Mohon tunggu...
Efa Butar butar
Efa Butar butar Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Content Writer | https://www.anabutarbutar.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Satu Butir Nasi yang Tertinggal: Petani, Sampah, dan Masyarakat yang Kelaparan

11 November 2017   07:17 Diperbarui: 10 Agustus 2019   13:45 4624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia terkenal sebagai negara agraris. Meminjam lirik lagu

"Orang bilang tanah kita tanah surga

Tongkat kayu dan batu jadi tanaman"

Yang mendeskripsikan betapa negeri ini kaya akan kesuburan tanahnya. Lemparkan saja batang kayu singkong, kelak juga akan memberimu singkong untuk dipanen. Begitu juga ujarnya.

Hingga tahun 2016, jumlah penduduk masyarakat Indonesia mencapai 261,1 juta jiwa. Untuk pemenuhan gizi dalam tubuh, sekaligus untuk mengembalikan tenaga yang habis terkuras kita membutuhkan makan yang  umumnya dilakukan sebanyak tiga kali dalam satu hari.

"Belum makan namanya kalau bukan makan nasi." Begitu kira-kira yang kerap terdengar di masyarakat luas tentang konsumsi makan khas Indonesia. Tak peduli sekenyang apapun, selama belum makan nasi, kondisi kenyang itu belum dapat disebut 'sudah makan'.

Nasi merupakan sumber karbohidrat yang paling banyak ditemukan di Indonesia. Sebagaimana disebutkan di atas, sebagai negara agraris, tentunya bukanlah masalah utama untuk mendapatkan beras untuk lalu diolah di negeri tercinta ini. Gampang!

Tak hanya berlimpah, harganya pun sangat terjangkau. Rp 9.000 paling ya per kg nya? Itu sudah murah kadang malah masih ditawar. Di saat panen, saat masih berbentuk gabah, harganya jauh lebih murah lagi. Hanya dibanderol Rp 4.100 per Kg. Nah tuh, murah banget kan?

Cobalah sesekali bepergian ke desa yang dominan penduduknya petani padi saat musim panen tiba. Lihat raut wajah ikhlas mereka berusaha dengan senyuman menerima kenyataan perjuangannya hanya dihargai Rp 4.100 per kg nya.

Berapa kali ke mal? Makanan dari luar negeri yang apa saja yang kamu makan? Yahh, you named it lah yaa... Berapa harga yang harus kamu bayar untuk satu gelas soda? Rp 25.000? Atau jika sepaket? Rp 50.000? Rp 100.000? Atau berapa? Dapet apa sih? Satu semangkok kecil nasi, telor dadar, kentang goreng, paha ayam 1? Betul? Wahhh... keren yaa. Bisa beli yang mahal-mahal. Beras Indonesia cuma Rp 9.000 lhoo sekilonya.

Mengetahui Berat 1 Butir Nasi

Dengan menggunakan neraca analitik dengan tingkat konsentrasi keakuratan tiga di belakang koma, saya meminta tolong pada teman yang kebetulan memiliki benda tersebut untuk mencoba menimbang satu butir nasi utuh (tidak terpotong) dengan dua kali pengulangan. Hasilnya 0,056 gr, dan 0,057 gr. Sayangnya saya tidak tahu jenis beras apa yang tengah ditimbang  saat itu.

Hasil penimbangan pertama 1 butir beras utuh | Foto: Shandy Sulistiyo
Hasil penimbangan pertama 1 butir beras utuh | Foto: Shandy Sulistiyo
Hasil penimbangan kedua | Foto: Shandy Sulistiyo
Hasil penimbangan kedua | Foto: Shandy Sulistiyo
Asumsikan saja berat satu butir nasi ini adalah 0,056 gr. Ada berapa butir nasi yang tertinggal di piring kamu? Anggap saja ada satu butir nasi tertinggal di sana tanpa sengaja. Kita asumsikan seluruh masyarakat Indonesia melakukan ketidaksengajaan yang sama dikali tiga kali konsumsi makanan tiap harinya, maka terkumpullah sebanyak 43,8648 ton butir nasi yang seharusnya bisa digunakan untuk dikonsumsi berapa puluh orang yang tidak seberuntung kita di luar sana.

Itu hanya akumulasi dari 1 butir nasi yang tidak sengaja kamu tinggalkan dalam piringmu. Bagaimana dengan setengah piring yang tidak kamu habiskan dengan alasan tidak selera atau sudah kenyang? Atau hanya dipandangi diaduk-aduk saja ketika bersama gebetan untuk menjaga gengsi agar tak dibilang banyak makan? Seharusnya dari awal saja tidak perlu pesan makan. Jika ada 10 orang saja yang melakukan hal yang sama dengan itu, maka silahkan hitung sendiri berapa jumlah makanan yang sudah kamu buang bersamaan dengan mereka.

Sekali lagi, itu hanya akumulasi dari nasi. Bagaimana dengan menu lain yang tidak kamu habiskan? Lauk, sayur, buah, roti?

Mari saya bawa pada kehidupan sehari-hari petani. Setelah ada pengumuman dari pemerintah setempat untuk segera bersiap melakukan penyemaian, mereka akan memilih dengan sangat telaten benih-benih terbaik yang akan dirawat hingga panen nanti.

Dua minggu masa penyemaian lalu memasuki musim tanam padi. Dalam lumpur tersebut, mereka bergotong royong berjalan mundur memenuhi isi seluruh petak sawah yang sebelumnya telah digarap untuk bisa menjadi wadah yang tepat untuk penanaman padi.

Tidak peduli terik, tidak peduli hujan, lumpur adalah sahabat mereka untuk menghasilkan bulir-bulir nasi yang kamu buang. Merunduk sepanjang hari di bawah kondisi apapun. Sesekali mereka akan mencoba berdiri, menenangkan tengkuk dan pinggang yang telah kaku sepanjang menunduk.

Tak sampai hanya di sana, mereka akan kembali berjuang untuk melawan hama penyakit tanaman yang kedatangannya tidak bisa ditebak. Memanggul berember-ember pupuk untuk disiramkan di seluruh petakan sawah. Memanggul alat penyemprot dengan isi bertangki-tangki ember yang telah diisi obat hama sebelumnya agar padi bisa tumbuh dan mengasilkan bulir yang maksimal dimana setelah menjadi nasi dan tiba di tanganmu, malah kamu buang.

Pematang sawah hanya terbuat dari lumpur yang dibentuk hingga mengering untuk menjadi jalan menelusuri petak demi petak sawah di sudut lainnya. Saat hujan, pematang sawah itu akan berubah licin, tak jarang mereka kembali ke rumah dengan kaki yang biru atau keseleo. "Tadi jatuh di sawah" begitu jawabnya untuk menjelaskan saat terjatuh di pematang sawah.

Saat biji padi mulai keluar, mereka akan sangat menjaga kalau-kalau ada serbuan hama tikus yang mereka tidak sadari kehadirannya. Agar itu tidak terjadi, mereka berkeliling dengan cara apapun agar biji padi yang baru keluar tidak dihabisi oleh hama tikus tersebut.

Tak cukup hanya tikus, mereka akan kembali dihadapkan dengan serbuan gerombolan burung-burung kecil yang ingin ikut memanen hasil dari keringat mereka. Untuk mencegah itu terjadi, mereka akan berjaga dari pagi hingga sore, bergantian dengan anggota keluarga lainnya hingga akhirnya panen.

Panen bukan berarti perjuangan telah selesai. Padi memang telah dijual sebagian, namun sebagian lagi membutuhkan penanganan pascapanen -- pengeringan -- untuk membuat hasil penjualannya sedikit lebih mahal, meski sebenarnya hanya berbeda 400 perak saja.

Bayangkan sebanyak apa hasil panen dan semua harus dijemur untuk angka 400 perak. Memanggul 50 kg padi berhadapan dengan terik saat ingin membolak balik pada agar kering merata.

Kamu bisa bayangkan perjuangan itu?

Kurang lebih 120 hari berjuang untuk urusan makanan hingga ke pelosok negeri, dan dengan mudahnya kamu membuangnya tanpa berpikir dua kali tentang upaya yang mereka lakukan agar itu bisa sampai dihadapanmu.

Aih, mba ini. Sok tau!

Saya anak petani padi. Dan saya tahu persis perjuangan itu karena saya pernah merasakannya. Hingga kini pun, saya selalu kontrol orang tua, kalau-kalau terjadi apa-apa saat di sawah.  Jika kamu ada waktu, dengan senang hati saya akan membawamu kelak ke kampung saat musim panen tiba.

Meski dengan bangganya kita mengaku negeri kita adalah negeri agraris, tongkat, kayu dan batu jadi tanaman, ada sekelompok orang di luar sana yang masih mengalami kelaparan. Dan tentang hal ini sudah dipaparkan oleh Bapak Kadir Ruslan melalui artikelnya yang berjudul Fakta Tentang Kelaparan Di Indonesia, baca di sini

Tak berhenti sampai di sana, sebuah tragedi pernah terjadi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah, Bandung. Tepatnya 21 Februari 2005 pukul 2.00 WIB dinihari yang membuat 2 DESA HILANG DARI PETA dan 157 jiwa melayang belum termasuk harta benda. Penyebabnya tak lain adalah tumpukan sampah.

Tragedi Longsor Sampah di TPA Leuwigajah | Foto: http://www.pikiran-rakyat.com
Tragedi Longsor Sampah di TPA Leuwigajah | Foto: http://www.pikiran-rakyat.com
Buntut masalah tersebut memang panjang, kepala dinas urusan persampahan dari tiga daerah yaitu Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kota Cimahi, diseret ke muka pengadilan karena dianggap lalai. Hanya saja, ketiganya hanya diganjar hukuman percobaan meski divonis bersalah 18 bulan setelah longsor terjadi. Begitu pula dengan gugatan perdata korban TPA Leuwigajah pun menguap tanpa ada hasil. (Kompas)

Salah satu korban tewas tragedi Leuwigajah tengah dievakuasi | http://www.pikiran-rakyat.com
Salah satu korban tewas tragedi Leuwigajah tengah dievakuasi | http://www.pikiran-rakyat.com
Menolak lupa, 21 Februari diperingati hari Sampah Nasional untuk mengenang kejadian tersebut sekaligus untuk membangun kesadaran kolektif masing-masing individu bahwa pengelolaan sampah harus lebih baik bagi lingkungan dan kesehatan manusia.

Urusan satu butir nasi yang tersisa bukan hanya urusan "hanya satu butir doang kok, tidak sengaja." Urusan satu butir nasi menyangkut perjuangan yang dihadapi petani selama 120 hari agar kamu bisa menikmati padi dengan kualitas maksimal. Jika mereka tidak bisa mendapatkan harga yang setimpal dengan perjuangannya, setidaknya mereka tahu, perjuangan mereka tidak dibuang secara sia-sia.

Lebih jauh lagi, urusan satu butir nasi bisa menjadi kompleks ketika diakumulasikan dengan satu butir-butir nasi yang lain dari seluruh penjuru negeri. Tidak lucu sampah makanan sampai sebanyak itu sementara di luar sana banyak orang yang bahkan untuk merasakan satu butir nasi itupun mereka tidak bisa.

Itu hanya sampah makanan, bagaimana dengan sampah plastik, kertas, pakaian, sepatu, dan barang-barang lain yang terus menggunung di TPA sana?

Alm Oppung selalu sampaikan pada kami, berulang hingga akhirnya melekat, "Jangan banyak ambil, nanti bisa tambah. Terbuang, engga makan kau besok!"

Apa sih, urusan satu butir nasi doang dibesar-besarkan?

Bukan doang! Urusan satu butir nasi itu kompleks. Maka jangan sisakan!

Saya tergerak untuk mengulas ini setelah mendapatkan pemaparan dari Prof. Dr. Ir. Rindit Pambayun, MP selaku ketua umum Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia yang membahas tentang berat per butir nas yang berujung menjadi sampah.

img20171104123030-5a063e4a5a676f023431e6b2.jpg
img20171104123030-5a063e4a5a676f023431e6b2.jpg
Juga dari pembicara muda yang sangat energic, Syir Asih Amanati, Program Manager, Greeneration Foundation yang menggemakan "TIDAK LAGI BUANG SAMPAH PADA TEMPATNYA, NAMUN LETAKKAN SAMPAH PADA TEMPATNYA." Yang berarti sampah apapun yang di tangan kita, seharusnya dikreasikan untuk menghasilkan karya.

Seperti karya yang cukup apik yang terbuat dari sedotan ini


Depok, 11 Nov 2017

Efa Butar butar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun