekali tak ingin mengetik, dan berbagai kondisi lain yang membuatnya tak ingin menyampaikan pemikiran dan isi hati dalam bentuk tulisan sebagaimana yang sering dilakukan.
Ragam metode dilakukan mulai dari istirahat sebentar untuk memulihkan kembali keinginan menulis, ada yang memilih makan makanan favorite, ada yang ngemall sampai kaki pegel namun keinginan menulis itu bisa hadir lagi. Ada pula yang memilih menikmati hujan, membaca novel, mendengarkan musik, bertaman, sampai mencari kembali alasan baginya untuk menulis.
Ha! Beberapa bulan terakhir. Kondisi inilah -- ogah nulis -- yang aku rasakan. Tidak ada yang bisa disalahkan, termasuk kerjaan yang menumpuk. Bukankah mereka yang sudah berkomitmen akan tetap bergerak tak peduli sebanyak apa hambatan? Mengingat salah satu resolusiku sebelum memasuki 2018 adalah menghasilkan 200 tulisan di Kompasiana ini.
Kondisi inilah yang membuatku menjadi silent reader untuk sementara. Hanya sekedar membaca tanpa mau menghasilkan satupun karya, meski ada waktu luang tersisa sekalipun. Tangan seolah kaku untuk berlenggok di atas keyboards laptop yang kesayangan ini.
Aku ngga tahu sama sekali bahwa kondisi ini ternyata membuatku semakin lama semakin nyaman tanpa karya, perlahan-lahan seperti mengajak untuk sepenuhnya berhenti. Sifatnya mengakar, lama kelamaan tak terlong. Kondisi yang sangat mematikan jika terus diikuti.
Biasaya adaaaa saja satu dua topik tiap hari yang menarik untuk kubahas. Belakangan ini, ketika kondisi itu menghampiri, bahkan ketika ada bahasan yang menarik untuk diulaspun, aku sama sekali tak punya keinginan untuk merangkumnya menjadi tulisan manis sebagaimana yang biasa kulakukan dulu.
Dan dari kevakuman hampir 2 bulan ini, maka berikut adalah bahayanya bagi seorang penggiat tulisan ketika mengikuti keinginan sesaat untuk "istirahat" menulis:
- Kesulitan Menemukan Ide
Setiap orang selalu percaya bahwa ide itu bisa datang dari mana saja. Tapi ketika membiarkan diri terlena dengan "istirahat" menulis, meskipun ada banyak hal yang terjadi sehari-hari, seolah itu semua bukan topik manis untuk diolah menjadi sebuah tulisan. Ada saja alasan yang mengirimkan sinyal pada otak bahwa topik tersebut tidak menarik yang pada akhirnya membuat hal-hal lain yang sebenarnya menarik jadi ya lewatin aja, deh!
Sementara, ketika ada permintaan tulisan yang benar-benar harus dibereskan dan otak diajak untuk bekerja sama memberi ide, semuanya terasa lempeng. Tak ada satu idepun yang singgah untuk sekedar berkata "Ah iya, bahas ini saja!"Â Ngga ada!
- Ide Apik yang Muncul Sulit untuk Dieksekusi
Berbeda dengan efek yang pertama di atas, ketika sebuah ide dengan baiknya mau mampir ke dalam benak, rasanya sulit sekali untuk membawanya menjadi sebuah tulisan utuh. Kalaupun jadi dan selesai, hasilnya pasti terasa mengganjal. Seperti ada sesuatu dalam tulisan tersebut yang harus dibuang tanpa kita sadari bagian mana itu. Tulisan terasa seperti sebuah masakan dengan komposisi yang tidak tepat namun dipaksakan untuk dihidangkan pada seseorang. Hampa!
Dan ide apik tersebutpun berakhir naas, selesai dengan ujung yang tak layak untuk ditampilkan namun tetap ditampilkan.
- Kemampuan yang Mulai Terasah Harus Dimulai Kembali dari 0