Mohon tunggu...
eenho
eenho Mohon Tunggu... Penegak Hukum - ASN

Hobby membaca dan mendengarkan musik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penerapan Teori Hukum dalam Keadilan Restoratif di Kejaksaan RI

23 November 2024   16:50 Diperbarui: 23 November 2024   19:47 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PENERAPAN TEORI HUKUM DALAM PELAKSANAAN KEADILAN RESTORATIF DI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

Hukum, adalah instrumen yang berfungsi untuk menjamin kepastian, keadilan, dan kemanfaatan, memegang peran penting dalam struktur sebuah negara dan semestinya hukum dapat berlaku panjang dalam satu masa. Tapi faktanya hukum kerap tertinggal dalam menjawab kebutuhan hukum masyarakat di setiap zaman. Dinamika masyarakat kerap bergerak cepat ketimbang hukum yang tertulis. Perlu terobosan hukum agar dapat mengikuti perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat.

Berdasarkan Teori Hukum Progresif  dari Prof. Dr. Satjipto Rahardjo adalah gagasan yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan di masyarakat. Teori ini didasarkan pada pandangan bahwa hukum dibentuk untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.

Beberapa prinsip hukum progresif menurut Satjipto Rahardjo:

  • Hukum harus pro rakyat, pro keadilan, dengan bertujuan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan.
  • Hukum harus bersifat responsif dan mendukung pembentukan negara hukum yang memiliki hati nurani.
  • Hukum harus dijalankan dengan kecerdasan spiritual yang membebaskan.
  • Perilaku manusia harus diutamakan dalam berhukum, bukan peraturan yang tertulis.
  • Hukum harus diperuntukkan untuk manusia dan kemanusiaan.
  • Para pelaku atau aktor hukum harus berani menafsirkan teks hukum

Berkaitan dengan teori tersebut saat ini kinerja Kejaksaan dalam menanganani perkara hukum tak hanya secara legal formil, namun Kejaksaan juga melihat suatu perkara pidana secara utuh dan dalam penanganannya agar tidak menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Terkait hal tersebut upaya lain yang dilakukan Kejaksaan pada masa ini untuk menghadirkan keadilan yakni melalui Restorative Justice (RJ).

Dalam melaksanakan keadilan restoratif, para  pihak yang dilibatkan tidak hanya tersangka dan korban, namun juga tokoh masyarakat, tokoh adat, aparat penegak hukum lain seperti penyidik dan pengadilan dengan harapan keadilan restoratif yang dilakukan dapat diterima oleh masyarakat.

Kejaksaan memiliki mandat kuat dalam menjalankan keadilan restorative Dalam perspektif asas dominus litis sesuai  Pasal 139 KUHAP yang memberi kewenangan bagi penuntut umum menentukan apakah berkas perkara hasil penyidikan lengkap memenuhi syarat atau tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan.

Semangat keadilan restoratif bukan lagi pemenjaraan sebagai ganjaran bagi pelaku tindak pidana, tapi  juga pemulihan perkara pidana. Namun demikian, penerapan keadilan restoratif oleh Kejaksaan tak serta merta dengan mudah dapat dilakukan dalam penanganan perkara. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi berdasarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dengan berlandaskan asas keadilan restoratif yakni keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir, dan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Adapun 3 syarat perkara tindak pidana dapat dihentikan penuntutannya berdasarkan prinsip Keadilan Restoratif yaitu Pertama, tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana. Kedua, tindak pidana diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun. Ketiga, tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana tak lebih dari Rp. 2.500.000,- .

Restorative justice tidak berlaku untuk perkara yang sulit dikembalikan seperti keadaan semula seperti kasus kejahatan seksual atau perkara pembunuhan.

Dalam penerapan keadilan restoratif, Kejaksaan mempertimbangkan sejumlah hal seperti subjek, objek, kategori, dan ancaman tindak pidana, latar belakang terjadinya/dilakukannya tindak pidana. Selanjutnya tingkat ketercelaan, kerugian atau akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana tersebut. Kemudian cost and benefit penanganan perkara, pemulihan kembali pada keadaan semula, dan juga ada perdamaian antara korban dan tersangka.

Sejak diterbitkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sampai dengan tahun 2023, jumlah perkara yang berhasil diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif sebanyak 4.443 perkara dengan rincian:


- 2020: 192 perkara disetujui dan 44 ditolak
- 2021: 388 perkara disetujui dan 34 ditolak
- 2022: 1.456 perkara disetujui dan 65 ditolak
-  2023: 2.407 perkara disetujui dan 38 ditolak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun