Mohon tunggu...
Een Irawan Putra
Een Irawan Putra Mohon Tunggu... Editor - "Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam" (Al-Anbiya' 107)

Bersuaralah untuk kelestarian alam dan keselamatan lingkungan. Cintai sungai dan air bersih. Indonesia butuh perhatian dan aksi nyata!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sosok Doni Monardo (1): Bertemu di Ambon

24 Juli 2021   13:00 Diperbarui: 24 Juli 2021   13:16 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak yang bertanya, bagaimana awal mulanya saya mengenal sosok Letjen TNI (Purn.) Dr. (H.C) Doni Monardo. Melalui beberapa cerita berseri ini akan saya coba tuliskan bagaimana saya mengenal sosoknya dan apa saja yang kami kerjakan bersama setelah pertemuan pertama tersebut. Tentunya kegiatan yang kami lakukan adalah yang berhubungan dengan lingkungan. 

Latar belakang kami sungguh jauh berbeda, namun siapa sangka sosok berlatar belakang militer dan dari Pasukan Khusus (Kopassus) ini jauh lebih hafal jenis dan karakter pohon-pohon yang ada di Indonesia. Tentang pohon dan nama-nama pohon akan selalu diucapkan setiap harinya. Apalagi jika bertemu dengan pejabat negara, wartawan, pelaku usaha, akademisi, mahasiswa, dan para aktivis.

Foto di atas yang diambil pada pertengahan tahun 2017 inilah awal mulanya. Saat itu ia menjabat Pangdam XVI/Pattimura. Saya sedang berada di Ambon membantu perjuangan masyarakat Aru dalam gerakan #SaveAru dengan membuat nobar film dokumenter  tentang Aru di Universitas Pattimura. Ketika di Ambon, salah satu guru besar di IPB University menghubungi saya dan menyampaikan "Kau harus ketemu Doni Monardo. Dia sosok yang peduli lingkungan. Pasti kalian akan nyambung dan gerakan untuk peduli lingkungan akan semakin besar. Aku telpon sekarang agar kau bisa ketemu" katanya dalam bahasa Palembang.

Tentu saya harus menyiapkan mental untuk berjumpa dengan seorang perwira tinggi TNI. Apalagi seorang Panglima. Saya menjelaskan apa yang saya kerjakan selama 12 tahun terakhir dan kenapa saya memilih jalur ini. Melakukan investigasi, riset, advokasi dan membuat video-video dokumenter untuk membangun kesadaran dan kepedulian publik, pelaku usaha dan pejabat. 

Jika ini tidak dilakukan, berbagai kerusakan alam dan bencana akan melanda bangsa Indonesia. Saya yang asli dari Suku Rejang di sebuah kampung di Bengkulu Utara dan dibesarkan di kebun pastinya sangat sensitif jika melihat sebuah kerusakan alam. 

Apalagi setelah masuk kuliah dan ambil Kehutanan di IPB University, membuat saya lebih paham tentang arti sebuah kawasan hutan dan kelestarian ekosistem. Makin sensitif terhadap isu kerusakan alam ketika masuk ke sebuah organisasi Pecinta Alam Lawalata IPB.

Diluar dugaan, setelah saya menyampaikan itu semua. Dengan tegas ia menyatakan "Saya mendukung apa yang kamu lakukan. Hutan dan alam kita harus kita selamatkan. SDM dan penguasaan teknologi kita masih rendah. 

Satu-satu yang bisa kita andalkan di negara ini adalah kekayaan alamnya". Tidak hanya itu, ia pun meminta saya membongkar jaringan perdagangan mercury di Maluku. Mulai dari Gunung Tembaga, Seram Bagian Barat hingga ke Sukabumi, Jawa Barat. Apa modusnya dan bagaimana dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat. Jika tidak dicegah, ini akan menjadi bom waktu bagi bangsa Indonesia.

Saya sampaikan, saya tahu kasus ini. Tapi ini mafia, jaringannya sangat kuat. Bagaimana safety dan security-nya? Salah satu jurnalis yang melakukan liputan tentang Gunung Botak saja harus dievakuasi ke Kodam lalu ke Makassar. "Saya di belakang kamu dan satu Kodam ini di belakang kamu" tegasnya. Saya terperanjat. Kok bisa ada perwira tinggi TNI yang punya pemikiran seperti ini.

"Saya di belakang kamu dan satu Kodam ini di belakang kamu"

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Sekitar satu bulan setelah pertemuan pertama, saya kembali ke Ambon. Saya tidak sendiri. Mengajak satu orang videographer Rekam Nusantara Foundation dan satu jurnalis dari Mongabay Indonesia yaitu alm. Tommy Apriando (mantan Ketua AJI Yogyakarta). Saya mengajaknya karena saat itu ia baru selesai membuat liputan investigasi yang luar biasa tentang anak-anak yang menjadi korban lubang-lubang tambang eks batu bara di Kaltim. Berkolaborasi dengan Majalah Tempo.

Tentunya sebelum kembali ke Ambon, saya minta bantuan Tommy untuk mengecek siapa sosok Doni Monardo. Melalui jaringan AJI maupun Kontras. Bagaimana rekam jejaknya dan apa motifnya mengundang saya untuk membongkar jaringan perdagangan mercury ini. 

Jangan sampai saya nanti "terhimpit di tengah-tengah". Tommy menyampaikan bahwa namanya bersih dan tidak ada catatan. Tidak ada indikasi terlibat dalam jaringan/pemain yang merusak alam Indonesia (kegiatan ilegal) ataupun berkonflik dengan masyarakat adat. Saya makin kagum, ternyata saya berjumpa dengan perwira tinggi yang "lurus" dan tidak ikut-ikutan merusak alam. Niatnya sama, demi merah putih!

Untuk menguatkan hasil penelusuran, setiba di Pulau Saparua, kami bicara dari hati ke hati. Kebetulan salah satu jurnalis senior Republika yang banyak menulis tentang militer juga ikut bergabung. Di sana, setelah Jumatan kami bicara terbuka, tanpa sekat dan tentunya banyak off the record. Saking asyiknya berdiskusi, kopiahnya pun masih menempel di kepala. 

Kami habiskan waktu lebih dari tiga jam untuk bertukar pikiran sekaligus membangun rencana liputan mendalam tentang mercury ini. Saya dan Tommy menunjukkan beberapa foto orang-orang yang diduga terlibat. Ia hanya tersenyum lalu berkata "Silahkan diungkap dan dibuktikan, nama saya tidak perlu disebut. Saya cukup di belakang layar saja".

"Silahkan diungkap dan dibuktikan, nama saya tidak perlu disebut. Saya cukup di belakang layar saja"

Tiga hari dua malam di Saparua. Sambil mengikuti kegiatan Kodam XVI/Pattimura kami banyak mendapatkan informasi awal dari para asisten, mulai dari asisten intelejen, asisten operasi, hingga Danrem. Para perwira berpangkat Kolonel ini telah diperintahkan untuk memberikan semua data dan kebutuhan kami selama liputan di Maluku. 

Mulai dari Kota Ambon, Seram Bagian Barat hingga ke Gunung Botak, Pulau Buru. Termasuk juga hilangnya barang bukti belasan ton cinnabar yang ditangkap oleh anggota Kodam XVI/Pattimura.

Kami habiskan waktu satu bulan di Maluku untuk mengungkap semua jaringan ini. Karena tidak ada yang membiayai (sponsor) alias biaya sendiri, saya mohon izin menginap di mess Kodam ketika sedang berada di Kota Ambon. Menginap di kantor Koramil atau Kodim jika sedang di daerah. Lalu menggunakan kendaraan dinas Kodam selama perjalanan di lapangan. (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun