Hasil dari pertemuan dengan para pendiri Mapala UI itulah Lawalata IPB akhirnya mencari format seperti apa organisasi pecinta alam di IPB ingin didirikan. Mapala UI dan Wanadri menjadi pedoman Bowo dan kawan-kawan mereka saat itu. Mapala UI telah melakukan ekpedisi yang pertama kali ke Pegunungan Jayawijaya tahun 70-an awal. Tentunya dengan kesulitan yang tinggi karena Freeport baru hadir dan belum menambang. Generasi selanjutnya ada Norman Edwin yang banyak melakukan ekspedisi dan wafat di Gunung Aconcagua, Argentina pada April tahun 1992.
Wanadri juga terlihat lebih terampil, tangkas dan professional sebagai penjelajah rimba dan pendaki gunung. Keanggotaannya lebih inklusif, terbuka untuk pemuda yang berasal dari berbagai kampus. Beberapa mahasiswa ITB, Unpad, Unpas, ITT dan sebagainya menjadi anggota Wanadri. Wanadri juga banyak dilatih di Batu Jajar oleh RPKAD (saat ini menjadi Kopassus).
Dengan melihat IPB adalah gudangnya ilmu pengetahuan alam, maka Lawalata IPB didirikan berbeda dengan Mapala UI dan Wanadri. Pencarian identitas dilakukan melalui berbagai diskusi karena bagi mereka saat itu Lawalata IPB harus memiliki ciri khas dan keunikan. Aunur Rofiq Hadi bahkan sampai menemui Ketua Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) saat itu Prof.Dr.Ir.H. TB. Bachtiar Rifai untuk meminta masukan seperti apa organisasi pecinta alam ke depan.Â
"Saran beliau saat itu adalah Lawalata IPB menekankan pada pelestarian lingkungan karena di masa depan kita akan menghadapi krisis air, baik kualitas maupun kuantitasnya. Saat itu istilah lingkungan hidup belum ada", kata Rofiq yang menyandang nomor keanggotaan L-005 di Lawalata IPB.
Mendengar masukan dan saran dari Prof. Bachtiar Rifai, para generasi muda yang akan mendirikan Lawalata IPB makin bingung. Karena organisasi mahasiswa pecinta alam utamanya adalah naik gunung. Apakah mau mahasiswa IPB masuk Lawalata IPB jika nanti arahnya adalah pelestarian alam? Namun, akhirnya para pendiri Lawalata IPB itu setuju untuk mendirikan dan mengembangkan Lawalata IPB yang mengarah kepada mencipatakan kader-kader yang peduli terhadap kelestarian alam tanpa meninggalkan gaya naik gunung.
Sejak saat itulah proses perekrutan anggota Lawalata IPB terus ditekankan bahwa anggotanya harus peduli terhadap kelestarian lingkungan dan alam. Melakukan studi dan kajian-kajian mulai dari yang sederhana hingga yang serius dan mendalam terhadap kerusakan-kerusakan lingkungan. Bahkan tak jarang melakukan investigasi atas kejahatan-kejahatan merusak alam seperti illegal loging, tambang illegal, perambahan kawasan hutan, destructive fishing dan perampasan wilayah masyarakat adat.
Awal tahun 90-an munculah para aktivis lingkungan dan gerakan peduli lingkungan jebolan Lawalata IPB. Mereka mendirikan berbagai organisasi-organisasi non pemerintah yang memiliki perhatian utama terhadap isu lingkungan hidup. Karena IPB berada di Bogor, maka pusatnya organisasi yang memiliki perhatian terhadap lingkungan juga berada di Bogor.Â
Organisasi yang didirikan oleh para anggota Lawalata IPB ketika keluar dari kampus IPB antara lain Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN), Rimbawan Muda Indonesia (RMI), Perkumpulan Telapak, Greenpeace Indonesia, Forest Watch Indonesia (FWI), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rekam Nusantara Foundation dan banyak lagi. Saat itu mereka juga berpartisipasi aktif membesarkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan Yayasan Indonesia Hijau (YIH).
Gebrakan para alumni anggota Lawalata IPB bisa dibuktikan dengan berbagai pengharagaan yang mereka terima. Sebut saja Alm. Emmy Hafild mendapat penghargaan sebagai Heroes of The Planet Majalah Time (1999), Ambrosius Ruwindrijarto mendapat penghargaan Ramon Magsaysay untuk kategori Emergent Leadership (2012), Een Irawan Putra mendapat penghargaan Silent Heroes 100 Persen Indonesia dari Greenpeace Indonesia (2014) dan Abdon Nababan penghargaan Ramon Magsaysay untuk kategori Community Leadership (2017). Organisasi non pemerintah yang didirikan juga banyak membantu dan mendorong pemerintah khususnya di KLHK dalam membuat kebijakan-kebijakan yang memperhatikan kelestarian alam Indonesia.
Alumni Lawalata IPB tidak hanya berkecimpung di dunia aktivis. Banyak juga dari mereka saat ini sudah menjadi guru besar di berbagai kampus ternama dan professor riset di LIPI. Mereka diantaranya adalah Prof.Dr.Ir. Vincentius P Siregar, DEA, Prof.Dr.Ir.Iman Rahayu Hidayati Soesanto, Â Prof.Dr.Ir.Wasrin Syafii, M.Agr, Prof.Dr.Ir.Sutrisno Suro Mardjan, M.Agr, Prof.Ir. Tian Belawati,M.Ed, Ph.D, Prof.Dr.Ir.Dwi Listyo Rahayu, Prof.Dr.Ir.Sam Wouthuzen dan lain sebagainya. Beberapa anggota Lawalata IPB lainnya sekarang juga menduduki berbagai jabatan strategis di beberapa kementerian dan lembaga negara. Â
Sepak terjang dan talenta yang dimiliki Rudy Badil, Kasino, Dono, Nanu dan alumni mahasiswa pecinta alam di Lawalata IPB serta pertemanan yang mereka bangun disaat mahasiswa perlu menjadi catatan generasi penerusnya. Di Mapala UI karena persahabatannya dan ingin terus berkarya bersama setelah keluar dari kampus, Dono dan Kasino konsisten dengan lelucon dan jiwa menghiburnya.Â