Mohon tunggu...
Husni Setiawan
Husni Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Tutor Universitas Terbuka dan Karyawan Magang Perkumpulan Scale Up Riau

Pemikiran hanya bisa abadi dalam sebuah tulisan sederhana

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Konflik Sumber Daya Alam di Riau Butuh Obat

26 September 2019   15:51 Diperbarui: 26 September 2019   17:10 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

BPHP Wilayah III Ikut Mendorong Terbentuknya Unit Penenanganan  Konflik di Riau

Dedy Hidayana, S.Hut., M.Si (PEH Muda BPHP Wilayah III) menyatakan bahwa Riau sudah sangat mendesak untuk dibentuk unit penanganan konflik. Karena Riau merupakan Provinsi dengan rating konflik Sumaber Daya Alam (SDA) tertinggi saat ini. Sehingga, diperlukan pembentukan unit penanganan dengan segera.

Pernyataan tersebut disampaikan pada forum diskusi sharing session ke dua, tanggal 23 September 2019 yang dilaksanakan oleh Scale Up. Pernyataan tersebut merupakan respon dari permintaan direktur Scale Up untuk ikut mendorong pembentukan unit penanganan konflik yang sedang diinisiasi oleh Scale Up.

Sharing session ini merupakan kegiatan lanjutan dari sharing session pertama yang dilakukan Scale Up.

Pada diskusi sharing session pertama, Scale Up mengangkat tema peran pemerintah daerah dalam menyelesaikan konflik SDA dengan narasumber Prof. Afrizal (Sosiolog/pakar konflik Universitas Andalas, Padang).  Sharing session pertama dilaksanakan pada tanggal 28 Agustus 2019 di kantor Sacale Up.

Sharing session kedua ini dipandu langsung oleh direktur Scale Up, Dr. Rawa El Amady dengan narasumber Dedy Hidayana, S.Hut., M.Si (PEH Muda BPHP Wilayah III) yang dihadiri oleh peserta dari kalangan akademisi, NGO, perusahaan dan masyarakat.

Pada diskusi ini, BPHP menyatakan telah melibatkan pemerintah daerah (Sekretaris daerah, Kesbangpol, KPH dan pihak lain yang berkaitan) dalam proses penyelesian konflik. Target yang diharapkan dari pelibatan pemerintah daerah ini agar bisa menjadi model dalam proses penanganan konflik di tingkat daerah. Meskipun, proses pelaksanaannya masih dalam perundingan.

Pemaparan narasumber menyatakan bahwa hampir 100% unit pemegang izin lahan (perusahaan) di Riau berkonflik dengan masyarakat sekitar kawasan pengelolaan.

Kasus yang paling banyak terjadi adalah pemanfaatan lahan oleh masyarakat di atas lahan perusahaan, kemudian pemanfaatan lahan oleh masyarakat di area hutan lindung. Dua kasus ini paling banyak ditemukan di lapangan, ungkap PEH Mudah BPHP Wilayah III tersebut.

Di beberapa daerah, ditemukan masyarakat menanam pohon sawit di atas lahan perusahaan. Penanaman ini sering diiringi dengan alasan ketidaktahuan masyarakat terhadap status tanah yang sedang digarap tersebut.

Akibatnya, perusahaan dirugikan karena tidak bisa memanfaatkan lahan untuk kegiatan produksi.

Di sisi yang lain, ketidaktahuan masyarakat terkait status tanah yang sedang digarap disebabkan tidak ada pemberitahuan oleh perusahaan maupun pemerintah setempat (Pemerintah Desa) tentang luasan lahan milik perusahaan.

Kondisi dilematis ini menjadi fokus perhatian BPHP Wilayah III untuk merumuskan win-win solution. Salah satu langkah yang dikembangkan adalah dengan jalan non litigasi (diluar jalur pengadilan).

Strategi ini dianggap paling logis karna bisa mengakomodir kepentingan kedua belah pihak yang bersengketa, yaitu masyarakat dan perusahaan. Dedy Hidayana menambahkan bahwa BPHP Wilayah III sedang merumuskan regulasi terkait proses negosiasi antara masyarakat dengan perusahaan.

Namun upaya ini terkendala oleh legal standing BPHP yang belum memiliki kekuatan hukum sebagai pembuat kebijakan.

Menurut narasumber yang merupakan PNS Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ini, peraturan P.49 tentang Kerjasama Pemanfataan Hutan (KPH) dan P.83 tentang Perhutanan Sosial harus diakui belum mengatur langkah taktis negosiasi antara pihak yang berkonflik.

Oleh sebab itu BPHP Wilayah III mencoba menggabungkan beberapa poin dari peraturan P.49 dan P.83 untuk dijadikan dasar hukum dalam proses negosiasi.

Proses negosiasi menurut BPHP Wilayah III akan dapat dilakukan setelah adanya pengakuan terhadap status tanah yang sedang disengketakan.

Misalnya, jika masyarakat mengolah lahan di atas lahan perusahaan, maka masyarakat harus mengakui bahwa lahan tersebut bukan milik pribadi. Begitupun sebaliknya, jika perusahaan menggarap di atas lahan masyarakat maka perusahaan harus mengakuinya.

Setelah pengakuan ini selesai, barulah proses perundingan bisa dilakukan. Sejauh ini BPHP Wilayah III mengakui bahwa lembaganya belum mempunyai best practice kasus yang telah berhasil diselesaikan dengan cara negosiasi atau jalur perundingan. Sehingga sulit untuk menjelaskan langkah teknis penyelesian konflik melalui jalur non litigasi ini.

Terkait proses pengakuan kepemilikan lahan, salah seorang peserta dari perwakilan perusahaan menyampaikan kondisi lapangan yang sedang dalam proses penyelesaian konflik.

Menurutnya, masyarakat telah mengakui bahwa lahan yang digarap adalah milik perusahaan, namun masyarakat tetap menginginkan bisa memanfaatkan lahan tersebut sebagai sumber pendapatan ekonomi. Kondisi ini membuat proses penyelesaian konflik menjadi buntu.

Peserta diskusi lain yang juga perwakilan dari perusahaan menambahkan bahwa kebuntuan ini turut dipengaruhi oleh banyaknya tuntutan masyarakat kepada perusahaan sehingga sulit untuk dipenuhi.

Menurutnya setiap individu masyarakat memiliki kepentingan yang berbeda. Perbedaan kepentingan ini yang kemudian menghambat proses negosiasi/perundingan antara masyarakat dengan perusahaan.

Terkait permasalahan di atas, BPHP Wilayah III merekomendasikan konflik ini diselesaikan dengan jalur perundingan. Jika sudah ada pengakuan kepemilikan hak atas lahan maka akan lebih mudah melakukan negosiasi pembagian keuntungan antara masyarakat dengan pemegang izin pengelola lahan.

Pada kasus yang lain, ditemukan Surat Keterangan Tanah (SKT) yang diterbitkan oleh pemerintah desa berada dalam kawasan hutan lindung. Hal ini disinyalir akibat ketidaktahuan pemerintah desa tentang pemetaan kawasan hutan lindung di desanya sehingga terjadi tumpang tindih status tanah disatu desa.

Menanggapi permasalahan di atas, peserta dari perwakilan Forum Koordinasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) Riau berbagi solusi agar setiap desa memiliki peta status kawasan hutan di desa. Sehingga penerbitan SKT tidak tumpang tindih dengan status hutan lindung maupun lahan perusahaan.

Menurutnya diperlukan pelatihan kepada aparatur desa agar bisa melakukan pemetaan lahan sehingga tidak ditemukan kekeliruan penerbitan SKT dikemudian hari.

Seiring dengan pendapat tersebut, narasumber juga berpandangan bahwa diperlukan sosialisasi kepada masyarakat tentang status lahan di desa. Semua pihak, baik LSM, pemerintan darah, dan perusahaan harus bersinergi dalam proses penyelesaian konflik. 

Selain itu juga diperlukan unit atau lembaga khusus penanganan konflik SDA di tingkat daerah yang terdiri dari unsur pemerintah, aktivis lingkungan (LSM), akademisi dan masyarakat. Dengan sinergitas berbagai unsur akan mempermudah proses penyelesaian konflik di berbagai daerah di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun