Petang semakin memeluk Jakarta, perlahan memaksa mundur cahaya matahari menjauh, hilang entah ke sisi dunia mana. Yang pasti petang merebut kuasanya. Mulai menawarkan keindahan jingga, goresan artistik seni langit yang tidak dilukis tangan namun menjadi keluarbiasaan yang harus diakui tiada bandingnya. Berpadu dengan sebongkah cahaya pelangi di sudut Timur. Pencipta sungguh luar biasa bukan? Dia berbeda dengan petang, menggodamu dengan keindahan yang melelapkan kemudian menarikmu jauh dalam kegelapan hingga akhirnya matahari kembali berkuasa dengan hempasan cahaya hangatnya.
Sepanjang perjalanan yang baru saja dijejaki mobil ini, mata gue tak berhenti terpesona. Kepala gue memutar ke seluruh arah yang bisa dijangkaunya. "Coolllll!" Gue bergumam lembut.
"Kenapa senyum-senyum? Segitu menariknya kah Jakarta buat, Lo?" Zaki tersenyum mengatupkan kedua bibirnya dan keduanya sedikit terangkat ke sisi kanan wajahnya dan gue menangkap bagaimana cara bibir itu tersenyum. Dia melihat gue. Mungkin antara bingung dan heran kenapa petangnya harus dihadapkan dengan wanita sekatrok gue. Hahahaha, seriously i really don't care with that!.
Gue meninggalkan sesaat pesona langit malam Jakarta, melihat balik lawan bicara gue. "Senyum Lo manis, Zak!" Lagi-lagi gue harus akui betapa bencinya gue dengan ketidak sinkronan isi otak, hati, dengan mulut yang kadang engga bisa atur waktu. Ketika otak memikirkan sesuatu, disetujui oleh hati, mulut ini tidak bersedia diam sebelum kesepakatan antara otak dan hati keluar melaluinya. Beberapa teman gue membenci gue karena itu, beberapa dari mereka malah lebih menyukai gue karena hal tersebut. Gue tidak mau begitu ambil pusing, masing-masing orang memiliki metode penyampaian yang berbeda tentang pemikiran mereka bukan? Begitupun gue.
"Hahahahha... Apaan sih?"
"Hahahaha. Yaelah lo malu?" Ini bagian yang kurang gue suka ketika memuji seseorang. "Buat gueee, Jakarta itu lebih dari menarik. It's awesome!" Bibir gue kembali tersenyum lebar.
"Oh ya? Kenapa?"
"Bagi beberapa orang yang sejak awal sudah jadi penghuni Jakarta, kota ini mungkin sudah biasa. Bahkan tidak lagi begitu tertarik untuk tetap tinggal di sini."
"Itu kan persepsi, Lo doang."
"Iya. Itu persepsi Gue, Zak. Lo lihat setiap akhir pekan jalanan macet ke arah mana? Puncak lah, Bandung lah, kemana lah! Jakarta? Walau tidak begitu lengang, setidaknya jalanannya tidak sepadat biasanya. Bahkan jalanan Jakarta sekosong kampung gue ketika akhir tahun kemarinkan?"
"Sok tau, Lo."
"Hahaha. Tv pea. Berita. Gue penikmat itu semua. Specially when they talk about this wonderful city!" Gue memalingkan wajah dari Zaki, menatap sisi kiri jalanan Jakarta dan kembali menikmatinya keeleganan petang Jakarta yang semu. Kerlipan cahaya di setiap sudut jalanan, menyembunyikan wajah aslinya. Hingga siang datang dan memporakporandakan topeng indah itu.
"Ada jutaan orang di luar sana yang terobesi dengan Jakarta, Zak. Menjadi penyemangat belajar hanya untuk bisa menjejakkan kaki di Jakarta, iming-iming orang tua kalangan menengah ke atas buat anak-anaknya. Mereka yang bisa jadi juara kelas akan liburan di Jakarta, sebagian dari mereka terobsesi dengan kalangan artis dan ingin menjadi bagian dari artis-artis tersebut. Dan banyak hal gila lagi di luar sana yang membuat mereka sangat mencintai kota ini. Ketika bagi warga Jakarta kota ini biasa, bagi mereka tempat ini luar biasa. Penuh kehidupan. Tempat yang ketika mereka berada di atas buminya, mereka merasa akan hidup!Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI