Peserta diskusi lain yang juga perwakilan dari perusahaan menambahkan bahwa kebuntuan ini turut dipengaruhi oleh banyaknya tuntutan masyarakat kepada perusahaan sehingga sulit untuk dipenuhi.
Menurutnya setiap individu masyarakat memiliki kepentingan yang berbeda. Perbedaan kepentingan ini yang kemudian menghambat proses negosiasi/perundingan antara masyarakat dengan perusahaan.
Terkait permasalahan di atas, BPHP Wilayah III merekomendasikan konflik ini diselesaikan dengan jalur perundingan. Jika sudah ada pengakuan kepemilikan hak atas lahan maka akan lebih mudah melakukan negosiasi pembagian keuntungan antara masyarakat dengan pemegang izin pengelola lahan.
Pada kasus yang lain, ditemukan Surat Keterangan Tanah (SKT) yang diterbitkan oleh pemerintah desa berada dalam kawasan hutan lindung. Hal ini disinyalir akibat ketidaktahuan pemerintah desa tentang pemetaan kawasan hutan lindung di desanya sehingga terjadi tumpang tindih status tanah disatu desa.
Menanggapi permasalahan di atas, peserta dari perwakilan Forum Koordinasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) Riau berbagi solusi agar setiap desa memiliki peta status kawasan hutan di desa. Sehingga penerbitan SKT tidak tumpang tindih dengan status hutan lindung maupun lahan perusahaan.
Menurutnya diperlukan pelatihan kepada aparatur desa agar bisa melakukan pemetaan lahan sehingga tidak ditemukan kekeliruan penerbitan SKT dikemudian hari.
Seiring dengan pendapat tersebut, narasumber juga berpandangan bahwa diperlukan sosialisasi kepada masyarakat tentang status lahan di desa. Semua pihak, baik LSM, pemerintan darah, dan perusahaan harus bersinergi dalam proses penyelesaian konflik.Â
Selain itu juga diperlukan unit atau lembaga khusus penanganan konflik SDA di tingkat daerah yang terdiri dari unsur pemerintah, aktivis lingkungan (LSM), akademisi dan masyarakat. Dengan sinergitas berbagai unsur akan mempermudah proses penyelesaian konflik di berbagai daerah di Indonesia.