Dengan durasi yang sama, 10 menit presentasi dan 40 menit sesi tanya jawab peserta ketiga memasuki ruangan sidang dan siap untuk menyampaikan materinya.
Melahirkan total 4 tulisan selama magang, lagi-lagi saya tergelitik dengan satu judul yang ternyata menyimpan banyak sekali kisah perjuangan pegawai PLN. Judul tersebut adalah “Demi Nias Benderang, Operator PLN Rela Tidur Di Masjid”. Dalam tulisan tersebut menjelaskan sebanyak 95 orang petugas PLN dari wilayah seluruh Sumatera datang ke Nias dengan sebutan relawan hingga tidur di masjid kantor karena tidak tertampung lagi di hotel dan penginapan.
Berdasarkan pengetahuan yang saya dapatkan di Kompasiana, dari Mas Isjet di salah satu acara Nangkring Kompasiana yang saya ikuti, Judul tulisan adalah pintu gerbang yang menjadi penentu apakah pembaca tertarik untuk masuk ke dalamnya atau tidak. Menempatkan diri sebagai pembaca, judul ini membuat saya penasaran hingga memunculkan satu pertanyaan.
Membaca judul ini, sebagai pembaca yang belum mengetahui informasi teraktual, hal pertama yang terbersit adalah “Terus, kalau harus tidur di masjid kenapa? Bukankah itu tanggungjawab mereka?” Bagi saya sendiri, kasarnya judul ini sebagai salah satu cara PLN untuk mencari perhatian masyarakat dengan menjelaskan pengorbanan yang mereka lakukan.
Usut punya usut, tulisan ini menjelaskan mengenai integritas pegawai PLN terhadap masyarakat. Bahkan kisah perjuangan para relawan yang sebenarnya di dalam tulisan ini pun tidak begitu diulas, hal yang paling penting untuk di up adalah bagaimana caranya agar gelap bisa terusir dan masyarakat bisa menikmati kembali cahaya.
Ketika saya sendiri masih sibuk mencari pilihan judul yang mungkin lebih tepat untuk menggantikan judul tersebut (setidaknya menurut saya) sembari mendengarkan penjelasan Beliau, kesibukan benak saya sirna saat itu juga setelah mendengarkan kisah yang sebenarnya. Tidak pelak kisah yang disampaikan oleh Beliau mendapatkan sambutan tepuk tangan yang meriah dari Kompasianer dan juri di ruang Teuku Umar.
Setelah dipaparkan panjang lebar, saya sendiri setuju dengan pemilihan judul tersebut. Sudah selayaknya masyarakat mengetahui bagaimana perjuangan PLN untuk melayani. Dengan demikian masyarakat tidak begitu enteng untuk mengeluarkan komentar pedas saat listrik padam.
Integritas yang dikisahkan juga mendapat apresiasi dari Bapak Made. Menurut Beliau kualitas PLN saat ini sudah lebih baik dari sebeluimnya, sehingga bisa sedikit “tebar pesona” namun tetap menjaga integritas tersebut.
Saat ditanya pertanyaan yang sama oleh Mas Isjet mengenai menghilangkan slogan yang beredar di masyarakat, beliau memiliki jawaban yang sama dengan Bapak Bayu, yaitu memberi tahu publik tentang fakta teraktual di lapangan dan tidak berhenti untuk melayani. Konsep menulis selama ini yang menurutnya seperti kebakaran jenggot berubah drastis dengan ilmu yang diterima Beliau selama magang.
Walau mendapatkan apresiasi mengenai tulisan Beliau yang sudah tayang di Kompasiana dari Juri Kompasiana, Bapak Mustaf juga mendapatkan masukan membangun mengenai penulisan opini dari orang yang sama. Hal ini juga berlaku dan dapat diterapkan oleh Kompasianer yang sedang belajar menulis opini termasuk saya sendiri. Hindari memaparkan apa yang tengah terjadi di lapangan, siasati dengan menjelaskan rencana dan progress ke depan.