Sesama pecinta alam itu bersaudara. Dimana pun ia berada. Itulah doktrin yang mungkin diterima oleh para mahasiswa pecinta alam (Mapala) ketika ia kuliah di sebuah universitas dan masuk organisasi tersebut. Sama seperti yang saya terima ketika saya masuk Perkumpulan Mahasiswa Pecinta Alam Institut Pertanian Bogor (Lawalata IPB) pada tahun 2002.Â
Tak heran jika kita masih mahasiswa, tidak perlu bingung mau menginap dimana jika sedang melakukan sebuah perjalanan atau ekspedisi di sebuah kota yang jauh dari kampus. Cukup mencari sekretariat Mapala di universitas terdekat.
Kabar duka meninggalnya Rudy Badil tahun lalu (11/7/2019) tentunya membuat orang-orang yang mengenalnya berduka. Apalagi namanya melegenda di kalangan Mapala. Menjadi panutan para generasi muda yang mengikuti jejaknya sebagai seorang pecinta alam ketika ia masuk ke sebuah universitas.
Generasi saya tentulah sangat jauh jaraknya dengan Rudy Badil. Tahun 2005 saya baru memasuki dunia kerja, ia baru pensiun sebagai wartawan Harian Kompas. Tetapi ketika saya mahasiswa, saya masih mendapatkan cerita tentang sosok Rudy Badil ini dari para senior Lawalata IPB. Tentunya generasi yang sama yaitu tahun 70-an.
Ketika ramainya pemberitaan meninggalnya Rudy Badil, salah satu pendiri Lawalata IPB Soeryo Adiwibowo kembali menyampaikan kenangannya ketika Rudy Badil, Dono, Kasino, Nanu dan anak-anak Mapala UI diundang ke Kampus IPB Baranangsiang. Angggota Lawalata IPB yang memiliki nomor L-001 yang sering disapa Bowo dan sekarang menjadi penasehat senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ini menyampaikan kisahnya bagaimana persahabatannya sesama pecinta alam yang telah mereka bangun.Â
"Tahun 1975 Badil dan teman-teman Mapala UI kami undang ke Kampus IPB Baranangsiang. Karena saya yang tahu lokasi asrama UI Pegangsaan, maka saya dan Soesetyo yang jemput mereka dengan bus IPB. Sepanjang perjalanan di dalam bus, Kasino, Dono, Nanu dan Badil selalu ngebodor. Kasino membawa ukulele dan buku tebal yang isinya lelucon-lelucon" katanya di sebuah grup percakapan sesama anggota Lawalata IPB.
Waktu itu Warkop belum terbentuk. Bowo yang baru mau mendirikan Lawalata IPB berkumpul dengan teman-teman Mapala UI di Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) kampus Baranangsiang yang sekarang sudah menjadi kantor pos.
Perbedaan umur dan pengalaman diantara anggota muda Lawalata IPB dan Mapala UI cukup jauh. Â Soeryo Adiwibowo, Soesetyo, Slamet Riyadi, Suwarno, Aunur Rofiq Hadi, Eddie Ruslan G, Wiwi Sulikanti Agusni dan teman-teman lainnya rata-rata masih di usia 20 tahun. Sementara mereka anggota Mapala UI yang datang sudah diatas 24 tahun. Perbedaan usia dan pengalaman diantara mereka tentunya jauh berbeda. Lawalata IPB baru mau didirikan, Mapala UI sudah sampai ke Puncak Jayawijaya.
"Waktu itu UI masih dengan sistem pendidikan 6 tahun. Jadi kami banyak yang terkagum-kagum sama mereka. Walaupun usia kami jauh berbeda, mereka ngga sombong. Rudy Badil orangnya ramah, baik dan hangat. Mereka tidak menunjukkan mereka jagoan naik gunung. Mereka malah sering guyon. Kita yang sudah tidak sabar ingin diskusi, mereka malah santai saja. Sepanjang malam di PKM lebih banyak diisi dengan nyanyi dan guyonan tanpa skenario oleh Dono, Kasino dan Badil. Apalagi ketika dalam perjalanan ke Bogor, kaca depan bus IPB bagian kiri entah bagaimana copot. Kejadian itu menjadi bahan bagi mereka untuk ngeledek kami", kata Bowo.
Wiwi Sulikanti Agusni mengenang perjalanan bersama naik Gunung Gede Pangrango yang sepanjang perjalanan ketawa melihat ulahnya Dono dan Kasino. Bawa gitar sambil bernyanyi di lereng Gunung Gede sampai akhirnya gitarnya gelembung karena lembab dan tidak bisa lagi digunakan. "Itu perjalanan yang sangat menyenangkan, tapi jadi lupa belajar hahaha....", menimpali apa yang telah disampaikan Bowo.Â
Baginya, Lawalata IPB itu jika naik gunung sambil mengingat pelajaran dari dosen biologi dan botani tentang perubahan vegetasi sesuai dengan perubahan ketinggian di atas permukaan laut. Maklum anak-anak IPB mungkin terlalu serius jika kuliah dan sangat scientist.