Kaget, sekaligus geleng-geleng kepala ketika pertama kali tiba di puncak Gunung Tembaga di Desa Iha Luhu, Seram Bagian Barat. Ada sekitar 2000 penambang batu cinnabar, bahan baku utama membuat mercury. Jarak antar lubang sekitar 50-100 meter. Kedalaman lubang beragam, ada yang 20 meter.Â
Ada yang mencapai 100 meter. Sebagian dari mereka adalah mantan penambang di Gunung Botak. Di atas gunung ini sudah seperti pemukiman baru. Lengkap dengan aliran listrik, bilik-bilik tempat tinggal, warung, dan gemuruh musik dangdut dan remix jika malam hari tiba. Minuman keras dan sebagainya tidak perlu lagi ditanya. Banyak dari mereka yang datang dari Pulau Sulawesi dan Pulau Jawa.
Untuk memastikan keamanan dan keselamatan saya dan tim, ada 6 orang prajurit TNI yang mengawal kami. Dipimpin seorang Mayor Infanteri yang sebelumnya adalah mantan Kasdim Masohi. Tentu, untuk bisa mendapatkan cerita yang baik dan narasumber yang mau berbicara terbuka, tanpa paksaan, saya meminta para prajurit ini menjauh dari lokasi kami bekerja.Â
"Cukup pantau dan awasi dari kejauhan. Saya akan berusaha membangun hubungan yang baik dan penuh rasa kepercayaan dengan seluruh narasumber" kata saya kepada perwira tersebut. Pendekatan juga saya lakukan kepada seorang perempuan asal Surabaya yang menjadi penampung besar logam berat ini.
Diluar dugaan, semua informasi di lapangan kami peroleh. Siapa nama-nama pembeli di Sentul, Sukabumi, Tangerang hingga beberapa tempat di Jawa Timur. Sekali kirim jumlahnya tidak tanggung-tanggung, mencapai belasan ton. Saat itu harganya Rp 120 ribu per kilogram. Semua harus dibayar dimuka, baru barang dikirim. Bisa dihitung berapa miliar uangnya dalam satu bulan.
Saya dan videographer dipersilahkan masuk ke dalam lubang jika ingin tahu bagaimana metode mengumpulkan batu cinnabar. Lubang dengan kedalaman 20 meter ini saya masuki, ketika saya tanyakan apakah videographer saya berani masuk. Diameter lubang hanya bisa untuk jongkok dan merangkak.Â
Kami menelusuri lubang tersebut dengan cara merangkak sejauh kurang lebih 10 meter. Panasnya luar biasa. Kamera Sony FS5 dan Canon 5D Mark III yang kami bawa berembun. Akhirnya saya terpaksa naik lagi ke atas untuk ambil kamera gopro dan handphone. Dengan dua perangkat inilah kami bisa mengambil rekaman video dan beberapa foto di dalam perut bumi tersebut.
Kami menginap di Gunung Tembaga ini selama tiga hari dua malam. Tidur bersama para penambang dan penadah. Di situasi seperti inilah, kadang kita harus tidur "satu selimut" dengan musuh. Menyampaikan secara terbuka, bahwa mereka punya penghidupan, kita pun demikian. Harus mampu bernegosiasi bahwa kehidupan seluruh mahluk hidup di muka bumi ini akan terancam jika mereka tetap memaksakan cara penghidupan mereka.
"Cukup pantau dan awasi dari kejauhan. Saya akan berusaha membangun hubungan yang baik dan penuh rasa kepercayaan dengan seluruh narasumber"
Hasil dari perjalanan di Gunung Tembaga inilah saya berikan kepada seorang jurnalis senior Harian Kompas. Berharap Harian Kompas mau mengangkat isu ini. Jika tidak dicegah, Indonesia akan darurat mercury dalam beberapa tahun ke depan. Usulan saya ternyata disetujui dalam rapat redaksi Harian Kompas. Tidak lama setelah itu, Harian Kompas menjadikan headline selama satu minggu lebih tentang ancaman mercury bagi masyarakat Indonesia. Seluruh jurnalis Harian Kompas diminta melakukan liputan tentang ancaman mercury di tempat mereka bertugas.
Ketika berada di Ambon-lah saya menyampaikan strategi untuk advokasi tentang mercury kepada Doni monardo agar bisa menjadi isu nasional. Jika memang ingin aktivitas ilegal ini dihentikan.Â
Saya menjelaskan bagaimana sebenarnya regulasi tentang peredaran mercury. Juga telah ditutupnya kran impor mercury oleh pemerintah sejak tahun 2014 lalu melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pengadaan, Distribusi, dan Pengawasan Bahan Berbahaya. Hanya saja, ternyata para pemain ini menemukan bahan baku mercury sekaligus cara membuatnya. Sialnya bahan bakunya sangat banyak alias satu gunung yang ada di Pulau Seram.
Pada Konvensi Minamata, Pemerintah Indonesia ikut meratifikasi konvensi tersebut. Konsekuensinya jelas, pemerintah harus menerjemahkan persetujuannya ke dalam bentuk undang-undang.
Draft akademis Undang-Undang Minamata ini telah lama dibuat oleh beberapa pakar. Namun prosesnya untuk disahkan menjadi undang-undang seperti jalan di tempat. Saat itu Saya telah mencoba meminta kepada salah satu pejabat eselon I di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) draft akademis tersebut. Tapi sepertinya ada kekhawatiran yang amat besar jika dokumen itu ia berikan kepada saya.
Tidak ada pilihan lain, saya harus bisa mengumpulkan bukti-bukti dari lapangan. Pelajari semua dokumen, artikel dan hasil-hasil penelitian tentang mercury. Merasa tak cukup, saya pun hubungi beberapa pakar dan juga pemerhati yang sudah sangat lama meneliti tentang mercury yaitu BaliFokus dan Medicuss Group. Hubungan saya dengan mereka saat itu sangat intens untuk mendapatkan semua data-data pendukung.
Hasil dari lapangan kami olah. Harian Kompas menulis secara berseri tentang ancaman mercury  di berbagai daerah. Tommy membuat liputan mendalam tentang aktivitas penambangan di Gunung Tembaga dan jalur-jalur perdagangan cinnabar dari Maluku yang dipublikasikan di Mongabay Indonesia. Tugas saya, membangun konsep video pendek hasil perjalanan di Maluku. Video yang menampilkan fakta-fakta yang tidak terbantahkan atas aktivitas ilegal ini.
Saya titipkan video pendek yang kami buat kepada tim BaliFokus yang ikut Konvensi Minamata di Jenewa pada bulan September 2017. Agar peserta dari berbagai negara yang hadir bisa melihat bahwa Indonesia bukannya berhenti membeli mercury ketika kran impornya ditutup, melainkan sekarang melakukan ekspor mercury. Video ini juga ditayangkan di hadapan Menteri LHK Siti Nurbaya bersama dengan pejabat eselon I KLHK, tim dari Mabes TNI, Mabes Polri, Kemenkomar, KKP, dll.
Saat itu, isu mercury menjadi isu nasional dan menjadi sorotan publik. Mayjen TNI Doni Monardo selaku Pangdam XVI/Pattimura dipanggil anggota DPR RI pada saat dengar pendapat tentang mercury. Ketika mantan Danjen Kopassus ini dipanggil ia menelpon saya "Een, saya dipanggil DPR RI. Saya bukan pakar mercury, bicara apa saya?" katanya. Dengan singkat saya menjawab " Abang harus bantu meyakinkan DPR RI, segera sahkan RUU Minamata". Tentu dengan posisinya sebagai pejabat, ketika sidang dengar pendapat ia tidak bisa menggunakan gaya dan bahasa aktivis untuk mendorong DPR RI melakukan keinginan kita.
Dalam sidang tersebut, ia juga menyampaikan ancaman keamanan atas berbagai aktivitas tambang ilegal seperti yang terjadi di Gunung Botak. Maraknya konflik dan perkelahian antar penambang yang berujung pada kematian. Ratusan orang tewas di Gunung Botak akibat pembunuhan ataupun terkubur karena longsor. Namun, ini tidak pernah terpublikasikan.
Tidak hanya itu, dalam kunjungan Presiden Joko Widodo ke Maluku ia juga menyampaikan tentang aktivitas tambang cinnabar ini. Menceritakan bagaimana dampak dari tambang emas ilegal di Gunung Botak yang penggunaan mercury-nya sangat masif. Ketika kembali dari kunjungan kerja di Ambon, Presiden melakukan rapat terbatas (ratas) tingkat menteri khusus membahas kasus mercury.
Tidak lama setelah itu, RUU Konvensi Minamata disahkan oleh pemerintah. Kami semua senang dan bahagia. Advokasi semua pemerhati lingkungan tercapai. Rasa kagum saya pada sosok Doni Monardo kembali muncul. Ada seorang Panglima Kodam ikut kampanye dan advokasi lingkungan. Seorang perwira tinggi bintang dua yang juga mantan Komandan Paspampres dan Danjen Kopassus ikut berjuang agar DPR RI dan Presiden RI mengesahkan UU Minamata. (Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H