Setelah melewati berbagai proses selama kurang lebih 4 bulan sejak penyemaian, masyarakat Desa Panombeian Toba dan sekitarnya siap untuk memanen hasil jerih payahnya.
Panombeian Toba adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan Panombeian Pane, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara yang keberadaannya tak banyak diketahui orang, termasuk warga Sumatera Utara sendiri.
Sudah hal yang biasa ketika memperkenalkan diri saat SMP dan SMA di kota dulu, tidak ada yang tahu di mana letak desa yang saya perkenalkan. Di awal sekolah, saat teman-teman bertanya, dengan senang hati saya akan memperkenalkan tempat ini sampai mereka memiliki bayangan kira-kira di mana letak desa yang tengah saya bicarakan. Walaupun pada akhirnya penjelasan saya percuma. Lambat laun, tiap kali ada yang bertanya, saya selalu menjawab, 'ntar kubawa ke sana, biar tau'.
Kembali ke panen desa, meski tak melihat langsung ke lapangan, setidaknya saya tahu bahwa mamak saya tidak akan pernah mengatakan hal yang tidak benar.
Panen yang berlangsung kali ini sedikit menyakitkan. Tikus menjadi musuh utama yang menguasai hampir setengah hasil panen. Kali ini, bahkan untuk menutup utang pun tidaklah cukup.Â
Siklus hidup petani padi di desa ini cukup unik. Pupuk, obat dan segala keperluan petani di awal penanaman akan dibeli dengan cara utang kepada seorang tauke. Penanamannya sendiri dilakukan dengan cara gotong royong. Istilah yang digunakan di sana adalah marsidapari.
Sekitar 7-9 orang ibu-ibu akan membentuk kelompok kecil. Secara bergiliran, kelompok kecil ini akan saling menanam padi di sawah milik masing-masing anggota kelompok hingga selesai. Jika dirasa kurang, maka pemilik sawah akan mencari orang tambahan yang akan dibayar untuk membantu mempercepat proses penanaman.
Untuk melunasi utang pupuk dan obat-obatan untuk padi itu, satu-satunya yang diharapkan adalah hasil panen. Sebagian hasil panen akan dijual untuk melunasi utangnya terlebih dahulu, sebagian lagi kembali dijual untuk mendapatkan uang yang akan digunakan untuk kehidupan sehari-hari dan sisanya akan digunakan untuk konsumsi pangan hingga panen berikutnya tiba.
Tak tanggu-tanggung, dalam pemenuhan kebutuhan pupuk dan obat untuk total 12 rantai, Mamak membutuhkan kurang lebih Rp 1,5 jt. Bagi warga yang memiliki anak yang sudah bekerja, mungkin angka ini tidaklah terlalu berat karena bisa dipastikan anak akan membantu semua kebutuhan tersebut. Namun, bagi petani yang anaknya masih sekolah, bukankah nilai ini cukup mahal?Â
4 bulan sebelum musim panen tiba, tidak ada pemasukan, sementara anak harus terus sekolah, kebutuhan sehari-hari juga harus terus terpenuhi. Mau tidak mau, untuk memenuhinya, petani harus kembali mengajukan pinjaman.
Dan kali ini, panen itu telah tiba. Meski namanya panen, tak sedikit petani yang bermuram durja. Pasalnya, satu-satunya sumber penghasilan yang diharapkan dapat melunasi utang, tidak sesuai yang diharapkan.
Petani diposisikan pada pilihan sulit. Adalah hal yang sangat konyol jika menjual semua hasil panen tanpa meninggalkan sedikit untuk konsumsi keluarga. Gimana tidak konyol? Masa petani padi tidak punya beras hanya untuk sekedar menghidupi diri sendiri dan keluarga? Dan jika tidak dijual keseluruhan, utang tidak akan lunas dan akan terus menjadi beban. Bukankah tauke juga akan berpikir ulang untuk memberikan pinjaman pada mereka yang masih memiliki utang padanya? Sementara hari-hari ke depannya petani yang masih memiliki anak yang sekolah pasti akan membutuhkan pinjaman uang untuk keperluan sekolah anak.
Saya masih ingat persis saat musim panen tiba, dari 8 rantai sawah, mamak akan berhasil mendapatkan 50-55 karung padi ukuran 50 kg. Dan itu adalah hasil paling maksimal dari 8 rantai sawah tersebut. Berbeda dengan musim menuai kali ini, 'Nga godang i Inang molo boi dapot ni Oma 30 goni'(Paling banyak Mamak hanya bisa dapat 30 karung) Ujarnya dengan sangat lesu. 20 karung berkurang setara dengan 1 ton padi yang jika dijual akan menghasilkan Rp 4.1 jt. Angka yang sangat banyak untuk ukuran tinggal di desa.Â
Tak cukup hanya tikus yang menjadi permasalahan, padi yang biasanya dihargai sebesar Rp 4.400- 4.500 per kg nya, kini mendadak turun menjadi Rp 4.100-4.200 per kg nya. Pertanyaan yang tak kunjung usai 'Mengapa selalu tiba-tiba turun saat panen tiba?'
Karena hasil melimpahkah?
Betapa beruntungnya kalian berhadapan dengan orang-orang kecil yang tidak akan berani menahan padinya karena kebutuhan yang mendesak. Jika itu terjadi, apa masih akan muncul kalimat 'hasil terlalu melimpah?'
Selamat menuai di tanggal 21 Oktober 2017, Mak. Semoga hari berpihak pada kita. Selamat menuai petani kusayang. Â Setidaknya perjuangan hidup kalian mengajarkan apa itu makna bersyukur.
Selamat hari Pangan Sedunia.
Halimun
Rabu, 18 Okt 2017
Efa Butar butar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H