Petani diposisikan pada pilihan sulit. Adalah hal yang sangat konyol jika menjual semua hasil panen tanpa meninggalkan sedikit untuk konsumsi keluarga. Gimana tidak konyol? Masa petani padi tidak punya beras hanya untuk sekedar menghidupi diri sendiri dan keluarga? Dan jika tidak dijual keseluruhan, utang tidak akan lunas dan akan terus menjadi beban. Bukankah tauke juga akan berpikir ulang untuk memberikan pinjaman pada mereka yang masih memiliki utang padanya? Sementara hari-hari ke depannya petani yang masih memiliki anak yang sekolah pasti akan membutuhkan pinjaman uang untuk keperluan sekolah anak.
Saya masih ingat persis saat musim panen tiba, dari 8 rantai sawah, mamak akan berhasil mendapatkan 50-55 karung padi ukuran 50 kg. Dan itu adalah hasil paling maksimal dari 8 rantai sawah tersebut. Berbeda dengan musim menuai kali ini, 'Nga godang i Inang molo boi dapot ni Oma 30 goni'(Paling banyak Mamak hanya bisa dapat 30 karung) Ujarnya dengan sangat lesu. 20 karung berkurang setara dengan 1 ton padi yang jika dijual akan menghasilkan Rp 4.1 jt. Angka yang sangat banyak untuk ukuran tinggal di desa.Â
Tak cukup hanya tikus yang menjadi permasalahan, padi yang biasanya dihargai sebesar Rp 4.400- 4.500 per kg nya, kini mendadak turun menjadi Rp 4.100-4.200 per kg nya. Pertanyaan yang tak kunjung usai 'Mengapa selalu tiba-tiba turun saat panen tiba?'
Karena hasil melimpahkah?
Betapa beruntungnya kalian berhadapan dengan orang-orang kecil yang tidak akan berani menahan padinya karena kebutuhan yang mendesak. Jika itu terjadi, apa masih akan muncul kalimat 'hasil terlalu melimpah?'
Selamat menuai di tanggal 21 Oktober 2017, Mak. Semoga hari berpihak pada kita. Selamat menuai petani kusayang. Â Setidaknya perjuangan hidup kalian mengajarkan apa itu makna bersyukur.
Selamat hari Pangan Sedunia.
Halimun
Rabu, 18 Okt 2017
Efa Butar butar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H