Mohon tunggu...
Efa Butar butar
Efa Butar butar Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Content Writer | https://www.anabutarbutar.com/

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Memandang Realita Pekerja dalam Film "Gringo"

20 April 2018   17:48 Diperbarui: 21 April 2018   09:11 2914
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gringo | Foto: http://indiewire.com

"Jika kamu tidak mengejar mimpimu, maka orang lain akan membelimu untuk mewujudkan mimpinya."

Ya, kalimat di atas adalah salah satu kalimat motivasi yang kerap didengung-dengungkan dalam seminar kewirausahaan, juga dibuku-buku motivasi yang berhasil "ditelurkan" oleh para motivator. Tujuannya ya tentu untuk membakar semangat mereka yang berjuang dari nol, meningkatkan rasa percaya diri, pula bertujuan untuk meyakinkan mereka para pejuang bisnis bahwa langkah yang mereka ambil tidaklah salah.

Memiliki usaha sendiri adalah langkah terbaik yang dapat ditempuh untuk mendapatkan masa depan yang gemilang, meski harus tertatih-tatih membangun di awal. Pun, diri sendiri bisa menjadi bos atas usaha sendiri tanpa harus mendapatkan tekanan dari sana sini yang sering diterima di dunia kerja.

Sayangnya, tidak semua orang mau dan bersedia memberikan waktunya menapak dari angka 0. Meski berwirausaha adalah pilihan paling tepat untuk memiliki masa tua yang menyenangkan, namun ya itu, seseorang harus rela dan iklhas untuk jatuh bangun sebanyak ratusan kali, bahkan mungkin ribuan kali hingga akhirnya mendapatkan apa yang dicarinya.

Hal seperti ini dianggap sebagai buang-buang waktu, buang-buang tenaga juga materi sementara teman atau sahabat sudah mejeng dengan leher tegak berikut dengan bunyi "beep beep" dari kejauhan ketika bertemu di suatu tempat -- meski sebenarnya itu adalah kredit.

Tidak mudah untuk menerima kegagalan terutama jika telah mengorbankan waktu dan uang dalam jumlah yang cukup besar. Jadi bahan tertawaan orang lain, belum lagi jika harus menerima fakta bahwa orang terdekat turut malu, mencibir bahkan memandang rendah usaha yang tengah digeluti.

Saya pernah mendengar tentang satu kisah seseorang yang tengah belajar menjadi seorang pengusaha -- seorang rekan di kantor terdahulu -- Adel Masri namanya. Beliau berkisah tentang perjuangannya menjadi seorang "pembelajar" sampai akhirnya mengorbankan 1 rumah, 2 unit mobil, uang tunai milik pribadi ratusan juta, serta utang di sana sini untuk menutup kegagalan usaha demi usahanya.

Haru sekali mendengarnya. Namun lagi-lagi, bagi mereka yang optimis, selalu ada hal positif dari setiap musibah yang sedang diderita.

"Dari semua kegagalan yang gue alamin, gue beruntung, gue tahu gue engga salah pilih wanita. Istri gue engga sedetikpun ninggalin meski gue jatuh berkali-kali. Gue nahan nangis saat harus liat anak-anak gue makan cuma pakai air dikasih garam, sakit! Namun istri dan anak-anak gue adalah alasan gue bangkit dan bisa di sini sekarang (saat itu jadi marketing executive di perusahaan lama tempat saya bekerja -- katanya sembari ngumpulin modal lagi untuk kembali ke dunianya, wirausaha). Dan salah satu hal yang paling penting dalam hidup seorang laki-laki adalah, ketika mengetahui wanitanya tidak pergi meski sedang jatuh sebangkrut-bangkrutnya."

Banyak sekali risiko yang harus ditempuh untuk menjadi seorang pebisnis -- atau katakanlah memiliki usaha sendiri, sekecil apapun itu -- hanya sedikit orang yang mau memberikan waktunya untuk menapaki semua dari nol untuk menikmati indahnya kesuksesan berwirausaha.

Dan ya, hanya sedikit orang yang mau menjadi orang yang sedikit, kan? Keputusan untuk menjadi seorang staf di perusahaan ternama sepertinya adalah pilihan jitu untuk bisa secepatnya pergi ke showroom dan mengajukan kredit mobil lalu diacc.

Jika menjadi seorang wirausaha semua dilakukan sendiri, dari nol namun tiap tindakan didasari dengan kesadaran sendiri, tak ada yang memarahi, maka, menjadi seorang staf di perusahaan bonafit dan menjadi impian sejak jauh-jauh hari, seseorang harus mau bertanggung jawab meski tidak mengetahui secara persis seperti apa kronologis tanggung jawab tersebut.

Tak peduli bagaimana pun, harus diselesaikan. Tidak bisa dan beralasan bukan kesalahan pribadi? Ya, bukankah seorang staf dibayar untuk itu dan untuk dimarahi -- katanya -- ? Jadi korban atas kesalahan orang lain and nobody cares.

Realita Kehidupan Pekerja dalam Film Gringo

Kehidupan seorang staf kurang lebih berhasil digambarkan film Gringo, rasa percaya yang berlebih pada teman yang ternyata menusuknya dari belakang, keluarga yang tak setia, hingga kesadaran atas betapa hidup yang dijalaninya sangatlah bohong.

Hanya saja, dalam film Gringo, alur cerita Harold -- diperankan oleh David Oyelowo -- yang menjadi korban dan mendominasi disampaikan sedikit lebih kompleks dan cukup menegangkan untuk sepenuhnya menggambarkan kehidupan seorang staff perkantoran.

Sedangkan dari sisi seorang wanita, Elanie -- Charlize Theron -- bergerak menghadapi dua orang calon client dengan sedikit mengumbar keseksian demi mendapatkan kata deal atas kerja sama yang mereka tawarkan. Ini yang sering saya tidak setuju ketika mendengar sales-sales atau para jobseeker berujar "Ya sudah, nanti roknya sedikit diangkat pas diwawancarai." Atau "Bolehlah, satu kancing atas dibuka lagi."Please! Itu lagi cari kerja atau (maaf) jual diri? Layakkah harga diri ditukar dengan beberapa tahun gaji di perusahaan yang tengah kita incar? Tidak!

Kepercayaannya pada teman sekaligus rekan kerja pupus sudah ketika Richard Rusk (Joel Edgerton) bersama dengan Elanie menertawakan dirinya dalam sebuah acara makan malam. Rencana yang disusunnya untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi di perusahaannya termasuk rencana Rusk akan dirinya.

Lagi-lagi kepahitan harus ditelannya ketika istrinya tercinta, seorang wanita yang seharusnya ada di sisinya saat terpuruk, berpaling dan terang-terangan meninggalkannya lalu beralih ke pria lain.

Keterpurukan tak berhenti sampai di sana, rencana Rusk untuk tidak lagi memasok produk pada salah satu konsumennya berujung petaka yang semakin mengancam keselamatan diri Harold. Dirinya menjadi incaran banyak orang demi pundi-pundi uang. Belum lagi, di sisi Rusk, kematiannya justru membawa untung bagi perusahaan.

Genre

Mengusung genre aksi, adventure, komedi dan drama, Gringo dapat dikatakan tidak benar-benar berhasil.

Untuk aksi dan petualangan, para penonton akan disajikan dengan kebrutalan orang-orang Meksiko yang rela melakukan apa saja demi sebuah bayaran tanpa berpikir panjang bahwa apa yang tengah dilakukannya dapat menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Belum lagi adanya suguhan adegan-adegan dadakan yang mengejutkan yang tak kalah mendebarkan.

Dalam beberapa scene, Harold memang beraksi kocak, belum lagi dialog-dialog mereka yang terdengar ringan ikut menggelitik. Beragam aksi konyol juga menjadi hiburan tersendiri bagi penonton sehingga adrenalin yang sempat terpacu oleh ragam scene aksi dapat dinetralisir kembali.

Untuk drama, menurut saya pribadi tergolong gagal salah satu alasannya adalah karena kehadiran Bonnie Soyinkan sebagai istri Harold (Thandie Newton) hanya sebagai pemanis yang memaksakan munculnya adegan drama dalam film ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun