Melihat rumah dhuafa hampir roboh dibiarkan saja karena merasa tidak mampu untuk membantu. Melihat lansia kesusahan dibiarkan saja karena merasa bukan kewajiban kita membantu nenek kakek orang lain. Mendengar ada musibah rumah kebakaran cuek saja, toh nanti mungkin akan dibantu aparat desa atau pemda. Mendengar ada anak yatim putus sekolah biasa saja, tidak merasa terpanggil untuk bertanya kenapa. Mendengar tetangga kesulitan ekonomi biasa saja, kan masih ada saudaranya kenapa harus kita yang bantu. Mendengar ada masjid reyot tidak peduli, merasa tidak mampu jadi nunggu yang mampu saja untuk peduli. Diam saja lah, cari aman. Kalau terlalu vocal nanti repot, harus berkorban ini itu. Yang penting kebutuhan saya cukup dan tidak menyulitkan orang lain.
Tidak banyak yang berani menyuarakan karena berdalih keterbatasan, tidak banyak yang mau melirik, tidak banyak yang mau peduli. Takut terbebani. Khawatir menyulitkan diri. Kita sibuk dengan kebutuhan pribadi dan keluarga masing-masing. Kebutuhan dan masalah keluarga saja sudah sangat pelik, masih banyak kekurangan dan keinginan yang belum terpenuhi, bagaimana bisa mengurusi yang lainnya. Masing-masing saja lah. Memang ujian kita berbeda-beda, berusaha masing-masing saja untuk bisa bertahan. Kalau mengurusi yang lainnya, nanti harus ada yang dikorbankan. Repot. Beban hidup sendiri saja sudah berat. Keuangan keluarga saja masih morat marit, apalagi kalau harus dibagi. Nanti dianggap so pahlawan/jagoan, ga enak lah biar aparat saja yang bantu. Takut riya kalau banyak membantu.Â
Lintasan pikiran seperti itu mungkin pernah datang menghampiri saat kita mau berempati. Rasa khawatir diri akan kekurangan. Rasa khawatir diri akan kemampuan membagi. Sesulit itukah? Sepengecut itukan diri? Apakah benar-benar lupa dengan janji Allah SWT?
Mari bertanya pada diri sendiri. Berani kah menukar kenyamanan dengan kerepotan untuk membantu orang lain? Berani kah membagi sebagian titipan Allah dengan mereka yang sangat membutuhkan? Berani kah membagi waktu untuk mereka yang perlu pertolongan? Berani kah menjembatani dengan kemampuan yang Allah SWT beri untuk meringankan urusan orang lain? Beranikah untuk sekedar mendoakan? Beranikah menukar harta dan kesenangan dunia dengan janji balasan surga Allah?
Padahal bisa jadi kesulitan orang lain adalah bentuk kasih sayang sekaligus tantangan dariNya. Allah SWT ingin menurunkan pertolongan untuk hambaNya melalui kamu. Allah SWT lagi perhatian nih, kasih kamu tugas untuk menolong orang lain. Tugas mulia itu dikasih ke kamu, bukan ke orang lain loh. (Berani ga nih? Yakin ga kamunya?).
Analoginya. Jika dalam lingkungan kerajaan ini kita adalah budak raja, maka siapa yang diberi tugas oleh raja adalah orang yang terbaik menurut raja. Orang yang diberi tugas adalah orang dipercaya raja, orang yang diperhatikan raja, bukan orang sembarangan karena ga mungkin raja asal pilih orang diantara sekian banyak budak-budakNya di istana. Atau raja lagi menguji nih, siapa dintara sekian banyak budaknya yang paling berani mengerjakan tugas dariNya. Siapa nih budak terbaik-Ku. Bukankah harusnya kita senang jika dapat tugas itu? Bukankah harusnya kita senang jika diperhatikan raja? Apalagi bisa jadi budak terbaikNya, apalagi kalau kita memang yakin raja kita adalah raja yang sangat baik, penyayang, pengasih, dan sangat adil dalam segala hal. Harusnya sih jadi bahagia sekali kalau diperhatikan dan bisa memberikan yang terbaik untuk raja.
Siapakah Raja dimaksud, yang senantiasa kita ketuk-ketuk pintu-Nya di setiap kali shalat untuk meminta pertolongannya. Tentulah Dia adalah Allah, Rabb semesta alam. Â
Tapi memang beda cerita kalau kamu tidak merasa sebagai budak raja. Kalau kamu merasa kamulah pemilik dirimu dan semua yang ada padamu, tidak perlu pemberian apapun dari Raja, tidak perlu pertolongan Raja, tentu semua jadi suka-suka kamu.
Sadarkah kita bahwa kita ini adalah hamba Allah? Bahwa kita ini adalah budak, seorang abdun. Kita sangat butuh kepada nikmat-nikmat Allah. Beranikah kita berkata: "saya tidak butuh kepada nikmat Allah". Kita butuh air setiap harinya. Kita pun butuh makanan setiap hari. Bayangkan apa jadinya jika kita tidak bisa menghirup udara? Bayangkan jika Allah jadikan air kering kerontang tak ada yang bisa diminum. Bayangkan apa jadinya bila Allah tahan air hujan. Kita ini lemah. Â Â Â Â Â Â Â Â
Jika saja keyakinan itu benar-benar ada, jika saja kita memang benar yakin dengan adanya Allah dan semua janjiNya yang pasti benar, kita pasti melakukan yang terbaik yang kita bisa, sekuat tenaga. Kalau tidak bisa bantu dengan harta bisa pakai tenaga, pakai pikiran, pakai waktu kita atau kalau sudah mentok bisa pakai doa. Pakai apa saja untuk bisa membantu, yang penting niat bantu, berlomba cari muka dihadapan Allah SWT sang raja semesta. Sesederhana menyuarakan agar bisa dibantu orang lain. Menjembatani keterbatasan dengan kemampuan yang mungkin ada pada diri kita.
Nabi Muhammad SAW panutan kita adalah teladan sempurna. Beliau tidak menolak ketika dimintai sesuatu. Jika tidak sanggup memenuhi, beliau akan mengucapkan kata-kata yang membahagiakan.
Bantulah orang lain, ringankanlah beban mereka. Mudahkan urusannya, berikan kebahagiaan kedalam hatinya. Jika kita punya harta, bantulah dengan harta. Jika tidak punya harta, bantulah dengan tenaga dan pikiran, atau minimal doa.
Allah SWT tidak akan membiarkan hambanya yang menggunakan waktu, tenaga, pikiran dan hartanya untuk membantu orang lain berada dalam kesempitan hidup. Jika rasa takut dan khawatir untuk menolong sesama itu masih juga bergelayut, mungkin harus kita cek kembali sejauh mana keyakinan itu sebenarnya.
Mari berani peduli. Kerjakan tugas mulia dari Sang Raja sebaik-baiknya agar kelak kita bisa bertemu denganNya dengan muka ceria. Semoga kelak, Raja sambut kepulangan kita saat selesai menjalankan tugas dengan suka cita "Selamat datang hamba terbaik-Ku, silahkan beristirahat di tempat terbaik yang sudah Ku janjikan".
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H