Mudik merupakan suatu keharusan yang dilakukan setiap kali Lebaran akan tiba. Penantian setahun untuk mendapatkan cuti penuh tanpa harus dipotong gaji akhirnya bisa diperoleh lalu bertemu dengan sanak keluarga.
Tak hanya masyarakat beragama Islam, hampir seluruh lapisan masyarakat mendapatkan kesempatan yang sama urusan mudik ini. Termasuk saya sendiri sebagai penganut agama Kristen Protestan.
Tak ingin menyianyiakan libur panjang, berlalu tanpa ada arti, saya memutuskan untuk melakukan perjalanan yang telah lama saya impikan. Bertemu dengan saudara kandung saya yang sudah 8 tahun tak pernah bertemu. Jika tak sekarang, maka tak akan pernah bisa lagi mengingat kesibukan kantor juga tak pernah memberikan ijin untuk pergi berlama-lama.
Mengusung tema perjalananan ala-ala backpacker untuk:
- Menghemat biaya perjalanan
- Tiket Jakarta-Palembang tak lagi tersedia jika ingin diperoleh di pencarian online tiket
- Untuk merasakan kembali sensasi ala-ala traveller selama di perjalanan. Maka travelling pun di mulai.
Ada banyak sensasi dan cerita yang dapat diperoleh saat melakukan perjalanan panjang sendirian. Seperti yang saya dapatkan di seperempat perjalanan mudik:
Seperempat Mudik, Nyawa Hampir Melayang Tiga Kali
Kondisi mudik seperti ini, pelabuhan sibuk sekali. Malah tampak seperti tak akan pernah tidur karena jumlah penumpang dan calon penumpang yang naik significant. Merak yang di hari-hari biasa terlihat seperti pelabuhan besar nan elegant, saat ini terlihat seperti stasiun yang dikerumuni oleh penumpang untuk segera naik ke kapal dan kembali ke rumahnya masing-masing. Pelabuhan Bakauheni yang terlihat sepi dan biasa saja, terlihat seperti kerumanan warga Depok dan Cibubur yang sedang berebutan menaiki bus transjakarta.
Setibanya di pelabuhan Bakauheni sekitar pukul 02.00 WIB, penumpang berebut masuk ke dalam bus, termasuk saya sendiri. Perjalananpun dimulai menuju Rajabasa. Tempat untuk transit lalu kemudian mencari kendaraan lain ke stasiun Tanjung Karang kemudian memanfaatkan kereta api Sriwijaya menuju Palembang.
Tapi perjalanan ini bukan tentang hal tersebut. Melainkan, perjalanan di hari menjelang Lebaran yang cukup menyeramkan.
Dalam perjalanan Bakauheni menuju Rajabasa, kami disupiri oleh seorang Bapak yang tak dapat dibilang tua, pun tidak terlalu muda lagi. Tengah malam mengemudi dengan kondisi bus penuh sesak termasuk oleh anak-anak. Belum lagi mungkin sebelumnya, supir yang sama telah bolak balik Rajabasa -- Bakauheni melalukan hal yang sama.
Satu kali dalam perjalanan tersebut, seorang penumpang menjerit cukup kuat. Saya yang duduk tepat berada di belakang Bapak Supir terhentak dari tidur dan langsung menoleh. Supirpun tampaknya merasakan hal yang sama -- kaget -- hampir saja bus tersebut menabrak bus lain yang datang dari arah berbeda. Untung saja Pak Supir langsung  bisa mengendalikan bus hingga kembali berada di jalur semula meski klakson dari bus yang datang dari arah sebaliknya telah melengking panjang.