Panen bukan berarti perjuangan telah selesai. Padi memang telah dijual sebagian, namun sebagian lagi membutuhkan penanganan pascapanen -- pengeringan -- untuk membuat hasil penjualannya sedikit lebih mahal, meski sebenarnya hanya berbeda 400 perak saja.
Bayangkan sebanyak apa hasil panen dan semua harus dijemur untuk angka 400 perak. Memanggul 50 kg padi berhadapan dengan terik saat ingin membolak balik pada agar kering merata.
Kamu bisa bayangkan perjuangan itu?
Kurang lebih 120 hari berjuang untuk urusan makanan hingga ke pelosok negeri, dan dengan mudahnya kamu membuangnya tanpa berpikir dua kali tentang upaya yang mereka lakukan agar itu bisa sampai dihadapanmu.
Aih, mba ini. Sok tau!
Saya anak petani padi. Dan saya tahu persis perjuangan itu karena saya pernah merasakannya. Hingga kini pun, saya selalu kontrol orang tua, kalau-kalau terjadi apa-apa saat di sawah. Â Jika kamu ada waktu, dengan senang hati saya akan membawamu kelak ke kampung saat musim panen tiba.
Meski dengan bangganya kita mengaku negeri kita adalah negeri agraris, tongkat, kayu dan batu jadi tanaman, ada sekelompok orang di luar sana yang masih mengalami kelaparan. Dan tentang hal ini sudah dipaparkan oleh Bapak Kadir Ruslan melalui artikelnya yang berjudul Fakta Tentang Kelaparan Di Indonesia, baca di sini
Tak berhenti sampai di sana, sebuah tragedi pernah terjadi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah, Bandung. Tepatnya 21 Februari 2005 pukul 2.00 WIB dinihari yang membuat 2 DESA HILANG DARI PETA dan 157 jiwa melayang belum termasuk harta benda. Penyebabnya tak lain adalah tumpukan sampah.
Urusan satu butir nasi yang tersisa bukan hanya urusan "hanya satu butir doang kok, tidak sengaja." Urusan satu butir nasi menyangkut perjuangan yang dihadapi petani selama 120 hari agar kamu bisa menikmati padi dengan kualitas maksimal. Jika mereka tidak bisa mendapatkan harga yang setimpal dengan perjuangannya, setidaknya mereka tahu, perjuangan mereka tidak dibuang secara sia-sia.