Malam ini, kompleks perumahan yang biasanya ramai didatangi oleh anak-anak muda dan beberapa orang tua yang nongkrong di perempatan jalan tepat di dekat warung bakso, kini tampak sepi, minim suara. Benar-benar tidak seperti biasanya.
Pemandangan yang seharusnya tak perlu dipertanyakan mengingat hari ini adalah laga final piala dunia 2018 antara Prancis dengan Kroasia.Â
Moment yang hanya datang satu kali dalam empat tahun ini menjadi ajang yang paling dinanti-nanti oleh seluruh pecinta sepak bola di dunia. Bahkan teman-teman saya menjadi terkesan sombong akibat tayang sepak bola ini. Tentu saja tetap mengusung kebiasaan jangan nonton bola tanpa Kacang Garuda.
Tak hanya orang tua, bahkan anak-anakpun tak luput dari pesona keseruan permainan sepak bola dari laga piala dunia 2018 kali ini.
Berkunjung ke Palembang libur lebaran yang lalu menjadi ajang silaturahmi bagi saya dan keluarga dari Mamak. Kami memanggilnya Nantulang. Beliau memiliki enam orang anak, dengan dua anak terakhir masih duduk di bangku SD.
Ini kali pertama kali kami bertemu sejak si bungsu lahir, dengan jarak umur yang cukup jauh ini, tak heran sepupu kecil saya tak menjadi anak manis yang memilih lebih banyak diam dari berkata-kata. Bahkan terkadang dia tak memberi jawaban atas beberapa pertanyaan yang saya lontarkan padanya.
Tak ingin menyianyiakan waktu liburan saya di Palembang, saya memilih mengajak dua sepupu terkecil untuk berjalan-jalan mengitari tempat-tempat menarik di Palembang.Â
Untuk mendapatkan persetujuan dari mereka pun bukanlah hal yang mudah mengingat bicara sepertinya adalah hal yang paling mahal bagi mereka berdua.
Mau tak mau, saya meminta Nantulang untuk membujuk keduanya agar bersedia saya ajak keluar dengan iming-iming dibelikan sepatu sekolah. Cukup ampuh, walau mereka masih sama. Mengiyakan tanpa suara.
Hari yang dijanjikan pun tiba. Keduanya telah datang ke rumah ketika saya sendiri masih sibuk beres-beres. Duduk manis, tanpa memanggil siapapun.
Saya pikir, diamnya mereka menjadi salah satu yang menguntungkan saya, bagaimanapun, pekerjaan saya bisa saya selesaikan terlebih dahulu tanpa merasa terburu-buru.
Hampir satu jam saya berberes, selama itu pula tidak ada suara dari mereka. Hingga saya siap untuk berangkat dan datang menyapa mereka ke depan. Bahkan setelah saya memanggil nama keduanya, tak ada satupun yang menyahut.
Antara Sepak Bola dan Sepatu Sekolah
Begitu saya tiba di depan, saya mendapatkan sebuah pemandanga yang cukup mengejutkan. Keduanya tengah asyik menonton tayangan sepak bola hingga mengabaikan hal lain yang ada di sekitar mereka. Termasuk panggilan saya.
Euforia piala dunia rupanya tak hanya milik dewasa semata, atau hanya golongan pria saja, disambut pula dengan penuh antusias oleh kedua anak kecil ini, baik lelaki juga perempuan.
Anak sekecil itu menyukai sepak bola? Tidak masalah, bisa jadi itu akan beralih menjadi hobby si sepupu kecil yang akan digelutinya saat remaja dan menginjak dewasa kelak. Tidak ada yang tau. Piala dunia bisa saja menjadi sumber inspirasi bagi mereka yang menyukai bahkan menjadi jalan untuk mendalami.
Begitu saya tawarkan kembali untuk berangkat, untuk pertama kali pertanyaan saya bersambut "Tante, sebentar lagi ya. Tunggu bolanya selesai." Dengan logat Palembangnya yang begitu kental.
Saya hanya tersenyum. Senang untuk pertama kalinya pertanyaan saya bersambut, senang ketika anak-anak lain sibuk dengan android di tangan mereka dan kedua sepupu saya memutuskan untuk menyibukkan diri dengan kesukaan mereka. Senang ketika menyadari, ada sesuatu yang harus diarahkan dalam diri si kecil ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H