Ini nih yang paling didamba banget nih dari bulan puasa. Yes! Apalagi kalau bukan THR alias tunjangan hari raya. Tambahan satu bulan gaji penuh bagi mereka yang sudah bekerja minimal satu tahun di perusaahaan baik negeri maupun swasta. Lumayan kan yaaa buat beresin baju lebaran dan semua keperluan lebaran keluarga. bahagia pokoknya, soalnya gaji bisa utuh hingga ke gajian berikutnya.
Jika tahun 2016 lalu, saya belum menikmati THR di bulan puasa, berbeda dengan 2 tahun berturut-turut setelahnya, saya diberikan kesempatan untuk menikmati THR bersamaan dengan staff lainnya. Pemberian THR diratakan di hari raya Lebaran, bukan berdasarkan agama masing-masing karyawan. Dan ini tentu kami sambut baik. Dengan menyamaratakan pembagian THR, rasanya tidak ada ketimpangan dan kecemburuan antar karyawan.
Sudah jadi rahasia umum, hari-hari pertama memasuki bulan puasa, Masjid adalah tempat teramai dan paling diminati karena banyak sekali jemaah yang datang bersiap untuk menyambut hari nan suci. Namun perlahan, memasuki minggu ke dua dan seterusnya, jemaah hilang satu per satu hingga akhir minggu ke tiga. Biasanya nih, minggu ke empat atau sudah mendekati hari raya Idul Fitri, masjid kembali ramai. Hihhihi. Merindukan yang akan segera berlalu. Langkah yang salah yaa, karena tak satupun manusia tahu tentang hidup dan umur yang akan dihidupinya.
Lalu, yang jadi pertanyaan, kemana kah para jemaah menghilang?
Kaitan THR dan Masjid yang Kosong
Berbagai meme marak memenuhi beranda lini masa sosial media yang isinya berupa sindiran kepada semua jemaah yang lebih memilih memuaskan kebutuhan duniawinya dibanding memilih mempersiapkan diri dan hati memasuki Idul Fitri. Sayangnya, semenohok apapun sindiran yang disampaikan, ternyata tak mempan untuk mengembalikan kerinduan untuk lebih memilih agama dibanding duniawi.
Banyak orang yang lebih memilih untuk berbelanja memenuhi kebutuhan pakaian, sepatu, dan semua peralatan sholat keluarga saat lebaran nantinya, atau kebutuhan kue-kue untuk disajikan kepada tamu-tamu yang kelak datang untuk bersilaturahmi.
Jika dulu banyak orang lebih memilih menyibukkan diri untuk mempersiapkan sendiri semua kebutuhan kue di rumah, berbeda dengan sekarang yang lebih memilih untuk mencari hal yang lebih simple dan cepat untuk selesai. Membeli, lalu disajikan tanpa perlu repot-repot berantakin dapur. Â Perubahan kebiasaan ini pula yang perlahan berhasil menggeser kehadiran jemaah di masjid berpindah ke mall-mall terdekat.
Belum lagi, segudang jadwal buka puasa bersama dengan berbagai rekan, organisasi dan semua kelompok yang pernah 'ditempati' turut ambil andil atas alasan hilangnya jemaah dari masjid.
THR, dinanti setahun, habisnya sebulan
Lalu, yang menjadi pertanyaan, sudahkah tepat penggunaan THR yang dinanti setahun tersebut?
Semua pekerja, baik negeri maupun swasta -- Blogger engga termasuk cieeee -- tentu sangat mendamba kehadiran THR di tengah-tengah kekrisisan kondisi keuangannya, atau untuk sekedar tambahan tabungan.
Dinantikan selama satu tahun, beberapa karyawan bahkan memutuskan untuk menunda resignnya sampai menerima THR lalu kemudian 'cabut' dari perusahaan. Yang penting jatahnya sudah diterima. Dan setelah diterima, uang yang dinanti setahun tersebut habis hanya dalam satu bulan demi gengsi dan gaya hidup semata?
Kehadiran THR di kehidupan karyawan tentu bisa menjadi sesuatu yang sangat membantu urusan keuangan pribadi atau keluarga, namun di sisi berbeda, THR yang pemakaiannya tak dikontrol dengan baik juga dapat menjadi boomerang yang membuat seseorang kehilangan kontrol untuk menggunakan uangnya bahkan berujung dengan meminjam uang kepada temannya alias ngutang. Catat: hanya karena gaya hidup yang berlebihan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H