Kabar baik datang dari Mendikdasmen Abdul Mu'ti: guru bersertifikasi tidak perlu lagi berebut jam mengajar demi tunjangan! Kebijakan ini tentu menjadi angin segar bagi para pendidik yang selama ini pusing tujuh keliling mencari tambahan jam agar tetap memenuhi syarat tunjangan sertifikasi.
Drama Rebutan Jam Mengajar
Selama bertahun-tahun, banyak guru sertifikasi mengalami tekanan besar untuk memenuhi beban mengajar minimal 24 jam per minggu. Akibatnya, berbagai strategi dilakukan, mulai dari berburu jam di sekolah lain, meminta tambahan kelas, hingga, tak jarang, terjadi konflik antar sesama guru.
Sistem ini jelas kurang sehat. Alih-alih fokus meningkatkan kualitas pembelajaran, banyak guru justru sibuk mengurus administrasi demi mempertahankan hak finansialnya. Dengan kebijakan baru ini, pemerintah tampaknya mulai menyadari bahwa yang lebih penting bukanlah jumlah jam mengajar, tetapi kualitasnya.
Apa yang Berubah?
Menurut kebijakan ini, tunjangan sertifikasi tidak lagi bergantung pada jumlah jam mengajar minimal. Artinya, guru bisa lebih fokus pada efektivitas pengajaran tanpa harus pusing mencari tambahan jam. Ini tentu menjadi langkah maju dalam reformasi pendidikan di Indonesia.
Namun, kebijakan ini juga menimbulkan pertanyaan: Jika beban minimal jam dihapuskan, bagaimana mekanisme baru untuk mengukur kelayakan guru dalam menerima tunjangan? Apakah akan ada sistem evaluasi berbasis kualitas pengajaran? Apakah kebijakan ini sudah memiliki landasan teknis yang kuat, atau hanya sekadar wacana yang nantinya akan berubah lagi?
Dampak bagi Guru dan Sekolah
Lebih Fokus pada Kualitas
Guru bisa lebih berkonsentrasi meningkatkan metode pengajaran tanpa beban administratif yang berlebihan.Mengurangi Konflik Internal
Tidak ada lagi persaingan antar guru dalam perebutan jam mengajar, yang sering kali membuat suasana kerja di sekolah jadi kurang harmonis.Perubahan Sistem Evaluasi
Kemungkinan besar, akan ada sistem baru untuk mengukur kinerja guru. Apakah itu berbasis asesmen kepala sekolah, evaluasi dari siswa, atau sistem lain? Ini perlu diperjelas agar kebijakan tidak sekadar menjadi jargon.Potensi Efek Domino
Apakah kebijakan ini akan diikuti dengan peningkatan pelatihan guru dan evaluasi berbasis kompetensi? Jika tidak ada langkah lanjut yang konkret, kebijakan ini bisa kehilangan esensinya.
Angin Segar atau PR Baru?
Kebijakan ini jelas memberikan harapan bagi guru untuk bisa mengajar dengan lebih tenang dan berkualitas. Namun, seperti kebijakan baru lainnya, eksekusi yang tepat akan menjadi kunci sukses atau gagalnya terobosan ini. Jika tidak dibarengi dengan sistem evaluasi dan pengawasan yang jelas, bisa jadi kebijakan ini justru membuka celah bagi penurunan standar kualitas pengajaran.
Yang jelas, langkah ini adalah awal yang baik. Tinggal bagaimana pemerintah merancang regulasi pendukung agar guru tetap termotivasi untuk terus meningkatkan kompetensinya. Jangan sampai kebijakan ini hanya jadi angin segar yang berlalu begitu saja tanpa dampak nyata di dunia pendidikan kita.
Nah, bagaimana menurut Anda? Apakah ini benar-benar solusi, atau justru menciptakan masalah baru? Yuk, kita diskusikan bersama!
Salam berdaya, berdampak dan bergerak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI